Pikir Saja Sendiri

Pikir Saja Sendiri

Oleh :
Beni Irawan

Perihal otak, Zarkawi memang lebih punya dibanding Laksmi, istrinya. Buktinya, setiap kali anak mereka ada PR, yang banyak bisa membantu, ya, Zarkawi. Terus kalau ada urusan rumah yang membutuhkan sedikit otak, Laksmi menyuruh Zarkawi yang menangani. Namun belakangan, Zarkawi mulai ragu dengan kemampuan otaknya karena Laksmi sering mendebatnya. Perdebatan ini perihal masa lalu yang menurut Zarkawi kejadiannya seperti ini, tapi menurut Laksmi tidak begitu melainkan begini. Perdebatan itu sering berujung saling memunggungi di tempat tidur. Zarkawi berpikir, jangan-jangan memang dia yang salah. Soalnya dulu-dulu seperti ini Laksmi tidak pernah. Karena istrinya tahu, sebagaimana dia juga, perihal otak memang dia yang lebih punya. Jika Laksmi sampai mengotot begitu, berarti memang karena dia merasa benar. Zarkawi ragu dengan ingatannya sendiri. Masa baru kepala tiga, fungsi otak sudah mulai menurun. Bagaimana nanti, pikirnya.
Namun, Zarkawi tidak mau percaya begitu saja. Bisa jadi dia yang benar. Sambil menghindari perdebatan supaya rumah tangga tetap aman, diam-diam dia mulai mencatat segala kejadian. Setelah sebulan membikin catatan, sengaja dia suatu sore sepulang kerja, ketika sedang di ruang televisi bareng istrinya, dia bilang bahwa sebulan yang lalu, dia pulang dari tempat kerja membawa martabak telur, tapi malah sama abangnya lupa dikasih kuah.
“Bukan kuah. Tapi acar,” kata Laksmi.
“Yang lupa kuahnya.”
“Orang acarnya. Soalnya pas makan itu aku kepedesan.”
“Mana ada pedas. Orang kuahnya gak ada.”
“Acar! … Ya, kan, ya? Zalmi, ya?” kata Laksmi pada anaknya yang baru pulang mengaji.
“Apa?”
“Martabak.”
“Mana?”
“Dulu. Yang lupa acarnya, kan, ya?”
Anak itu mendengus. Pergi ke kamar. Dari dalam kamarnya masih dapat dia dengar perdebatan orang tuanya.
“Laksmi begini,” kata Zarkawi. “Aku sudah mencatat kejadian sebulan ini. Dan menurut catatan itu, sebulan yang lalu, yang tidak ada pada martabak itu adalah kuah. Tunggu di sini, catatannya kuambil.” Zarkawi ke kamar, dan sejurus kemudian sudah kembali ke hadapan istrinya. Dikasihnya istrinya melihat catatan itu. Dan memang menurut catatan itu, Zarkawilah yang benar.
“Abang juga tunggu di sini. Aku juga sudah mencatat kejadian sebulan.” Laksmi ke kamar untuk sebentar kemudian sudah kembali. Dia juga ternyata sudah mencatat kejadian sebulan belakangan. Dan menurut catatannya, yang tidak ada pada martabak itu adalah acar.
“Dan, Bang. Aku mencatat kejadian ini hanya beberapa detik setelah kita makan martabak itu. Abang ingat, kan, ada aku pegang buku waktu itu?”
Seingat Zarkawi, istrinya tidak ada memegang buku.
“Dan aku pernah dengar, Bang. Katanya, apa yang kita dengar hanya bertahan tiga sampai empat detik di ingatan. Sementara yang kita lihat, katanya hanya bertahan tidak lebih dari setengah detik. Tapi kalau yang kita dengar atau lihat itu terjadi berkali-kali, kita bisa mengingatnya sampai dua-puluh hingga tiga-puluh detik. Kita bisa mengingatnya lebih lama. Ke mana itu namanya? … Ingatan panjang atau apa itu? Pokoknya di bawah sadar. Dan Bang, bawah sadar itu erat kaitan dengan perasaan. Dan ingat! Perempuan lebih perasa dibanding laki-laki.”
Baru kali ini Zarkawi merasa bodoh di hadapan istri. Dia mengangguk-angguk. Kemudian mencocokkan catatannya dengan catatan istrinya. Beberapa kejadian sama, lebih banyak yang tidak. Dia kembali ragu pada ingatannya sendiri. Tapi jauh di dasar hati, dia curiga jangan-jangan Laksmi sedang mempermainkannya. Kan bisa jadi istrinya ketika dia di tempat kerja, menemukan itu catatan, lalu membuat catatan bandingan, yang kebanyakan isinya berbeda dengan yang dia buat. Ya, bisa jadi begitu. Namun dalam rangka apa istrinya melakukan itu? Itulah yang kemudian diam-diam Zarkawi selidiki.
Setelah berminggu-minggu penyelidikan, tidak ada yang mencurigakan dari istrinya. Hanya saja sekarang Laksmi mulai terang-terangan membikin catatan. Sementara Zarkawi sudah berhenti. Menurutnya membikin catatan itu tiada gunanya kalau toh nanti, Laksmi dapat mendebatnya juga. Lagi pula dengan adanya catatan begitu dan berbeda, dia merasa benar dan istrinya juga demikian, bisa-bisa membikin rumah tangga mereka runyam. Alih-alih membikin catatan, dia sekarang lebih menerima mungkin memang fungsi otaknya sudah mulai menurun. Namun Zarkawi menerima itu tidak untuk tinggal diam. Dia juga melakukan hal-hal yang kiranya bisa, sekurang-kurangnya, memperlambat penurunan itu. Dan dia menemukan, diberi tahu seorang teman, meditasi bisa membantunya.
Kata teman itu, teman itu mendapatkan penjelasan dari temannya seorang praktisi meditasi, bahwa otak punya setidaknya lima macam jenis gelombang otak, yaitu tingkatan otak berdasarkan jenis aktivitas yang terjadi di dalamnya. Semakin lambat gelombang itu, semakin seseorang masuk ke keadaan rileksasi. Dan pada keadaan rileksasi inilah sel-sel dalam tubuh beregenerasi. Orang yang gelombang otaknya lambat, bisa menyerap informasi lebih cepat. Namun bukan berarti mengabaikan kondisi gelombang yang lebih cepat, karena dalam keadaan begitu, seseorang bisa fokus dan terjaga. Fungsinya untuk pemecahan masalah.
“Tapi,” teman itu menekankan, karena katanya temannya yang praktisi meditasi menekankan ini. “Sering kali pemecahan suatu masalah, atau ide-ide besar, datang dari kondisi gelombang otak yang lebih lambat setelah dipaksa pada kondisi yang cepat.”
Zarkawi ingat dulu, pernah membaca mengenai itu. Kalau tidak salah nama gelombang otak itu delta, theta, alfa, dan apalah dua sisanya. Dulu waktu membaca itu dia pikir gelombang otak tergantung dari aktivitas seseorang. Otomatis. Tapi ternyata bisa diarahkan. Begitulah dia meminta alamat teman dari temannya itu. Dan seminggu sekali, setiap Minggu pagi, dia mengunjungi teman dari temannya itu. Lubin namanya. Seumuran Zarkawi, tetapi terlihat lebih muda beberapa tahun. Wajahnya cerah. Cara bicara dan apa-apanya tenang. Tubunya proporsional. Selalu memakai pakaian longgar.
Dipertemuan pertama, apa yang Zarkawi dengar dari temannya, didengarnya lagi dari Lubin. Setelahnya, Lubin mengajaknya untuk naik ke rooftop. Di sana Lubin menyuruhnya duduk di sebuah karpet dan membimbingnya meditasi. Duduk yang tegak, kata Lubin.
“Tarik nafas yang dalam … hembuskan pelan-pelan.”
Lubin memberi Zarkawi intruksi begitu beberapa kali. Dia kemudian meminta Zarkawi memejamkan mata. Fokus pada nafas keluar dan masuk. Tentu saja Zarkawi bisa fokus tapi hanya untuk beberapa saat, dan saat berikutnya pikirannya melayang entah ke mana. Tapi kemudian suara Lubin menuntunnya kembali pada aliran napas.
Kira-kira lima belas menit Lubin meminta Zarkawi begitu. Untuk kemudian, terakhir, sebanyak sepuluh kali, Zarkawi diminta menghirup napas dengan cepat, dan menghembuskan perlahan banyak-banyak sampai perut kempes.
“Biarkan semua udara di dalam tubuh keluar,” kata Lubin. “Tahan … tarik nafas perlahan tiga detik … hembuskan lagi hingga habis.”
Baru empat kali bernapas begitu, Zarkawi merasakan lehernya tercekik, wajahnya memerah. Dia tidak bisa mengikuti. Napasnya bocor. Lubin memintanya memulai dari awal.
“Menyiksa sekali,” kata Zarkawi.
“Tapi efeknya bagus buat tubuh. Ayo, mulai lagi.”
Latihan itulah yang paling panjang. Dan sebenarnya inti dari rangkaian latihan itu bukan pada meditasi, melainkan praktik bernapas seperti itu.
Setelah beberapa kali bocor, mejelang siang, Zarkawi berhasil mencapi sepuluh hitungan. Keringatnya bercucuran. Wajahnya memerah. Ngos-ngosan. Tergesa-gesa dia menarik nafas normal.
“Besok kalau sudah terbiasa bernapas begitu, bisa kamu rasakan sendiri manfaatnya,” kata Lubin.
“Kayak latihan pernapasan.”
Lubin tersenyum, “Meditasi tanpa napas tidak berarti apa-apa.”
“Hidup juga.”
Lubin tertawa, mengajak Zarkawi turun. Sambil minum-minum, Lubin menjelaskan bernapas dengan cara begitu fungsinya untuk meningkatkan kadar karbon dioksida dalam tubuh. Katanya, tubuh tidak hanya butuh oksigen, tapi juga butuh karbon dioksida.
“Kita lebih bisa mendekati pencerahan dengan karbon dioksida daripada dengan oksigen.”
Zarkawi tidak begitu tertarik. Dia hanya ingin memperbaiki fungsi otaknya. Begitu pada awalnya. Namun, setelah beberapa minggu latihan, dia merasakan segala-galanya ringan. Bahkan pernah suatu kali ketika latihan bernapas begitu, dia seperti melayang-layang, seperti lenyap, dia bukan siapa-siapa dan apa-apa tapi sekaligus dia adalah semua. Sejak itu dia mengubah niatnya dari memperbaiki fungsi otak, untuk mengejar pencerahan.
“Pencerahan tidak bisa dikejar,” terang Lubin. “Ia hanya datang pada orang-orang yang siap jiwa dan raga.”
“Tapi begini ini bisa sebagai persiapan, kan?”
“Bisa.”
Zarkawi semakin giat berlatih. Bahkan di rumah, sebelum berangkat dan sepulang kerja, dia berlatih mandiri. Dan begitulah Laksmi mencari gara-gara lagi. Setiap kali Zarkawi latihan, ada-ada saja caranya membuat keributan. Entah meneriaki anak atau menjatuhkan perabotan. Sengaja dia omong atau menghidupkan suara televisi keras-keras. Untungnya Zarkawi tidak pernah ambil pusing. Paraktik itu sepertinya bisa meredam dia punya emosi. Bahkan dianggapnya itu sebagai ujian mencapai pencerahan. Memang jalan ke sana terjal, katanya dalam hati.
Namun berbulan-bulan dia tidak pernah lagi merasakan pengalaman lenyap dan menyatu itu. Ketika Lubin dia tanya, jawab Lubin, kalau dia semakin berharap mengalami pengalaman itu, pengalaman itu akan semakin menjauh.
“Apa mungkin perilaku istri memengaruhi?”
“Kenapa?”
“Seperti tidak setuju. Suka cari gara-gara.”
Lubin malah tertawa sebelum akhirnya bilang, “Memang istri yang demikian tidak menakdirkanmu jadi rohaniawan, melainkan jadi pemikir.”
Ketika dia pulang dan menanyai Laksmi kenapa dia begitu. Dengan enteng Laksmi bilang, sambil membuat catatan, “Pikir saja sendiri.”
Yogyakarta, Juli 2022

Tentang Penulis:
Beni Irawan
Lahir di Dusun Terengan, Lombok. Kuliah di Semarang, seorang guru yang biasa dia panggil Abah memberinya nama pena. Baginya, nama pena itu adalah sebentuk doa dari beliau. Doa itu selalu dia aminkan dengan terus mengasah kemampuan menulis dan, sesuai pesan Abahnya, untuk tertib dalam membaca. Beberapa tulisannya telah tersebar di berbagai antologi bersama.

——– *** ———

Rate this article!
Pikir Saja Sendiri,5 / 5 ( 1votes )
Tags: