Pileg pun Berlalu Tanpa Kesan

Oleh :
Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Tanpa disadari, Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 itu identik dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan bukan Pemilihan Legislatif (Pileg). Bahkan bisa dikatakan Pileg sudah selesai sebelum pelaksanaan pemungutan suara (17 April 2019). Jika demikian keadaannya, maka Pileg itu tidak begitu penting mengapa harus dilaksanakan?
Sindiran itu bukan tanpa alasan. Selama ini banyak kritikan pada anggota dewan kita. Dengan adanya Pemilu serentak, Pileg kalah pamor dengan Pilpres, bahkan masyarakat seolah tidak peduli dengan kandidat anggota dewan. Jika begitu, usaha untuk memilih calon anggota legislatif (caleg) ibarat jauh panggang dari api. Maka, keinginan agar lembaga DPR menjadi kuat untuk bisa mengontrol kebijakan pemerintah tinggal angan-angan pula.
Mencari Sebab
Mengapa bisa dikatakan demikian? Ada beberapa alasan yang bisa dijadikan dasar asumsi di atas. Pertama; sebagaimana kita menyimak berita di media massa, maka hiruk pikuk Pilpres lebih populer dan bahkan dilebih-lebihkan dibandingkan dengan berita Pileg. Bahkan, munculnya pendukung fanatik “dua kubu politik” menjelang Pilpres semakin membuat suhu politik memanas. Sementara itu, berita-berita yang berkaitan dengan Pileg tidak mendapat tanggapan serius.
Misalnya, soal beberapa anggota Calon Legislatif (Caleg) yang terindikasi korupsi dan sudah diumumkan oleh Komisi Pemilian Umum (KPU) nyaris tidak banyak tanggapan dan perhatian masyarakat. Justru persoalan yang kadang kecil berkaitan dengan Pilpres menjadi perhatian umum. Padahal, persoalan DPR sebenarnya juga tak kalah pentingnya agar kualitas mereka semakin meningkat serta produk undang-undang yang dihasilkannya pun bisa lebih berkualitas. Enerji kita seolah sudah habis hanya untuk memikirkan Pilpres.
Kedua, berbagai pembicaraan di masyarakat juga seolah hanya mengarah pada Plpres, bukan Pileg. Mereka lebih sibuk mendiskusikan figur dukungannya dan memojokkan figur lain jika berkaitan dengan Pilpres. Kita bisa menyaksikan atau bertanya orang-orang di sekitar. Betapa pembicaraan, sampai munculnya kubu politik pendukung, menjadi bukti konkrit bahwa Pilpres lebih memesona.
Selama ini pula, masyarakat juga lebih mengharapkan apa yang sebaiknya dilakukan presiden terpilih. Mereka tidak banyak mengharapkan produk hukum apa (misalnya) yang harus dihasilkan anggota dewan terpilih agar negara ini bisa lebih cepat mengikuti perkembangan bangsa lain.
Ketiga, Media Sosial (Medsos) juga semakin ramai dengan persoalan Pilpres, bukan Pileg. Status, timeline, video, foto di Medsos mulai diramaikan oleh dukungan dan caci maki sepihak antar pendukung. Meskipun ini tidak baik, tetapi ini menjadi indikasi kuat bahwa Pilpres lebih menarik ketimbang Pileg. Hoaks juga semakin bertebaran soal Pilpres dan membuat Medsos menjadi factoid (munculnya pernyataan palsu yang disajikan sebagai seolah-olah fakta sebenarnya).
Alasan Sejarah
Maka, tak heran jika kita mengatakan Pemilu 2019 itu Pilpres, bukan Pileg. Pileg sudah selesai jauh hari sebelum pencoblosan. Yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa bisa demikian? Apa yang sebenarnya terjadi dalam dinamika politik kenegaraan di Indonesia?
Pertama, negara kita menganut sistem presidensial itu sudah pasti. Tetapi seringkali kita tidak mengetahui dengan pasti dampak dari sistem presidensial tersebut. Dalam sistem presidensial, presiden mempunyai legitimasi sangat kuat. Bahkan bisa dikatakan kedudukan presiden paling tinggi; sebagai kepala negara, sekaligus kepala pemerintahan.
Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan pula menurut undang-undang. Maka, presiden tidak lagi bertanggung jawab kapada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tetapi pada konstitusi. Eksekutif juga tidak lagi bertanggung jawab kepada legislatif sebagaimana sistem pemilikan tidak langsung. Presiden juga berhak untuk mengangkat pejabat negara yang lain, termasuk memilih menteri. Ini membuat kedudukannya semakin kuat.
Presiden bisa menjalankan roda pemerintahannya dengan baik dan tenang selama ia berpegang teguh pada konstiusi. Bagaimana cara mengatur negara, seperti apa profil presiden, dan sifat-sifat pribadi presiden tidak masalah selama berpegang pada aturan. Opisisi boleh garang, tapi selama konstitusi tidak dilanggar presiden, kedudukan presiden akan tetap aman.
Dalam kekuatan kedudukan presiden, ia juga bisa mengatur “aturan hukum” karena eksekutif yang “punya kekuasaan”. Misalnya, ada anggota DPR melanggar konstitusi, maka ia akan dengan mudah diproses aturan hukum. Masalahnya, aturan hukum itu yang ikut berhak menegakkan adalah menteri yang diangkat presiden. Tak terkecuali lembaga-lembaga hukum lainnya. Tentu kondisi ini sangat menguntungkan kedudukan presiden. Maka, segala sesuatu yang menyangkut presiden, selama ia berkuasa presiden akan dengan mudah menghindari pelanggaran hukum karena kedudukannya sebagai eksekutif sebagai “pelaksana” hukum sekaligus.
Ini tentu berbeda jika kedudukan legislatif di atas eksekutif. Maka perilaku eksekutif akan dengan mudah dipatahkan legislatif. Sistem presidensial juga menguntungkan eksekutif karena akan membatasi kekuasaan legislatif itu sendiri.
Kedua, partai politik dalam sistem presidensial tidak bisa berbuat maksimal. Ia hanya akan berperan sebagai perantara kepentingan rakyat berkaitan dengan kepentingan Caleg. Maka, partai politik yang mendukung calon presiden (misalnya) tidak serta merta tunduk pada partai politik tersebut. Partai politik secara kelembagaan hanya punya kepentingan kepada kandidat presiden untuk mendapatkan keuntungan bagi partainya pula.
Maka, tak heran jika pengalaman Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi bukti konkrit. Seorang kepala daerah yang akhirnya berhasil menjabat, bisa mengindahkan keinginan partai pengusungnya secara sepihak. Ia bisa berganti partai lain jika secara politik lebih menguntungkan. Bisa juga, karena partai pendukung sebelumnya “banyak tingkah” atas kebijakan kepala daerah dan justru menganggu kinerjanya.
Hal demikian juga tidak jauh berbeda dengan sistem presidensial kaitannya dengan lembaga tinggi negara. Partai politik saat sudah mendapatkan porsi “jatah kekuasaan” ia akan menjadi “penurut”. Bahkan jika ada anggota partai yang “kritis” misalnya, anggota partai itu akan dengan mudah “dijinakkan” karena aturan hukum yang melekat pada sistem presidensial (sebagaimana disebutkan dalam poin pertama di atas). Tentu saja, karena mempunyai kekuasaan dan kesempatan tinggi dalam mengelola negara, presiden bisa berbuat untuk “menjinakkan” kekuatan politik yang lain.
Primadona
Melihat dinamika kekuasaan politik presidensial di Indonesia sebagaimana dipaparkan di atas, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan presiden akan menjadi titik sentral serta menyita waktu dan tenaga masyarakat. Dalam hal ini karena presiden memang sebagai pelaksana kebijakan, sementara masyarakat selalu mengharapkan perubahan pada pundaknya. Meskipun di sini, legislatif berfungsi sebagai lembaga yang mengesahkan undang-undang dan aturan lainnya, tetapi pelaksanaan kebijakan tetap ada pada presiden. Pengesahan undang-undang oleh anggota dewan sangat tergantung pada kebijakan partai politik. Sementara itu, partai politik tak jarang kedudukannya dibawah kontrol eksekutif.
Oleh karena itu, segala hiruk pikuk politik di tanah air akan fokus pada eksekutif. Apalagi pada tahun ini Pilpres dan Pileg bersamaan, maka Pilpres akan menjadi primadona dan perhatian utama masyarakat. Sementara itu, Pileg hanya akan menjadi kegiatan seremonial dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Dengan kata lain Pileg sudah selesai.
Kenyataan tersebut bukan menuduh bahwa sistem presidensial di Indonesia tidak bagus. Dalam dinamika ketatanegaraan, kita memang berada dalam kondisi seperti itu. Baik presidensial atau parlementer mempunyai kelebihan dan kekuranganya. Dalam jangka panjang, Pilpres akan tetap menjadi primadona dan perhatian masyarakat karena kekuasaan sering berhulu pada lembaga eksekutif. Ibarat gula, lembaga kepresidenan akan menjadi daya tarik “semut” untuk berkumpul.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: