Pilih Caleg Ibarat Pilih Pasangan Hidup

Oleh :
Nuruddin Musyafa
Dosen AIK Universitas Muhammadiyah Malang

Menghadapi perhelatan Pemilihan Umum Tahun 2019, masyarakat bawah cenderung defensif bahkan apatis terhadap sosok Calon Legislatif (Caleg) yang akan dipilih. Terlebih, pada saat ini, elit politik dan media lebih fokus menggarap Pilihan Presiden daripada Pilihan Legislatif.
Masyarakat minim informasi, tidak punya pilihan, atau enggan memilih caleg di pesta demokrasi mendatang. Mereka beranggapan Pemilu hanya formalitas, permainan elit, rasa sama beda cover serta tidak berpengaruh pada kehidupan sehari-hari.
Menghadapi realita tersebut, kiranya masyarakat perlu membuat analogi berfikir bahwa memilih caleg ibarat memilih pasangan hidup.
Pada umumnya, setiap orang menginginkan pasangan hidup yang ideal, seperti cantik, tampan, pandai, cerdas, kaya raya, anak tunggal, orang tuanya mau meninggal. Kriteria tersebut mustahil ada di dunia, karena tiap manusia tentu memiliki kekurangan.
Keinginan tersebut bukannya salah, namun perlu difikir secara rasional agar jika keinginan tidak sesuai harapan lantas putus asa atau bahkan memutuskan tanpa pasangan hidup selamanya.
Begitu juga dengan situasi memilih caleg. Mengutip Mahfud MD dalam dialog di salah satu televisi swasta, masyarakat saat ini terlalu ideal memberi kriteria terhadap caleg yang akan dipilih. Mayoritas ingin caleg yang menepati janji, pro rakyat, gaji untuk rakyat, dan lain-lain. Kriteria ideal ini sulit untuk ditemukan, bahkan mustahil ada. Mereka beranggapan anggota legislatif hanya dari kelompok tertentu, sehingga dengan mudah meminta sesuai keinginan kelompok.
Ujung-ujungnya bila anggota legislatif tidak kunjung menunjukkan kriteria ideal yang ditentukan, maka masyarakat di pemilu mendatang lebih memilih untuk formalitas atau golput. Kelompok golput-ibarat mencari pasangan hidup-karena tidak menemukan calon ideal, maka memilih golput karena tidak punya pilihan.
Berbicara mengenai kriteria pasangan, dalam Islam ada hadits Nabi Muhammad SAW tentang memilih pasangan. “Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya. Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mari kita analogikan hadits tersebut dalam memilih caleg, agar kriteria ideal yang pada umumnya dibuat oleh masyarakat dapat dikompromikan dalam pemilu mendatang.
Pertama, kriteria harta. Harta dapat didefinisikan barang atau uang menjadi milik seseorang. Harta dapat membuat suatu kenyamanan dalam hidup. Pilih pasangan dengan harta yang melimpah, akan membuat perjalanan hidup sedikit ringan.
Analogi harta dalam diri caleg adalah pilihlah caleg yang tidak berorientasi pada harta. Bila masih ada indikasi orientasi harta, dapat diprediksi dalam menjabat sebagai anggota legislatif cenderung dalam mengutamakan kehidupan pribadi, kelompok dan melupakan janji yang diucapkan saat kampanye.
Pilihlah caleg yang berorientasi pada pengembangan aktualisasi diri, kemakmuran masyarakat. Memang susah melihat ketulusan mereka dalam keberpihakan kepada rakyat. Konstituen harus cerdas memilih kriteria tersebut agar tidak dibohongi.
Kedua, kriteria keturunan. Dalam hal ini hindari melihat perspektif keturunan dalam arti sempit. Namun, perlu mencoba melihat track record caleg dalam kehidupan di masyarakat.
Caleg yang terbiasa dalam lingkungan sosial, cenderung lebih menguntukan konstituen, daripada caleg yang kurang bergaul di masyarakat. Mereka yang terbiasa dalam kegiatan sosial-bukan sporadis-akan mudah menyerap aspirasi masyarakat dan berusaha semaksimal mungkin merealisasikannya.
Pilihlah caleg yang menurut anda menguntungkan masyarakat umum, tidak membahayakan kelompok tertentu serta demi menjadi wakil rakyat yang tulus ihlas.
Ketiga, kriteria paras. Paras berarti wajah. Kecantikan atau ketampanan menjadi salah satu kriteria memilih pasangan agar nyaman dalam hidup. Dikaitkan dengan wajah, bukan berarti lantas kita harus memilih caleg yang secara lahir cantik atau tampan. Lebih dari itu, kita pilih caleg yang cantik atau tampan secara batin.
Kecantikan batin akan tampak dari perangai caleg. Konstituen berhak mencari dan mendapat informasi terkait sikap caleg dalam kehidupan sehari-hari. Asas filantropi, kesederhanaan, orientasi hidup, gaya hidup, semua menjadi informasi penting sebagai penunjang karakter ideal caleg yang didambakan masyoritas masyarakat.
Keempat, kriteria agama. Agama dalam hadits Nabi di atas menjadi faktor penentu keselamatan dalam memilih pasangan. Agama akan menjadikan seseorang bersifat rendah diri, qana’ah, serta memahami aturan yang dibuat oleh agama.
Dalam pemilihan caleg, jangan terburu mengambil kesimpulan isu SARA. Namun dalam hal ini, pilihlah caleg yang memiliki kadar keimanan kuat kepada Tuhan. Semua agama mengajarkan kebaikan. Tidak ada agama yang menyuruh umatnya berbuat kerusakan atau menyalahi aturan hidup. Agama sangat benci prilaku membohongi publik, ingkar janji, serta korupsi.
Caleg “agamis” akan berhati-hati dalam bertindak saat akan dan saat menjadi anggota legislatif. Banyak godaan yang akan menerpa seorang anggota legislatif, seperti korupsi, menyalahgunakan wewenang, dan lain-lain. Pagar agama lah yang akan membentengi semua godaan tersebut. Agama menjadi spirit utama dalam upaya pemenuhan kesejahteraan rakyat.
Kalau ada legislatif “agamis” yang tersandung kasus korupsi. Maka dapat dipastikan sikap agamis sebatas cover tidak dihayati dalam kehidupan.
Konstituen hendaknya di Pemilu mendatang diusahakan semaksimal mungkin agar tidak golput. Tidak ada kriteria ideal bukan berarti harus ditinggalkan begitu saja. Tentunya masih ada sosok yang masih berjuang atas nama rakyat meskipun bukan termasuk kriteria ideal.
Caleg bukan mahluk yang sempurna. Jangan diberikan kriteria ideal yang sulit direalisasikan oleh mereka. Caleg adalah orang yang berangkat dari partai politik. Dalam partai banyak orang serta fikiran yang akan mempengaruhi kebijakan selama menjadi anggota legislatif.
Konstituen bisa menentukan pilihan caleg ibarat memilih pasangan. Masing-masing orang memiliki kriteria yang berbeda dalam memilih. Tentunya jangan terlalu tinggi kriteria yang ditentukan agar tidak sakit hati bila tidak menemukannya dan jangan terlalu rendah agar tidak dapat yang “murahan”.

———– *** ———–

Tags: