Pilih Bung Wo atau Kang Wi

Yunus-SupantoOleh :  
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik

Saat ini, kosmos langit seolah-olah bergemuruh ditembus suara teriakan yel-yel dukungan terhadap pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Begitu pula jagad media sosial facebook, twitter, e-mail serta SMS digunakan bagai panggung orasi tulis. Kampanye sudah marak dan ramai, walau diselenggarakan dibawah terik matahari. Tampaknya, tim sukses (TS) langsung meng-genjot aksi kampanye setelah “peluit” (pemberian nomor pasangan Capres-Cawapres) disahkan oleh KPU.
Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa memperoleh nomor urut 1. Sedangkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla memperoleh nomor urut 2. Masing-masing nomor (oleh tim sukses) diyakini membawa keberuntungan. Beberapa ahli filsafat nomor didatangkan untuk memberi wejangan. Sehingga kini tim sukses sudah memiliki banyak cara sosialisasi khusus dengan tema nomor urut. Seluruhnya bukan hanya yakin bakal unggul, bahkan over confident.
Nomor urut 1, cukup mengacungkan jari telunjuk setinggi-tingginya dengan menyebut “nomor satu” sebagai simbol juara. Yang nomor dua pun, cukup dengan menunjuk lambang huruf V (dua jari telunjung dan jari tengah direnggangkan), yang berarti victory, kemenangan. Karena pasangan Capres dan Cawapres hanya dua kontestan, maka bisa dipastikan pemilihan presiden (pilpres) akan berlangsung satu kali gebrak. Tidak akan ada putaran (kesempatan) kedua.
Pilpres merupakan amanat UUD 1945 hasil amandemen ketiga (9 November 2001). Pada pasal 6A ayat (1) dinyatakan: Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Frasa (secara langsung) inilah yang menyebabkan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, memerlukan sosialisasi. Bahkan kampanye harus dilakukan secara masif dan terstruktur, dengan membentuk tim sukses.
Dulu sejak zaman kemerdekaan hingga sebelum pilres tahun 2004, proses pemilihan presiden dilakukan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebanyak seribu orang). Amanat UUD 1945 memang seperti itu, dipilih oleh MPR. Pada pasal 6 ayat (2), amanatnya bunyi,: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.”
Trauma Masa Lalu
Pasal pada batang tubuh ini berdasarkan alenia keempat mukadimah UUD yang tidak boleh diamandemen. Yakni, bahwa sistem demokrasi yang dianut Indonesia adalah, Permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan.” Artinya, demokrasi kita haruslah hasil dari kearifan nasional, melalui prosedur musyawarah dan perwakilan. Frasa kata “musyawarah” dan kata “perwakilan” menjadi metodologi demokrasi.
Tetapi MPR (mayoritas)  hasil pemilu tahun 1999 hasil gerakan reformasi menghendaki perubahan UUD 1945 terhadap pasal 7. Pada Sidang Umum MPR tanggal 19 Oktober 1999 disahkan amandemen pertama. Semula UUD pasal 7 berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”  Frasa kata  dapat “dapat dipilih kembali” didesak-desak untuk diubah.
Nampaknya, MPR sudah trauma dengan jabatan presiden pada masa lampau yang selalu hampir digenggam hampir selama hidup. Karena setiap diadakan SU untuk memilih presiden, selalu saja saja presidennya dipilih kembali, dipilih kembali, terus berulang-ulang. Memang sungguh kelewatan, seorang presiden dipilih sampai enam kali (periode). Bahkan yang terdahulu, berkuasa selama 21 tahun tanpa melalui proses pemilihan presiden secara resmi.
Namun, walau terdapat kecenderungan menggenggam kekuasaan selama-lamanya, sebenarnya seluruh tahapan demokrasi dilalui dengan baik. Misalnya, pada zaman orde-baru, Golkar sebagai parpol rezim selalu bisa meraih lebih dari 50% suara. Terlepas dari kritisi kecurangan pemilu yang masif dan terstruktur oleh rezim. Dengan begitu rezim bisa melaksanakan sistem presidensiil secara baik-baik dan mantap.
Trauma masa lalu, menjadikan MPR periode 1999-2004 “bernafsu” meng-amandemen UUD 1945. Hasilnya, disisipkan pasal 6A dengan 5 ayat, plus beberapa kata sambungan pada pasal 7, yakni dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Sambungan kalimat yang terakhir ini membatasi jabatan presiden hanya dua kali periode. Betapapun dicintai rakyat, betatapun masih diperlukan, tetap tidak boleh dipilih untuk ketiga kali.
Pemilihan presiden lebih lanjut diatur pada pasal 6 dan pasal 6A, seluruhnya berisi tujuh butir aturan. Tetapi sudah banyak pula desakan untuk kembali meng-amandemen pasal-pasal tentang pilpres, serta pasal lain tentang ke-demokrasi-an. Antaralain desakan dari forum raja dan sultan (pemangku adat di berbagai daerah).  Arahnya, mengembalikan demokrasi pada sistem yang dikehendaki Pancasila, sebagaimana diamanatkan pada mukadimah UUD 1945 alenia keempat.
Baliho dan Cukong
Terlepas dari berbagai desakan terhadap sistem demokrasi, kenyataann menunjukkan bahwa demokrasi liberal selalu diiringi dengan pengkotak-kotakan sosial. Berpotensi merusak ke-bhineka-an Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, adat budaya dan kepulauan. Begitu pula fakta menunjukkan, bahwa pelaksanaan demokrasi telah diracuni oleh kecurangan makin masif dan terstruktur oleh parpol dan caleg. Dan penyelenggara pemilu (PPS, dan KPUD) pun turut aktif  “bermain.”
Apakah sistem pada UUD akan diamandemen lagi? Wallahu a’lam bis-shawab. Tetapi MPR hasil pemilu 2004 (kini berjumlah 700 orang, 560 diantaranya merangkap anggota DPR) tetap memiliki hak mengubah UUD. Yang pasti untuk pilpres tahun ini masih menggunakan UUD pasal 6A. Inilah yang menyebabkan pilpres menjadi tidak mudah dan tidak murah. Sebanyak 175 juta lebih jiwa rakyat Indonesia harus dilibatkan sebagai. Sehingga setiap pasangan Capres dan Cawapres harus menggerakkan mesin politik.
Lembaga tim sukses didirikan mengikuti paradigma teritorial. Ada tim sukses nasional, propinsi, tingkat kabupaten kota, sampai tim sukses tingkat kelurahan dan desa. Tim sukes mestilah benar-benar meng-inovasi kampanye, agar nomor pasangan Capres dan Cawapres gampang dikenal. Dengan berbagai simbol (dan filosofi) tentang angka, termasuk mitos dan legenda sosial yang dikenal luas masyarakat. Bahkan konon untuk meledek nomor urut pasangan lain pun sudah disiapkan dengan mengambil paradigma judi togel.
Kini, hampir seluruh ruang fasilitas publik tidak tersisakan dimanfaatkan untuk kampanye. Alat peraga gambar Capres dan Cawapres sudah terpasang sampai di plengsengan sungai dan dinding kuburan. Berbagai baliho raksasa (ukuran 4×6 meter persegi) sampai gambar pasangan ukuran kartu nama (3×5 sentimeter persegi) suda ditebar. Ada yang disebar door to door (kaos baju). Ada yang disebar di lapangan arena kampanye. Ada pula yang disembunikan oleh tim sukses (uang makan dan transpor peserta kampanye).
Tren terbaru saat ini, adalah ke-tidak netral-an media masa. Terlibat langsung kampanye Capres dan Cawapres tertentu, menjadi parsial (karena bos-nya tercantum sebagai tim sukses). Akibatnya, beberapa situs website berita online, dan  televisi hanya meng-iklan-kan pasangan Cawapres dan Cawapres tertentu. Pasangan lain tidak nampak samasekali (boleh jadi ditolak). Boleh jadi pula, kelak jika kalah akan menjadi corong oposisi.
Diluar anggaran iklan tim sukses, banyak pula pengusaha terlibat langsung mendanai ongkos sosialisasi. Tidak diketahui pasti “balas jasa” yang diharapkan. Namun pasti, para cukong-cukong  tidak pernah memberi bantuan gratis. Inilah yang harus diwaspadai oleh penyelenggara pilpres, termasuk Bawaslu. Karena sudah terdapat catatan pengusaha Indonesia yang dihukum ketika berpartisipasi untuk pilpres di Amerika Serikat. Saat itu Wapres Algore sampai harus mengembalikan jimpitan uang yang dikumpulkan dari berbagai biara.

———— *** ————

Rate this article!
Tags: