Pileg Usai, Harapan Rakyat Juga Selesai

Nurudin

Nurudin

Oleh :
Nurudin
Penulis Dosen Fisip Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Tak ada kesibukan partai-partai politik (Parpol) pasca Pemilihan Legislatif (Pileg) kecuali memikirkan koalisi. Meskipun hasil penghitungan pasti dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum dilaksanakan, namun demikian hasil quick count  dari beberapa lembaga lembaga survei sudah bisa dijadikan patokan.
Sebagaimana kita tahu, hasil quick count menunjukkan bahwa tidak ada Parpol yang bisa meraih suara di atas 20 persen. Itu artinya, koalisi menjadi keharusan untuk dilakukan.
Dalam koalisi perhitunganya tentu saja kapentingan untung rugi secara politik. Di sinilah akan terjadi tawar menawar posisi. Sebab, peserta koalisi tentu saja tidak ada yang mau partainya rugi. Dalam posisi tawar-menawar tentu saja akan terjadi kesepakatan-kesepakatan politik. Kesepakatan-kesepakatan itu tentu saja tidak akan memperhatikan apa keinginan masyarakat, tetapi kepentingan peserta koalisi
Pesta Rakyat Usai
Dengan berakhirnya Pileg, otomatis sudah berakhir pula harapan rakyat  untuk ikut terlibat dalam keputusan-keputusan partai politik atau anggota dewan yang sudah lolos itu. Kalau sebelum Pileg, rakyat masih bisa berharap karena para Calon Legislatif (Caleg) mencoba mendekati mereka, menanyakan problem mereka, mencoba menjanjikan sesuatu untuk disalurkan ke sistem politik. Namun begitu pencoblosan selesai, tamat sudah harapan mereka.
Dengan kata lain, bagaimana keputusan-keputusan politik diambil akan dilakukan oleh pengurus Parpol beserta kepentingan politiknya. Parpol tidak akan melihat lagi apa keluhan rakyat, janji yang pernah diucapkan, visi misi yang tertulis besar-besar di Baliho atau spanduk. Urusan Parpol sudah bukan pada konstituen tetapi pada kepentingan ke depan dan itu semua tidak ada lagi kaitannya dengan rakyat.
Rakyat tidak lagi bisa merengek bagaimana dengan harga kebutuhan pokok, apakah nanti Bahan Bakar Minyak (BBM) akan dinaikkan lagi apa tidak atau bagaimana komitmen Parpol pada pemberantasan korupsi. Seringkali masyarakat tidak tahu pasti bahwa apa yang dijanjikan para Caleg itu hanya manis di bibir semata.
Kepentingan rakyat seringkali pragmatis, “Saya menyoblos kamu, saya dapat apa”. Tak heran jika politik uang menjelang Pileg sangat transparan. Rakyat  kadang tidak berpikir; kalau Caleg sudah main uang sebelum atau pasca pencoblosan bagaimana dengan kinerja mereka nanti?
Para Caleg itu juga berhitung seperti tengkulak, bagaimana mereka untung secara politik dan secara finansial. Jika ada anggota dewan yang mengatakan ia berjuang untuk kebenaran dan keadilan, atau menegakan ajaran agama, itu hanya ada dalam wacana semata. Tak heran jika ada banyak Caleg yang stress setelah mengetahui perolehan suaranya diluar prediksi. Padahal ratusan juta sudah dikeluarkan. Ada caleg yang mengamuk karena mengetahui KPPS curang sebagaimana terjadi di  di Kantor Lurah Kolakaai, Kolaka, Sulawesi Tenggara.  Di Padepokan Al-Bustomi di Desa Sinarrancang, Mundur, Cirebon ada 7 Caleg yang depresi pasca Pileg.
Politisi Berpesta, Rakyat tak Boleh Iri
Begitu masyarakat menggunakan hak pilihnya, saat itu pula hubungan antara Caleg dan Parpol dengan konstituenya sudah selesai. Artinya, Parpol akan sibuk pada proses penghitungan suara. Parpol yang meraih suara sebagaimana diharapkan tentu akan senang, sementara Parpol yang sebaliknya akan protes entah berkaitan dengan kecurangan atau hal lain. Sementara itu, Parpol juga akan giat melakukan koalisi. Intinya, Parpol akan mikir dirinya sendiri untuk kekuasaan politik.
Dari sinilah kemudian pesta rakyat berubah menjadi pestanya politisi para petinggi Parpol itu. Mereka berpesta karena menikmati kue kekuasaan. Mereka bergerilnya untuk memggalang kekuatan untuk mencapai kekuasaan tinggi (presiden) dan jabatan lainnya.
Berkaitan dengan hal itu ada beberapa catatan yang bisa disimak. Pertama, para petinggi Parpol akan segera membuat langkah-langkah spektakuler. Langkah spektakuler ini tentu saja berkaitan dengan proses merebut dan mempertahankan kekuasaan politik. Dikatakan spektakuler karena sangat mungkin mengingkari jati diri Parpol yang selama ini diberitahukan ke publik. Bahkan sangat mungkin langkah yang selama ini dianggap tabu akan ditempuh, semua itu untuk kepentingan politik.
Namanya juga politik yang tidak selamanya bisa dihitung secara matematis atau hitam putih. Politik tetaplah politik yang mempunyai dunia sendiri dengan hiruk pikuk untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Etika moral pun kadang harus dienyahkah untuk mempertahankan atau merebut  kekuasaan tersebut.
Kedua, para petinggi parpol yang kebetulan penjadi pejabat pemerintah (presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota) tentu akan sibuk mengurusi kepentingan partai daripada berkhidmat pada jabatan yang sudah diamanahkan. Nyata bahwa soal kepentingan pribadi dan kelompok berada dalam tataran atas mengalahkan kepentingan masyarakat. Para petinggi Parpol yang menjadi pejabat itu tentu enak, sebab cuti diperbolehkan untuk mengurusi Parpolnya, sementara persoalan masyarakat juga tak kalah sedikit yang harus segera dipecahkan.
Melihat kenyataan seperti itu harus ada aturan yang membatasi  bahwa seseorang yang sudah menjadi pejabat pemerintah, ia harus mundur dari jabatannya di parpol. Tentu saja, agar tidak terjadi kepentingan yang tumpang tindih antara dirinya, parpol, dan jabatan pemerintah tersebut. Tentu semua ini harus dimulai dari jabatan tertinggi seperti presiden. Kalau presiden saja masih rangkap jabatan bagaimana dengan pejabat di tingkat bawah?
Jadi, masyarakat tidak perlu ikut larut dalam suasana hiruk pikuk kemenangan partai yang didukung. Juga, mereka tidak usah ikut-ikutan mendukung sampai membabi buta pada calon presiden yang didukungnya sampai harus bersitegang dengan sesamanya. Rakyat  bersitegang, para politisi itulah yang akan menikmati.
Politik adalah kepentingan sesaat sementara hidup bertetangga dan berkeluarga itu jangka panjang. Jadi, silakan dipilih. Memilih adalah hak bukan kewajiban. Artinya, Anda tidak memilihpun tidak haram karena memilih itu hak, bukan kewajiban.

Tags: