Pilkada Makin Kompetitif

Yunus-SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik

Coblosan pilkada baru saja usai dilaksanakan. TPS (Tempat Pemungutan Suara) juga sudah dikemasi. Pilkada serentak berjalan baik, walau tidak semua masyarakat pemilih menggunakan hak suaranya. Padahal KPU sudah meng-ancang-ancang hari libur coblosan pilkada pada pertengahan pekan (hari Rabu), jauh dari hari libur akhir pekan. Tetapi tidak menggunakan hak pilih (tidak mencoblos) juga merupakan pilihan (hak) politik.
Kini giliran tim sukses paslon (pasangan calon) memiliki tugas yang tak kalah berat dibanding tahap sebelum coblosan. Yakni, bersiap-siap mengajukan gugatan atau menghadapi gugatan pada sidang MK (Mahkamah Konstitusi). Berdasar catatan MK, hampir 80% proses pilkada “dialirkan” ke MK sebagai ketetapan terakhir. Biasanya, setelah penetapan oleh KPU Propinsi maupun KPU Kabupaten dan Kota, paslon yang merasa dizalimi tidak sepakat dengan hasil perhitungan KPU.
Maka jalan satu-satunya, tak lain, menggugat ke MK. Itu mekanisme wajar, sebagai upaya penegakan (pelurusan) proses demokrasi. Konstitusi (UUD) menjamin penegakan proses demokrasi (pilkada). Pada pasal 24C ayat (1), menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk … memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”  Ketetapan MK bersifat terakhir (tiada banding) dan mengikat.
Kini terbukti, tak mudah lagi untuk memenangkan pasangan calon dalam pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Menjadi “pengantin” pilkada memerlukan upaya keras (dan sistemik), terutama untuk jajaran anggota legislatif. Meski telah berstatus politisi (menjadi anggota DPD, DPR, serta DPRD kabupaten dan Kota), diperlukan kalkulasi ekstra cermat. Saat ini, jajaran legislatif yang menjadi calon Kepala Daerah wajib mengundurkan diri (di-PAW seketika).
MK membuat keputusan baru, yang dianggap sebagai keadilan (hak) politik. Yakni, setiap anggota DPR, DPD maupun DPRD yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah, diharuskan membuat surat pengunduran diri. Maka, andai kalah dalam Pilkada, jabatannya di legislatif juga hilang. Padahal, sungguh tidak mudah menjadi anggota legislatif pada tingkat daerah, lebih lagi DPR-RI. Persaingan antar-caleg, bukan hanya dengan parpol lain, melainkan juga sesama parpol di Dapil yang sama.
Timbangan majelis hakim konstitusi bersandar pada UUD pasal 27 ayat (1), pasal 28C ayat (2), pasal 28D ayat (3), serta pasal lain yang berkait dengan keseteraan. Berbagai sandaran hukum konstitusi dasar tersebut, digunakan untuk merevisi UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bulati dan Walikota. Pada beberapa klausul aturannya, UU tentang Pilkada ini dianggap tidak mencerminkan kesetaraan (keadilan) politik. Dulu, terasa lebih condong (memihak) kalangan legislatif.
Kehilangan Segalanya
Terutama pada pasal 7 huruf s, dinyatakan  “memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Begitu juga pada pasal 7 huruf t, dinyatakan,  “mengundurkan diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan  Pegawai Negeri Sipil sejak mendaftarkan diri sebagai calon.” Persyaratan yang sama (mundur tetap) juga tercantum pada pasal 7 huruf u, terhadap pegawai BUMN dan BUMD. Sehingga sangat terasa, bahwa pasal 7 huruf s, terjadi diskriminasi, meng-istimewakan jajaran anggota legislatif.
Majelis hakim konstitusi menilai, persyaratan mundur tidak hanya berlaku pada PNS dan TNI serta Polri. Maka siapa saja yang terkait jabatan dan ke-pegawai-an publik, harus mundur manakala mencalonkan diri dalam Pilkada. TNI, Polri, PNS, pegawai BUMN dan BUMD, dan DPR, DPD, serta DPD, harus lepas jabatan. Mundurnya bersifat tetap dan seketika setelah ditetapkan oleh KPU Propinsi (serta KPUD Kabupaten dan Kota) sebagai pasangan calon dalam Pilkada.
Tetapi kepentingan rakyat, bukan sekedar ke-setara-an politik bakal pasangan calon. Melainkan sistem rekrutmen bakal calon pemimpin daerah, yang “mandiri.” Sebagaimana diamanatkan UU tentang Pilkada pasal 47 ayat (1)  “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.”
Usai pilkada serentak 2015, banyak eks anggota parlemen (DPR, DPD, dan DPRD) kehilangan segala-galanya. Gagal di pilkada, dan harus pula meninggalkan  kursinya di legislatif. Dan tentu, hilangnya kapita (kekayaan pribadi) yang dikumpulkan selama bertahun-tahun, untuk ongkos pencalonan dalam pilkada. Terutama untuk “membeli” tiket dari parpol. Walau terdapat larangan UU untuk menerima imbalan dari bakal paslon.
Tapi benarkah, parpol bisa bebas dari politik uang pada saat me-rekom bakal pasangan calon? Seperti kata-kata joke, “no lunch free,” tidak ada makan siang gratis (dalam rekrutmen politik)?! Bahkan “aset” parpol (jumlah kursi) di DPRD dijadikan komoditas politik, memiliki harga yang sangat mahal. Saat ini, setiap kursi di DPRD Kabupaten dan Kota, bisa bernilai Rp 2 milyar. Selamanya, komoditas politik ini akan menjadi virus paling kejam dalam proses Pilkada.
Survei dan Dukun
Harga tiket oleh parpol, biasa dikemas dalam ongkos pilkada. Bukan sebagai harga rekomendasi. Dalihnya, untuk membiayai “mesin” parpol, mulai dari tingkat Ranting (desa dan kelurahan) sampai tingkat DPC (kabupaten dan kota). Harga tiket bukanlah murah, bisa mencapai milyaran rupiah. Bergantung tingkat ketokohan, popularitas, dan elektabilitas (kemungkinan keterpilihan). Semakin tidak populer, harga tiket semain tinggi.
Untuk menakar popularitas dan elektabilitas, biasanya, setiap bakal calon membuat survei. Menyewa beberapa lembaga survei merupakan keniscayaan. Tetapi biasanya, banyak pula lembaga survei abal-abal, yang bisa memberi peringkat sesuai pesanan. Juga mesti cerdas memilih tokoh lain untuk dijadikan lawan dalam survei. Biasanya pula, bakal calon akan menempati peringkat kedua (persis dibawah tokoh paling populer), agar lolos syarat popularitas.
Selain lembaga survei, berbagai dukun juga laris dalam proses pilkada. Terutama dukun yang memiliki akses pada pimpinan parpol. Setiap dukun akan memberikan mantera (bacaan doa). Tak jarang pula direkmendasikan melakukan ritual khusus. Misalnya berendam di sungai tengah malam. Kadang juga diperintahkan menziarahi makam tokoh-tokoh daerah setempat. Sehingga makam tokoh masyarakat, khususnya Adipati (bupati)  pertama ramai dikunjungi paslon.
Perdukunan, bukanlah sisi negatif, namun bukan pula core demokrasi. Bahkan perdukunan bisa menjadi positif, manakala menguatkan spiritual quotient (SQ, kecerdasan spiritual). Kelak, SQ sangat bermanfaat sebagai bekal pelaksanaan manajemen pengelolaan daerah. Sebab, dengan moralitas yang tinggi  bisa mencegah KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Mencegah KKN, waib diwaspadai sejak awal. Karena kenyataannya, 60% pejabat Bupati dan Wakil Bupati, akan masuk penjara karena kasus korupsi. Sangat miris!
Tetapi meski sangat miris (dan tergolong “gila”), toh banyak yang memburu, agar pemerintahan di daerah tetap berjalan. Dalam pilkada serentak kali ini (digelar di 269 daerah), diikuti oleh 1.704 orang calon Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah. Yang akan benar-benar dilantik menjadi Kepala Daerah dan Wakil Daerah, hanya 528 orang (42 orang akan menjadi gubernur dan wakil gubernur di 21 propinsi).
Selebihnya (sebanyak 1.76 orang), wajib dengan ikhlas menerima hasil pilkada. Tetapi setidaknya ada hikmah. Yakni, lolos pilkada bisa menyelamatkan diri dari kemungkinan (besar) masuk penjara karena korupsi. Tidak memalukan keluarga, dan hidup lebih tenang.

                                                                                           ———————— *** —————————

Rate this article!
Pilkada Makin Kompetitif,5 / 5 ( 2votes )
Tags: