Pilkada : Dari, Oleh dan Untuk Siapa?

Oleh:
Hutri Agustino
Dosen FISIP Unmuh Malang dan Pendiri Pondok Sinau Lentera Anak Nusantara (LENSA)

Sebagaimana dalam perspektif klasik, istilah demokrasi diartikan oleh Abraham Lincoln-Presiden Amerika Serikat yang ke-16 sebagai government of the people, by the people and for the people.Kata kunci dari demokrasi baik dalam arti ideologi maupun sistem politik adalah daulat rakyat. Apalagi jika tafsir tersebut dipakai untuk menganalisis konteks perpolitikan di Indonesia, maka realitas politik bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat telah menjadi keniscayaan politik. Hal tersebut terjadi karena dalam konteks sosio-historis, realitas state (negara) itu menjadi salah satu konsekuensi politik eksistensi nations (bangsa) yang tersebar dalam ratusan etnik dengan ragam budaya, agama bahkan sistem pemerintahan tradisional (monarki dan kesukuan). Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan puncak perwujudan dari semangat persatuan yang sekaligus menjadi antitesis realitas kolonialisme bangsa-bangsa Eropa Barat termasuk Jepang. Momentum Sumpah Pemuda tahun 1928 menjadi salah satu eksemplar konkret keseriusan bangsa-bangsa nusantara untuk bersatu demi kemerdekaan dan lahirnya negara yang berkeadilan sosial(social justice).Sampai pada akhirnya status daerah jajahan berhasil ditanggalkan setelah kemerdekaan di proklamirkan tahun 1945.
Pasca kemerdekaan, bongkar-pasang sistem politik berikut dengan berbagai simbol serta atribut pelengkap kemewahan rezim kekuasaan politik menjadi realitas yang tak terelakkan. Bahkan, Pancasila sebagai simbol ideologi tunggal bangsa Indonesia yang hadir sebagai akhir dari kesepakatan politik para pendiri republik turut ditafsirkan sesuai kapasitas dan selera kekuasaan politik. Dalam fase tertentu, Pancasila menjadi ‘kanan’ dan dalam fase yang lain tiba-tiba menjadi seolah-olah ‘kiri’sehingga perlu ditarik kembali ke ‘tengah’ bahkan kembali lagi ke ‘kanan’. Setidaknya, tarik-ulur tersebut terjadi hampir sepanjang rezim Orde Lama berkuasa, sampai akhirnya tergantikan oleh rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Sebagaimana hukum peradaban, setelah sempat mengalami berbagai kondisi pasang-surut baik diartikan dalam konteks ekonomi, sosial, politik bahkan keamanan-pada pertengahan tahun 1998, rezim otoritarian Orde Baru akhirnya tumbang. Gemuruh reformasi mengisi sudut-sudut sendi kehidupan berbangsa sebagai representasi puncak euforia politik khususnya pada level akar-rumput(grass roots).
Bergulirnya era reformasi menjadi pertanda kembali bergairahnya ruang kebebasan publik(public sphere), bahkan hampir dalam segala hal yang tidak hanya menyangkut urusan politik praktis. Oleh sebab itu, kekhawatiran akan realitas kebebasan yang ‘kebablasan’ kemudian membayang. Diakui atau tidak, lahirnya paket Otonomi Daerah (Otoda) yang ditandai dengan diterbitkannya UU No. 32 Tahun 2004 menjadi jawaban negara atas segala bentuk kekhawatiran yang bisa berujung pada aksi disintegritas pasca reformasi. Apalagi jika fenomena tersebut di konstruksi secara politik dalam relasi antara state dan nations sebagaimana telah terbahas diatas. Tentu, wacana bahkan aksi disintegritas bisa saja diartikan bangsa ini sebagai bentuk punishment atas kelalaian negara dalam menjalankan amanah Sumpah Pemuda dan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Penikmat Pilkada
Sebagai bagian dari paket bergulirnya Otoda tersebut, pemilihan Kepala Daerah secara langsung (Pilkada) di tingkat propinsi (gubernur), tingkat kabupaten (bupati) dan tingkat kota(wali kota) yang selama rezim Orba berkuasa sering melalui proses penunjukan oleh presiden, selanjutnya dipilih secara langsung oleh rakyat dalam momentum Pilkada yang digelar secara periodik (5 tahun). Sehingga, mekanisme Pilkada sebagai salah satu produk reformasi politik di Indonesia diharapkan mampu menghadirkan negara di wilayah lokal. Baik itu dalam arti peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi (basic needs), keadilan hukum (law enforcement) sampai pada jaminan keamanan dari segala bentuk ancaman(under pressure). Nuansa sentralisasi yang terkesan kaku dan tak tersentuh di era Orba(status quo), menjadi realitas desentralisasi yang lentur dan humanis. Namun, alih-alih ingin memberikan praksis keadilan sosial di wilayah lokal-yang terjadi justru berbagai aksi reduksi bahkan distorsi.
Perjuangan panjang kemerdekaan dengan jutaan nyawa melayang, reformasi politik yang banyak menelan korban, lahirnya Otoda yang meniscayakan Pilkada-nyatanya justru menjadi industri politik baru bagi elit politik bercorak oligarkis di tingkat lokal.Tampilnya figur mulai dari Kepala Desa, Bupati, Walikota, Gubernur bahkan Presiden di Indonesia sampai dengan Presiden Amerika dengan latarbelakang pengusaha tidak hanya merupakan faktor ‘kebetulan’ atau sekedar cerminan high political cost di era pragmatisme. Tetapi, fakta tersebut menjadi perwujudan dari praksis oligarkisme pasca reformasi. Maraknya OTT KPK yang menyasar deretan Kepala Daerah jelang Pilkada dalam berbagai kasus gratifikasi menjadi justifikasi paling sahih. Dalam dunia politik kekinian, uang adalah panglima. Karena dengan uang, tidak hanya keadilan bahkan suara Tuhan di perjual-belikan(vox populi vox dei)dalam setiap momentum politik termasuk Pilkada.Demokrasi yang awalnya begitu sakral dan penuh nuansa politik-filosofis, akhirnya menjadi komoditas obralan (for sale). Karena demokrasi beras, baju dan uang (berjuang) saat ini semakin menjadi kenyataan.
Tiga Rekomendasi
Berdasarkan pada uraian diatas, setidaknya terdapat tiga rekomendasi agar setiap pemilihan pemimpin politik menjadi lebih berintegritas. Pertama, penting kiranya membuka Prodi Penyelenggara dan Pengawas Pemilu di universitas untuk mengisi formasi KPU dan Bawaslu dari pusat sampai daerah yang berbasis profesionalisme keilmuwan. Mengingat untuk menjadi guru SD saja, saat ini sudah harus lulusan PGSD. Kedua, mewajibkan bagi setiap Parpol untuk mengadakan sekolah ideologi kader berbasis struktur-kultur. Artinya, setiap calon kepala daerah, anggota legislatif bahkan presiden yang akan di usung harus pernah menjabat dalam kepengurusan parpol mulai tingkat ranting sampai DPP berikut dengan berbagai materi kultur ideologi.Ketiga, memperbanyak komunitas pencerdasan politik masyarakat sipil yang berbasis pada pemberdayaan dan riset berkemajuan. Dalam konteks tersebut, peran Perguruan Tinggi (PT) bahkan pesantren menjadi cukup sentral. Minimal dengan tiga hal tersebut, oligarkisme dalam Pilkada bisa dikerdilkan.

———- *** ———-

Rate this article!
Tags: