Pilkada dan Desentralisasi Korupsi

Oleh :
Adi Fauzanto
Tim Peneliti Pilkada 2020 Indonesia Corruption Watch, Universitas Brawijaya

Akhir tahun 2020, selain ramai-ramai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang sudah selesai, terdapat beberapa hal yang ramai secara bersamaan, yaitu terkuaknya kasus-kasus korupsi. Diantaranya Kasus Korupsi Benur dan Bansos Covid-19, keduanya dari kementrian pemerintahan pusat, serta korupsi walikota Cimahi. Ternyata terdapat keterhubungan diantara Pilkada dan korupsi yang ter-desentralisasi didaerah-daerah.

Satu diantaranya yaitu, calon kepala yang maju kembali pada Pilkada 2020, terdapat mantan narapidana Kasus Korupsi, diantaranya Yusak Yaluwo maju kembali pada Pilkada di Bouven Digoel (BBC, 2020). Dia satu diantara banyak walikota atau bupati yang kedapatan kasus korupsi. Sejak 2004 hingga 2019, tercatat kepala daerah (gubernur dan walikota/bupati) yang terjerat kasus korupsi sebanyak 124 orang (Katadata, 2019).

Pola-pola yang dilakukan oleh gubernur serta kepala daerah/bupati serta aparat di daerah-daerah ini, menurut Vishnu sendiri sebagai Akademisi Universitas Indonesia (KPK, 2019), mengidentifikasi pola korupsi dari putusan inkracht, ialah (1) pola korupsi berkaitan dengan perizinan; (2) pola korupsi berkaitan dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) -legislasi, anggaran, pengawasan kebijakan-; (3) pola korupsi berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah; (4) pola korupsi berkaitan dengan promosi, mutasi, dan suap jabatan.

Tak jarang, perilaku korupsi yang dilakukan oleh Walikota/Bupati dan Gubernur di daerah-daerah juga diikuti dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berada didaerah-daerah. Menurut data Badan Kepegawaian Negara (BKN) (Kompas, 2018), terdapat total 2.259 narapidana korupsi yang masih menjadi ASN dari setiap provinsi di seluruh Indonesia. Di Pusat sendiri terdapat total 98 narapidana korupsi yang masih menjadi ASN.

Letak permasalahan terjadi nya korupsi pada ASN ialah, menurut Syahputra, Direktur Madrasah Anti Korupsi Pemuda Muhammadiyah (Tirto, 2017), terjadinya pola rekruitmen promosi, rotasi, dan mutasi yang salah.

Dari banyaknya kasus korupsi yang terjadi di daerah-daerah, salah satu pintu masuk nya ialah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dari Artikel ini, coba mengidentifikasi dan membedah lebih dalam terkait Pola Korupsi di daerah-daerah dan pintu masuknya melalui Pilkada, serta peran masyarakat didalamnya dalam menjaga daerah nya masing-masing. Hal tersebut ditunjukan untuk mencegah terjadinya desentralisasi korupsi.

Desentralisasi sendiri diartikan menurut Syamsuddin dalam Buku Desentralisasi dan Otonomi (Adi, 2020), merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk mengurusi rumah tangga sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka kenegaraan.

Pola Korupsi di Daerah

Jika melihat pola korupsi yang terjadi didaerah diantaranya terdapat 4 pola; fungsi dprd; perizinan; pengadaan barang dan jasa; promosi jabatan. Menurut analisa Tomy Legowo (Muhtar dan Fathur, 2013), menurutnya ada 3 penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah.

Pertama, program otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan, dan administrasi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tanpa disertai dengan pembagian kekuasaan kepada rakyat. Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang didaerah. Ketiga, legislatif gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol, malah sebaliknya.

Dari hal tersebut, Penulis mengidentifikasi yang dapat di kelompokan menjadi 3 jenis; (1) Korupsi Birokrasi -berkaitan dengan ASN, Perizinan, pengadaan barang dan jasa-; (2) Korupsi Berjamaah -Kepala daerah dan DRPD-; (3) Keterlibatan Pengusaha -pengadaan barang dan jasa, perizinan-.

Birokrasi sendiri menurut Mohtar Mas’oed (Muhtar dan Fathur, 2013), mengatakan bahwa birokrasi selaku aparat pemerintah juga menjadi inisiator pembangunan perencanaan pembangunan, dan mencari dana. Selain itu birokrasi juga merupakan sumber kekuasaan yang memonopoli informasi, keahlian teknis, dan memiliki status yang lebih tinggi jika berhadapan dengan masyarakat.

Hal tersebut menyebabkan rawan terjadinya Korupsi Birokrasi. Menurut Farida Patinggi dan Fajlurahman (2016), Korupsi Birokrasi merupakan korupsi yang diakibatkan oleh kinerja birokrasi yang buruk, tata kelola birokrasi yang kurang memadai dan kejahatan birokrasi yang terstruktur.

Mohtar Mas’oed dalam Politik, Birokrasi, dan Pembangunan (2003). Mengatakan terdapat dua faktor yang berperan terjadinya korupsi birokrasi. Pertama, posisi dominasi birokrasi pemerintahan daerah sebagai sumber utama barang, jasa, dan lapangan kerja sekaligus pengatur kegiatan lapangan ekonomi. Kedua, dominasi negara yang mengerdilkan kekuatan lainya dalam masyarakat.

Menurut Eko Prasojo (Farida, 2016), sumber penyakit birokrasi pada dasaranya dapat diidentifikasi dari dua lokus: internal dan eksternal. Faktor internal, pertama, ialah sumber kelemahan berasal dari kegagala sistem yang ada di birokrasi tersebut. Kedua, ialah bersumber dari faktor masuknya sumber daya manusia yang tidak transparan, objektif, dan profesional. Ketiga, proses bisnis dalam pelayanan yang memungkinkan birokrat secara individu atau bersama dapat mengambil uang negara dalam jabatan dan wewenangnya.

Faktor eksternal, pertama, disebabkan oleh relasi antaraberbagai sistem yang terkait, misalnya kooptasi dan intervensi politik. Kedua, ialah budaya masyarakat yang sangat permisif, menjadikan suap sebuah hal yang biasa.

Selain korupsi Birokrasi, terdapat korupsi Berjamaah. Keterlibatan antara kekuasaan didaerah-daerah, biasanya terjadi antara kepala daerah dan DPRD, serta tangan tidak terlihat dibalik anggaran (baca: pengusaha kotor).

Menurut Pratikno (Muhtar, 2013), keterlibatan banyak aktor dalam korupsi disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, Korupsi tidak lagi dilakukan oleh individu yang ingin memperoleh uang secara cepat, namun juga lembaga-lembaga politik dan pemerintahan sebagai upaya untuk menghidupi lembaga. Kedua, korupsi yang dikembangbiakkan sebagai mekanisme keseimbangan politik. Seorang koruptor akan berusaha menjebak lembaganya terlibat korup sehingga ia terlindungi dan menjebak lembaga lainya. Ketiga, korupsi akan cenderung bersifat akumulatif, karena yang menyuap akan berusaha memperoleh uang pengganti, dan yang menerima juga menyuap kepada yang lain. Keempat, korupsi juga melibatkan juga aktor-aktor lain diluar pemerintah, seperti pelaku bisnis, dan bahkan kompnen lain dalam masyarakat.

Diantara korupsi Birokrasi dan Korupsi Berjamaah, semakin menjadi marak didaerah-daerah. Diperlukan suatu cara komprehensif, untuk mencegah korupsi dengan bentuk birokrasi dengan berjamaah. Pertama, ialah dengan memperbaiki sistem atau Reformasi Birokrasi yang mencegah terjadinya korupsi. Kedua, ialah menciptakan kelembagaan yang saling mengawasi atau pembuatan lembaga pengawasan yang independen di daerah-daerah.

Pintu Masuk Pilkada

Fenomena Pilkada saat ini, selain munculnya masalah lama, yaitu terjadi keluarga diantara elite kembali maju dalam Pilkada. Menurut penulis, terdapat fenomena pola Pilkada dimana elite yang terpilih di DPRD pada tahun 2019, kembali maju pada Pilkada 2020. Artinya dia menjadi DPRD untuk menjadi batu loncatan, mengakibatkan pola buruk haus kekuasaan dan menjadi bahaya jika dibiasakan.

Selain itu, penemuan Penulis, menemukan terjadinya kekuasaan pusat pada Partai Politik. Terbukti beberapa calon kepala daerah perlu mendapatkan rekomendasi dari Pimpinan Pusat Partai Politik untuk mendukungnya, artinya konsep desentralisasi hanya jargon, masih terdapatnya pemusatan politik.

Terbukti

Ini menjadi pintu masuk terjadinya korupsi didaerah, jika (1) proses aktivitas tersebut membutuhkan modal uang yang banyak. (2) proses aktivitas tersebut melibatkan pengusaha dengan perjanjian-perjanjian tertentu. (3) proses aktivitas tersebut menghasilkan promosi jabatan yang tidak berintegritas. (4) terdapat kesepatan antara eksekutif-DPRD melalui partai-partai politik pendukung yang melibatkan proyek dan anggaran tertentu.

Hal tersebut berakibat politik biaya tinggi. Menurut Vishnu (KPK, 2019), politik biaya tinggi dituding sebagai penyebab terdorongnya pejabat pemerintah -Kepala Daerah, DPRD, ASN Daerah- terpaksa melakukan korupsi, untuk menutupi biaya korupsi yang dilakukan pada saat Pilkada.

Sehingga menurut James Burns (dalam Vishnu, 2019), pejabat tinggi daerah memiliki karakteristik transaksional daripada memberikan visi membawa perubahan transformasional pada daerah-daerah.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: