Pilkada Langsung Segera Diaklamasi

Yunus SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik.

Twitter milik Aburizal Bakrie (ARB, Ketua Umum Partai Golkar) menjadi pertanda, bahwa Perppu Pilkada secara langsung akan diterima hampir aklamasi. Dengan twitter itu dukungan terhadap Perppu sudah mencapai 60% kekuatan di parlemen. Fraksi lain (yang tergabung dalam kelompok Koalisi Merah Putih, KMP) tidak akan berani terang-terangan menolak Perppu. Paling banter hanya akan menyatakan abstain, sambil menyodorkan minderheid nota (catatan pernyataan sikap politik tanda keberatan).
Peta kekuatan politik kelompok di DPR-RI memang sudah berubah. Antara KMP dengan KIH nyaris seimbang benar. KIH (Koalisi Indonesia Hebat) memiliki 246 kursi (44%). Sebelum fraksi PPP bergabung, KIH hanya memiliki 207 kursi, kumpulan dari F-PDIP, F-PKB, F-Nasdem dan F-Hanura, atau sekitar 37%. Kelompok lain, KMP kini memiliki 253 kursi, atau 45%. Sedangkan fraksi Partai Demokrat (F-PD) yang dipimpin SBY memiliki 61 kursi (11%) dianggap floating.
Kicauan ARB dalam twitter-nya memang menjadi kunci. Sebelumnya, sebagai hasil Munas di Bali, konon diamanatkan Golkar akan menolak Perppu tentang pilkada langsung (dipilih oleh rakyat). Namun, terdapat Munas lain (di Ancol) sebagai tandingan. Boleh jadi, Munas Ancol akan “mencuri” keabsahan dengan mendukung pilkada langsung. Ternyata, hanya dengan kicauan twitter, ARB telah menyelamatkan Golkar dari kemungkinan tidak diakui oleh pemerintah.
Penyelesaian tepat, dan sangat sederhana. Sekali lagi, hal itu menunjukkan kecerdasan ARB yang memiliki instink politik 400% lebih hebat dibanding Taksin Sinawatra (mantan Perdana Menteri Thailand yang digulingkan). Dus, Golkar akan tetap pragmatis untuk menjaga elektabilitas-nya. Tidak perlu fanatik benar dengan sikap kelompok koalisi manakala tidak menguntungkan. Toh tiada perseteruan politik yang abadi. Begitu pula perebutan kekuasaan (di parlemen) sudah selesai terbagi secara permanen.
Syukur, perebutan status “paling jago” sudah diakhiri. UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) menjadi alat lobi peng-akur-an dewan. Menyusul nanti Perppu tentang Pilkada juga akan menjadi perekat kedua. Selanjutnya sudah menanti pekerjaan lain lebih strategis. Yakni, mengontrol kinerja pemerintah, serta mempersiapkan seratus undang-undang (UU) pro-rakyat. Juga meng-kalkulasi perubahan APBN 2015.
Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) tentang Pilkada yang diajukan oleh Presiden Jokowi, akan mulai dibahas pada awal Januari 2015. Perppu tersebut merupakan hak “perlawanan” terhadap undang-undang (UU) yang baru saja disahkan tetapi tidak disetujui oleh presiden. Perppu diatur dalam UUD pasal 22A ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).
Disetujui Aklamasi
UUD pasal 22 ayat (1) menyatakan, “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Perppu memang hak presiden. Walau terdapat fatsoen lain yang harus dijawab, sehubungan dengan pe-makna-an frasa “kegentingan yang memaksa.” Ketika presiden mengajukan Perppu (ketika itu SBY pada penghujung masa kepresidenan) sudah ada perdebatan panjang.
Perppu tentang Pilkada (yang berisi pilkada dipilih oleh rakyat), nampaknya akan disetujui oleh DPR secara hampir aklamasi. Fraksi Partai Demokrat, sesuai perintah Ketua Umum-nya (SBY) pasti akan mendukung. Dengan kesertaan itu saja, pilkada langsung sudah terdukung oleh 56% kekuatan di parlemen. Lebih lagi Golkar, dengan kekuatan 16% sudah beralih pandangan. Sehingga dukungan Perppu pilkada langsung sudah 72%.
Sangat mungkin yang sepakat dengan pilkada langsung akan meliputi 80% kekuatan parlemen. Tetapi hampir pasti tidak ada fraksi di DPR yang berani terus terang menolak pilkada langsung. Maksimal akan menyatakan abstain. Tetapi bulat (100%) maupun tidak, sebenarnya merupakan buang-buang waktu. Andai saat itu (periode akhir DPR 2009-2014) F-PD mendukung KIH dan tidak walk-out, Pilkada opsi langsung (oleh rakyat) pastilah sudah menang.
Pengesahan UU tentang Pilkada dilakukan pada akhir periode 2009-2014 lalu. Opsinya dimenangkan pilkada dipilih oleh DPRD setempat. Melalui voting, hanya 135 anggota (24%) saja yang mendukung pilkada langsung. RUU itu memang cukup berat. Bahkan telah dibahas selama 3,5 tahun. Forum rapat paripurna (dihadiri hampir 500 anggota dari jumlah total 560 orang) dihadapkan pada dua pilihan. Yakni, opsi pilkada langsung (dipilih oleh rakyat, seperti 10 tahun terakhir). Serta opsi kedua, dipilih oleh DPRD (sudah pernah dilakukan sejak tahun 1978 sampai 2008).
UU Nomor 22 tahun 2014, sudah sah. Sedangkan Perppu Nomor 1 tahun 2014 masih harus diperjuangkan di DPR-RI, sebagaimana diatur UUD pasal 22 ayat (2). Namun, walau dimenang opsi pilkada DPRD setempat, namun KPU (Komisi Pemilihan Umum) tetap ancang-ancang melaksanakan pilkada secara langsung (dipilih rakyat). Begitu pula banyak daerah tetap men-cadang-kan anggaran untuk pelaksanaan pilkada langsung.
Dalam hal antisipasi pilkada langsung, Jawa Timur malah telah mengesahkan Perda tentang Dana Cadangan. Kalau benar, pilgub 2018 tidak akan kelabakan menyediakan dana. Anggaran yang disediakan sebesar Rp 800 milyar). Antisipasi dana itu akan dikumpulkan secara multy-years (tahun jamak). Yakni mulai tahun 2015 sebesar Rp 100 milyar. Lalu tahun 2016 disisihkan Rp 200 milyar, serta tahun 2017 sebesar Rp 300 milyar. Sisanya Rp 200 milyar atau sisa sepenuhnya disediakan persis pada tahun penyelenggaraan pilgub.
Benarkah Untuk Rakyat?
Perda mem-pagu penyisihan dana cadangan dengan tren naik. Nilai pagu hanya sekitar 0,8% dari total APBD Jawa Timur. Hal itu wajar, karena setiap tahun nilai (nominal) APBD selalu naik. Begitu pula jumlah hak pilih (tahun 2018) pasti akan lebih besar. Serta hal lain yang harus diwaspadai adalah pelaksanaan pilgub sampai dua kali putaran lebih. Seperti pelaksanaan pilgub 2008 lalu, alokasinya mencapai Rp 804 milyar.
Antisipasi dana cadangan sekaligus untuk memenuhi amanat UU Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Pada pasal 116 ayat (5) dinyatakan: “Pendanaan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati dan walikota wajib dianggarkan dalam APBD.” UU tersebut lahir pada saat pilkada memasuki era pilihan langsung seperti pemilu legislatif.
Pilgub Kamis Kliwon 29 Agustus 2013, merupakan pilgub kedua yang dipilih secara langsung oleh masyarakat. Dimenangkan oleh pasangan KarSa II (Pakde Soekarwo dan Saifullah Yusuf) dengan 47% (sekitar 8,2 juta suara). Namun pemenang sebenarnya adalah golput, yang mencapai 12 juta lebih. Pilgub yang lain juga selalu dimenangkan golput. Artinya, mayoritas rakyat tak peduli benar dengan pilgub.
Pada pilgub Jawa Barat misalnya, jumlah golput tercatat sebesar 36,3%, atau hampir dua kali lipat dibanding perolehan suara Aher-Deddy Mizwar. Artinya, golput yang (lebih) layak disebut sebagai pemenang. Berdasarkan data KPU, Daftar pemilih tetap (DPT) pada Pilgub Jabar 2013 jumlahnya 32,5 juta jiwa. Jumlah pemilih yang menggunakan hak suara adalah 20.713.779 jiwa. Sehingga jumlah yang cuek terhadap pilkada gubernur mencapai 11,7 juta jiwa lebih, sedangkan jumlah pemilih Aher-Deddy yang hanya 6,5 juta lebih sedikit.
Berselang tiga bulan, fenomena golput makin menggejala pada pilgub Jawa Tengah. Jumlahnya mencapai 49%, atau meningkat 7,5% dibanding pilgub (2008) lalu yang masih sebesar 41,55%. Lagi-lagi, golput lebih layak disebut sebagai pemenang. Sebelumnya, pada pilkada gubernur Jakarta (September 2012) golput tidak cukup kuat untuk mengalahkan Jokowi. Pemilih yang tidak menggunakan pilih (plus suara tidak sah) sebanyak 2.424.653. Sedangkan perolehan suara Jokowi mencapai 2.472.130 (selisih 47.477 suara).
Jadi, benarkah pilkada langsung lebih disukai masyarakat? Yang pasti, pilihan langsung dapat menjadi sandaran (kekuatan) legitimasi. Dengan dipilih langsung, berarti “sama sakti” dengan anggota DPRD yang dipilih secara by name oleh rakyat. Sehingga DPRD tidak mudah menjatuhkan Kepala Daerah. Juga tidak perlu tunduk-tunduk benar kepada DPRD. Itu akan sangat berbeda dengan pilkada dipilih oleh DPRD.
“Kesaktian” legitimasi Kepala Daerah secara langsung, ternyata harus dibayar sangat mahal, secara ke-ekonomi-an maupun diametralitas sosial. Itu belum termasuk dampak manajerial ke-pemerintah-an. Sudah banyak guber, bupati dan walikota masuk penjara karena terpeleset dalam me-manage anggaran.

                                                                          –———————– *** ———————–

Rate this article!
Tags: