Pilkada di Masa Pandemi, Siapa Diuntungkan?

Oleh :
Irtanto
Peneliti Politik dan Pemerintahan Balitbang Provinsi Jawa Timur

Pelaksanaan pilkada memang dilematis di tengah-tengah pandemi covid 19, dari satu sisi pemerintah harus memprioritaskan kesehatan masyarakat di lain pihak harus menyelenggarakan suksesi kekuasaan di daerah yang tidak bisa ditunda-tunda lagi untuk menjaga stabilitas politik di daerah dan agar trust publik tetap terjaga.

Pemilihan kepala daerah merupakan perwujudan demokrasi di daerah di masa pandemi covid 19 menjadi lesu, kurang bergairah, padahal saat ini seharusnya ramai-ramainya kampanye. Yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana pengaruh pandemi covid 19 terhadap pilkada dan siapa saja yang dirugikan dan diuntungkan dari kondisi ini? Bagaimana taktis marketing politik yang dapat dikemas dalam branding kandidat yang menarik?

Pilkada pada masa pandemi covid 19 seperti ini semua pihak mengalami kerugian, anggaran pilkada menjadi membengkak untuk pembiayaan protokol kesehatan, kampanye kandidat tidak maksimal, warga masih mengalami paranoid dengan pandemi covid 19 yang ganas dan penularannya begitu cepat dapat menyebabkan partisipasi politik warga dapat diperkirakan menjadi menurun. Pemilih harus keluar rumah untuk mencoblos, apalagi dalam pelaksanaan pilkada harus mentaati protokol kesehatan, karena pemilih bersinggungan dengan banyak orang, dan harus memakai alat property bersama yang disediakan oleh panitia pemilihan. Selain rasa ketakutan terhadap covid 19, usia tertentu yang diperkirakan enggan untuk berpartisipasi dalam Pilkada adalah orang-orang yang berusia lanjut, dan mereka yang utamanya mempunyai penyakit komorbid, serta mereka yang hidupnya sangat care terhadap kesehatan dirinya.

Kondisi ini diperkirakan akan mengurangi partisipasi politiknya, hal ini termasuk dalam segmen pemilih situasional, yaitu kelompok pemilih yang dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional tertentu dalam menentukan pilihan politiknya (Nursalim, 2008). Demikian pula para kandidat dalam melaksanakan kampanye tidak bisa maksimal yang harus mematuhi protokol kesehatan, dan sulit untuk mendatangkan orang dalam kampanye tatap muka.

Kampanye Pilkada pada masa pandemi covid 19, kandikat memang sulit untuk melakukan kampanye karena harus mentaati protokol kesehatan yang sangat ketat, dibatasi ruang dan waktu serta jumlah yang hadir dalam kampanye tatap muka. Dengan demikian kandidat sulit untuk mengenalkan diri dan program-programnya kepada pemilih yang luas cakupannya yang dapat memuaskan berbagai komunitas. Apalagi kandidat yang belum populer ataupun di luar incumbent mengalami kesulitan untuk mengenalkan diri dan programnya lebih jauh. apalagi kalangan pemilih rasional, ada kecenderungan tidak memilih jika mereka tidak kenal dan tidak tahu program-program kandidat.

Faktor ketidaktahuan rakyat pemilih terhadap kandidat dan programnya dapat diperkirakan menjadi salah satu penyebab turunnya partisipasi dalam pilkada. Jauh sebelumnya penulis dalam suatu dialog di kalangan akademisi dan mahasiswa FISIP UWKS, Selasa 17 /12/2019 memperkirakan bahwa partisipasi kalangan muda perkotaan yang kelompok rasional akan naik kisaran 20%-30%. Dalam kondisi pandemi covid 19 seperti ini dan kurangnya informasi tentang program kandididat justru diperkirakan partisipasi kalangan kaum muda rasional akan menurun, namun menjadi berbeda apabila kandidat dapat meyakinkan pemilih dengan program-programnya dikemas dengan marketing politik yang menarik.

Situasi pandemi covid 19 seperti ini tentunya ada kandidat yang kurang diuntungkan, terutama para pemain baru (kandidat baru) di luar incumbent mengalami kesulitan untuk mengenalkan diri dan program-programnya kepada publik karena kampanye dibatasi oleh ruang dan waktu serta pandemi covid 19 yang menghantuinya di berbagai kalangan publik. Para kandidat baik incumbent maupun kandidat baru dalam situasi pandemi covid 19 akan mengalami kesulitan dalam memanfaatkan media kampanyenya kemungkinan lebih banyak memakai media elektronik, medsos dan baliho-baliho, sedangkan kampanye tatap muka atau mengumpulkan orang dibatasi dengan protokol kesehatan (social distancing, physical distancing dan lainnya). Dalam situasi pandemi covid 19 yang menyulitkan kandidat di luar incumbent (kandidat baru) yang tidak memiliki modal sosial (popularitas, jaringan dan lainnya) kemungkinan menggunakan jalan pintas untuk memenangkan pilkada, yaitu memanfaatkan situasi ekonomi rakyat yang serba sulit dengan menggunakan kekuatan modal dengan melakukan “politik transaksional”. Kandidat yang di luar incumbent untuk memenangkan pilkada harus bekerja keras, dan lebih berat. Oleh karena itu diperlukan modal sosial, strategi dan finansial yang cukup. Incumbent ataupun kader yang dipilih oleh incumbent yang karena kinerjanya sangat baik selama kepemimpinanya tanpa kampanyepun para pemilih sudah mengenalnya dan akan lebih percaya daripada kandidat baru yang tidak tahu sama sekali kinerja dan integritas dirinya. Secara psikologis bahwa publik akan lebih merasakan lebih dekat dengan incumbent daripada orang baru yang kinerjanya belum tahu dan tidak jelas (belum tentu baik). Hal ini kompatabel dengan pendekatan psikologi sosial teori Hucfeldt dan Carmines (1990) bahwa secara emosional dirasakan sangat dekat dengan partai politik atau kandidat incumbent yang telah mereka ketahui sebelumnya.

Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi lebih mengemuka dalam pilkada, terutama masyarakat perkotaan dan kaum terdidik akan lebih cenderung memilih karena faktor-faktor situasional bisa berupa isu-isu politik ataupun kandidat yang dikandidatkan. Dengan demikian isu-isu politik menjadi pertimbangan yang penting. Para pemilih rasional dalam Pilkada akan menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Artinya, para pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Indikator yang bisa dipakai oleh para pemilih untuk menilai seorang kandidat walikota ataupun bupati hendaknya dapat dilihat memenuhi atau tidaknya beberapa hal, seperti apa yang diungkapkan oleh Jeffery J. Mondak, (1995) bahwa bagi para kandidat, khususnya bagi para pejabat yang hendak menkandidatkan kembali, diantaranya akan dilihat bagaimana kualitas, kompetensi dan integritas kandidat.

Dalam situasi pandemi covid 19 menyulitkan kandidat, utamanya kandidat baru di luar incumbent, harus cermat memanfaatkan ruang publik untuk menarik hati para pemilih. Yang tidak kalah pentingnya bagaimana membangun branding diri. Tim sukses masing-masing kandidat yang harus dipikirkan adalah bagaimana caranya marketing politik untuk membangun branding diri kandidat tersebut di media sosial yang dapat mengisi berbagai ruang kosong informasi yang dibutuhkan oleh para pemilih politik di daerah yang bersangkutan. Branding diri yang dikemas dalam marketing politik kandidat sangat penting perannya untuk menarik dan meningkatkan daya pilih di kalangan pemilih rasional, psikologis maupun pemilih sosiologis.

Oleh karena itu, salah satu cara untuk dapat menaikkan elektabilitas dan trust politik serta partisipasi politik di masa pandemi covid 19 kandidat harus dapat mengemas branding yang sangat strategis didukung marketing politik yang taktis ke dalam tagline politik dengan mempertimbangkan identitas pemilihnya dan kultur politik daerah yang bersangkutan. Jika nantinya partisipasi politik rakyat dalam pilkada rendah legitimasi kepala daerah yang terpilih tidak akan kuat.

——– *** ———

Tags: