Pilkada dan Politik Perkauman

nurudin7Oleh :
Nurudin
Dosen Fisip  Universitas Muhammadiyah Malang

Dalam Undang-undang 8 tahun 2015 Pasal 1 angka 6 disebutkan bahwa calon kepala/wakil kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana (kepala/wakil kepala daerah yang sedang berkuasa). Adapun konflik kepentingan yang dimaksud antara lain; adanya hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke bawah, ke samping dengan petahana itu.
Artinya, calon kepala daerah tidak boleh ada konflik kepentingan karena hubungan  ayah, ibu, mertua, ipar, anak, dan menantu. Oleh karena itu, agar keluarganya bisa menjadi calon, ada beberapa kepala daerah yang merasa perlu untuk mundur sebagai pimpinan daerah sebelum masa baktinya  habis.
Semangat dibuatnya UU 8 tahun 2015, salah satunya agar tercipta keadilan di daerah dan kepentingan kepala/wakil kepala daerah tidak menjadi-jadi. Sebagaimana pernah dikatakan Lord Acton power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely (kekuasaan cenderung disalahgunakan, kekuasaan yang mutlak, termasuk terus menerus, pasti disalahgunakan). Maka, semangat UU di atas patut disambut dengan gembira.
Sementara itu, mundurnya kepala/wakil kepala daerah petahana jelas mempunyai semangat untuk menyiasati UU itu. Sebab kalau tidak mundur, keluarganya tidak bisa mencalonkan. Sedangkan, jika ia tidak mundur maka kekuasaan dan pengaruh yang selama ini sudah dibangun tidak bisa diteruskan.
Perkauman
Undang-undang memang telah dikeluarkan, kritikan bertubi-tubi juga sudah sering dikatakan berkaitan dengan Pilkada. Salah satu yang dikeluhkan adalah menguatnya politik perkauman.
Politik perkauman adalah monopoli kekuasaan daerah  berdasar kaumnya (keluarga, parpol, ideologi, ikatan keagamaan). Diantara politik perkauman di atas yang sangat mencemaskan adalah faktor hubungan kekeluargaan (politik dinasti), apalagi sudah berkaitan dengan ideologi dan partai. Mengapa? Karena politik perkauman menganggap bahwa kelompoknya yang berhak berkuasa dan ingin memonopoli kebenaran, seolah kelompok lain tidak berhak.
Mengapa risau dengan politik perkauman? Pertama, politik perkauman menutup peluang proses perubahan demokratisasi di daerah. Masalahnya, kekuasaan yang sudah dibangun oleh kekuasaan perkauman itu sudah kuat, dan menancap kokoh di semua lini di bawahnya. Penguasa daerah juga cenderung mengangkat pejabat yang berasal dari kaumnya, sementara yang tidak berhubungan akan dipindah.  Cara ini tak lain agar kekuasaan perkauman mereka tetap bertahan.
Jadilah proses perubahan akan mengalami kemandegan. Segala bentuk perubahan yang diarahkan untuk kepentingan rakyat di daerah juga akan terhambat karena semua harus disesuaikan dengan kepentingan penguasa daerah itu. Kalaupun ada perubahan biasanya hanya bersifat artifisial.  Ada perubahan  memang, tetapi bukan yang bersifat dasariah, hanya di permukaan. Ada kesan terjadi perubahan, padahal sebenarnya tidak ada sama sekali.
Kedua, kekuasaan yang diperoleh dari politik perkauman akan dianggap sebagai kekuasaan yang kepemilikan kebenarannya seolah diperoleh itu adikodrati. Kekuasaan adikodrati ini cenderung dianggap bahwa kekuasaan itu mengumpul dan  tidak terbagi. Akibatnya kekuasaannya tidak bisa dikritik, diganggu gugat atau tidak boleh direbut kelompok lain.
Kekuasaan seperti ini cenderung dipaksakan untuk diteruskan pada keluarga dan kroninya karena dengan demikianlah kekuasaan itu bertahan. Mereka yang mengkritik akan dianggap sebagai bentuk rongrongan dan buru-buru harus dibungkam.
Kekuasaan Orde Baru (Orba) selama 32 tahun memberikan pelajaran bagaimana kekuasaan itu mengumpul dan tidak terbagi. Orba memang sudah berganti secara sistem, tetapi secara “ideologis” masih hidup.
Oleh karena itu, bagaimana caranya kekuasaannya tetap bisa dipegang. Dalam kasus aktual bagaimana para kepala/wakil kepala daerah berusaha menyiasati UU. Mereka juga tidak malu-malu untuk mundur sebelum jabatannya habis hanya untuk memuluskan pencalonan kaumnya.
Meskipun cara-cara seperti ini sudah banyak yang mengkritik, ada kecenderungan kepala/wakil kepala daerah itu tetap mundur. Alasannya, tidak ada cara lain agar kaumnya itu bisa menjadi kandidat. Mereka lebih mementingkan keluarga daripada amanat rakyat yang pernah memilihnya. Mereka seolah menutup mata, bahwa yang dilakukannya itu tidak elok. Toh, jika kekuasaan berganti, yang menggantikannya juga akan melakukan tindakan serupa. Jadi, penggantinya nanti juga hanya akan mementingkan kaumnya. Maka kepala/wakil kepala daerah itu menganggap hal demikian sah-sah saja.
Yang Harus Dilakukan
Para calon pemimpin di daerah yang hanya mementingkan kaumnya tentu tidak serta merta berdiri sendiri. Mereka melakukan tindakan yang kurang beretika (mengundurkan diri sebelum jabatannya habis) karena memang UU memberikan peluang. Bahkan ada ungkapan minor yang berbunyi, “hukum diciptakan untuk disiasati”. Hukum memang mengatur tetapi tanpa dibarengi dengan penegakan etika hasilnya juga tidak bermanfaat. Kepala/wakil kepala daerah itu mematuhi hukum, tetapi secara etika mereka tak malu untuk melanggarnya.
Hal itu dilakukan karena sistem politik kita hanya mementingkan pada kekuasaan. Demi kekuasaan, para calon pemimpin itu melakukan apa saja. Kalau perlu cara-cara kotor dilakukan untuk mencapai kekuasaan. Tak heran jika korupsi di daerah juga tidak semakin menurun. Korupsi justru dilakukan secara berjamaah dan semakin sulit diberantas karena tali temalinya semakin kuat.
Dengan berbagai macam cara dilakukan, yang terjadi kemudian akan menghalalkan segala cara untuk tetap bisa berkuasa. Kekuasaan yang demikian punya kecenderungan bisa melakukan kekerasan (violence) demi kekuasaan. Mareka tak segan untuk menindas rakyat demi kekuasaan itu. Sejarah di negeri ini membuktikan bagaimana kekuasaan yang dicapai serta dipertahankan dalam kurun waktu lama selalu berkaitan erat dengan tindak kekerasan.
Kalau sudah begini, apa yang harus dilakukan? Tentu saja masyarakat harus terus menyorot dan bersuara dalam melawan politik yang tak bermartabat. Masyarakat tentu saja membutuhkan media untuk terus bersuara. Media tentu tidak bisa berlindung di “ketiak” penguasa daerah. Media bisa menjadi alat komunikasi yang kritis jika bisa menjaga jarak dengan kekuasaan. Sekali dekat dengan kekuasaan, independensi akan sangat sulit dilakukan. Hal demikian tentu tidak mudah, namun bukan situasi menuju kiamat.

                                                                                                         ——————— *** ———————-

Rate this article!
Tags: