Pilkada Serentak dan Ancaman Golput

Umar Sholahudin (1)Oleh :
Umar Sholahudin
Pengajar Sosiologi Hukum FH Univ. Muhammadiyah

Tanggal 9 Desember 2015 mendatang merupakan momentum bersejarah bagi proses demokratisasi di daerah. Karena untuk pertama kalinya kita akan mulai melaksanakan Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung secara serentak. Momentum Pilkadainimenjadiujiandemokrasilokaldandapatjugadijadikan sebagai momentum untuk melakukan perbaikan dan perubahan di tingkat daerah.
Berdasarkan data KPU, Pilkada serentak akan dilaksanakan di 269 daerah kabupaten/kota dan propinsi. Sebanyak 820 pasangan calon akan meramaikan Pilkada serentak di 269 daerah. Dari 820 pasangan calon itu rinciannya; 20 pasangan calon gubernur/wakil gubernur, 686 pasangan calon bupati/wakil bupati, dan 114 pasangan calon walikota/ wakil walikota. Dari 19 pasangan calon gubernur/wakil gubernur, dua di antaranya merupakan calon perseorangan, 18 lainnya merupakan pasangan yang diusung partai politik. Jumlah pasangan calon akan mengalami penyusutan, menyusul adanya keputusan KPUD yang membatalkan Paslonkarena berbagai sebab. Salah satunya di Kabupaten Mojokerto, dari tiga Paslonmenjadi dua Paslon.
Saat ini masa kampanye masih berlangsung dan akan berakhir pada 5 desember mendatang. Berbagai cara telah dilakukan para Paslon, Parpol dan Tim Suksesnya untuk dapat meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya. Bagi mereka yang berkantong tebal, kampanye dilakukan melalui iklan di berbagai media, baik cetak, maupun elektronik. Selain itu, ratusan bahkan ribuan pemflet, baliho, poster dengan ukuran besar terpampang di berbagai sudut-sudut kota dan kampung-kampung. Sehingga nyaris kampung dan kota-kota di seluruh Indonesia ini nyaris seperti hutan reklame dan baliho politik.
Partisipasi Pemilih
Namun apakah antusiasme calon politisi tersebut juga diikuti dengan antusiasme masyarakat pemilih. Ternyata, antusiasme politik para elit politik ini tak berbanding lurus dengan antusiasme masyarakat. Masyarakat sepertinya kurang peduli terhadap hajatan lima tahunan tersebut. Bahkan saat ini, pemilih sudah mulai pesimis dan apatis terhadap Pilkada. Indikasi ini setidaknya tercermin dari hasil survey (tarbaru) yang dilakukan lembaga survei Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran. Lembaga ini memprediksi untuk konteks Jawa Baarat, tingkat partisipasi warga dalam pemilihan kepala daerah serentak di delapan kota dan kabupaten di Jawa Barat pada 9 Desember 2015 berpotensi kurang dari 60 persen. Golput (golongan putih) yang tidak memilih bisa 40 persen lebih, terutama dari gabungan pemilih pemula dan massa mengambang(tempo.com, 29/11/2015). Mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu karena berbagai alasan; baik karena idiologis, politis, teknis, maupun pragmatis.
Tanda-tanda pesimisme dan apatisme politik masyarakat terhadap Pilkada serentak Pemilu 2015 ini sudah mulai nampak, antusiame masyarakat relative rendah, yang ditandai dengan Pertama, gejala semakin merosotnya partisipasi pemilih pada Pemilu dan Pilkada di banyak tempat sebelumnya. Jumlah mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya semakin membesar, yakni berkisar antara 30-40 persen. Bahkan di beberapa tempat sudah mencapai angka lebih 50 persen.
Kedua, pesimisme masyarakat muncul karena sudah berkali-kali diadakan Pilkada, ternyata tidak memberikan dampak signifikan bagi perubahan dan perbaikan kesejahteraan hidupnya. Bahkan sebagian kehidupan masyarakat kita semakn susah. Angka pengangguran dan kemiskinan bukannya berkurang, justru semakin melambung. Bagi masyarakat, ada atau tidak adanya Pilkada atau Pemilu, kondisinya sama saja. Tidak ada perubahan dan perbaikan sama sekali. Jika demikian, buat apa ikutPilkada jika tak ada perubahan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat?.
Ketiga, apatisme dan pesisme masyarakat semakin memuncak ketika melihat tingkah polah para pejabat dan wakil rakyat yang mengecewakan. Apatisme masyarakat ini memang cukup beralasan. Lima tahun terakhir ini yang dipertontonkan politisi hanyalah deretan keserakahan. Keserakahan akan kekuasaan, kerakusan akan uang, dan ketamakan akan fasilitas. Selama lima tahun DPR/D telah menjadi lembaga wakil rakyat yang autisme. Para politisi asyik dengan dirinya sendiri. Cercaan dan kecaman terus dilontarkan, tetapi mereka seakan tuli. Mereka menganggap sepi semua keluhan dan protes publik.
Bukti lain, kasus korupsi yang melibatkan para pejabat daerah terus meningkat. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, ada 343 kepala daerah yang berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, mau pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data terkahir sampai bulan Desember 2015, tercatat cukup tinggi, gubernur, bupati, walikota adalah 343 orang yang ada masalah hukum baik di kejaksaan, polisi, dan KPK. Mendagri, Tjahyo Kumolo mengatakan, hingga tahun 2010, ada 206 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Tahun selanjutnya, Kemendagri mencatat secara rutin yaitu 40 kepala daerah (tahun 2011), 41 kepala daerah (2012), dan 23 kepala daerah (2013). Sementara itu, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang tersangkut di KPK hingga tahun 2014 yakni mencapai 56 kepala daerah. data dan fakta ini yang menimbulkan sinisme dan apatisme masyarakat.
Keempat,  para kandidat yang disodorkan parpol atau gabungan parpol tidak terlalu menjanjikan. Bahkan kandidat yang muncul bukan karena lahir dan produk dari masyarakat atau konstiuen, tapi lebih karena produk elit. Sehingga kandidat lebih elit -mengahamba pada kepentingan elit daripada masyarakat. Pola rekruitmen kandidat yang elitis semacam ini yang membuat masyarakat pemilih pesimis dan apatis.
Kelima, fenomena dominan dan kuatnya (popularitas dan elektabilitas) calon incumbent di suatu daerah, yang kemudian melahirkan tidak adanya pesaing atau lawan tanding yang mumpuni. Ini yang kemudian melahirkan calon tunggal (seeprti yang terjadi di Blitar) atau kalaupun Pilkada tetap dilanjutkan, melahirkan calon pesaing abal-abal atau calon boneka. Kondisi semacam ini, menjadikan Pilkada tidak terlalu menarik untuk diikuti atau pemilih cenderung apatis, karena sudah diprediksi yang akan menang adalah incumbent.  Milih atau tidak milih, pemenangnya sudah dapat diketahui lebih awal atau Pilkada is the end
Tingkatkan Partisipasi Pemilih
Potensi rendahnya tingkat partisipasi pemilih tersebut menjadi alarm politik serius bagi demokrasi di daerah.Partisipasi pemilih dalam Pilkada merupakan elemen dasar dan penting dalam sistem demokrasi. Rendahnya partisipasi pemilih dapat mengurangi kualitas penyelenggaraan Pilkada serentak. Karena itu, kondisi ini harus menjadi perhatian serius dari semua pihak, terutama penyelenggara Pemilu dan Parpol, bagaimana meningkatkan partisipasi pemilih?.
Harus diakui perbaikan dan akurasi data pemilih Pilkada 2015 ini jauh lebih baik dibanding pilkada sebelumnya, salah satu indikatornya; data Pemilih berdasar pada E-KTP yang cukup valid, sehingga dapat mereduksi adanya pemilih ganda. Selain itu, setiap pemilih dapatmengetahui apakah dirinya masuk dalam daftar pemilih atau tidak, dapat dengan mudah dilihat lewat web KPU setiap saat. Perbaikan data pemilih ini dapat menjadi solusi bagi para pemilih yang selama ini bermasalah dengan hak politiknya. Dan KPU dan Banwas pun perlu melakukan kegiatan kreatif dan inovatif yang dapat menarik pemilih untuk ramai-ramai datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS)
Parpol pun menjadi pihak pihak yang harus juga serius dan bersemangat dalam meningkatkan partisipasi pemilih. Di tengah kepercayaan masyarakat yang menurun, Parpol dan tim suksesnya dituntut untuk menyakinkan para pemilih agar menggunakan hak pilihnya; yakinkan kepada pemilih bahwa kandidat yang diusung adalah kandidat/calon yang tidak bermasalah, memiliki kapasitas, kompetensi, dan integritas (moral) yang baik. Selain itu, parpol harus mampu meyakinkan para pemilih bahwa tawaran program yang dikampanyekan akan dapat memberikan kontribusi positif dan riil bagi perbaikan masyarakat. Dukungan dan peran media, baik cetak dan elektronik pun sangat penting dan strategis dalam meningkatkan partisipasi pemilih.

                                                                                                        —————— *** ——————

Rate this article!
Tags: