
Karikatur Ilustrasi
Setengah bulan awal tahun (2018) ini akan menjadi periode genting pelaksanaan pilkada (pemilihan kepala daerah) serentak. Tetapi kantor KPU (Komisi Pemilihan Umum) Propinsi serta KPU kabupaten dan kota, masih sepi. Ini menandakan proses “peburuan” bakal paslon belum memuaskan parpol. Biasanya, pada masa injured time, (akhir pendaftaran calon) parpol akan tergopoh-gopoh mendaftarkan jago-nya.
Konon, pilkada serentak tahun 2018, akan menjadi pertarungan terakhir parpol. Sekaligus menjadi potret sukses pemilu legislatif dan pilpres 2019. Sebanyak 171 daerah akan menggelar hajat memilih pimpinan. Sebanyak 17 daerah akan memilih gubernur baru.Selain pemilihan gubernur, di Jawa Timur, juga digelar 13pilihan bupati, dan 5 penyelenggaraan pilwali.Sehingga diperkirakan lebih seru dibanding pilkada serentak tahun 2017.
Peserta pilkada, parpol maupun bakal pasangan independen wajib segera mematangkan “pen-jago-an.”Pendaftaran calon akan ditutup 10 Januari 2018. Namun harus diakui, tidak mudah memenuhi syarat pendaftaran bakal calon dalam pilkada. Antaralain, persyaratan sangat berat yang diatur dalam UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada. Terbukti, beberapa parpol belum memiliki bakal paslon.
Pendaftaran bakal pasangan calon (paslon) diatur dalam UUPilkada pada pasal 39, dan dirinci pada pasal 40 ayat (1). Yakni, bakal paslon independen pengumpulan KTP sebanyak 25% jumlah pemilih. Itu tidak mudah (tidak murah pula). Serta memerlukan ke-tokoh-an (popularitas dan elektabilitas) paslon. Ironisnya dalam sejarah pilkada di Indonesia, hanya sekitar 2% calon independen bisa memenangkan pilkada.
Sepekan ini akan menjadi masa “perburuan” akhir penetapan bakal paslon pilkada. Sebagian parpol belum memiliki Parpol memburu bakal paslon. Begitu pula bakal paslon, juga memburu parpol pendukung. Sama-sama saling berburu, niscaya, bisa menimbulkan kerawanan. Misalnya, bakal paslon yang diusung secara dadakan, tidak memiliki waktu yang cukup untuk di-sosialisasikan. Sedangkan bakal paslon lain telah memajang baliho, spanduk, dan poster.
Kerawanan politik uang, masih tetap wajib diwaspadai. Money politics, berhulu pada persyaratan menjadi pasangan calon. Mendaftar melalui parpol maupun pengumpulan KTP pada calon independen, harus mengeluarkan biaya besar, sebagai “mahar.” Diantaranya persyaratan 25% suara parpol atau 20% jumlah kursi di DPRD. Persyaratan itulah yang dijadikan kalkulator menghitung “harga” dukungan parpol.
Padahal, dalam UU Pilkada terdapat larangan khusus terhadap parpol menerima imbalan.UU Pilkada pasal 47 ayat (1), menyatakan “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.”
Namun, walau telah menjadi bisik-bisik yang nyata, hingga kini KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) belum pernah melakukan operasi tangkap tangan.Tapi benarkah, parpol bisa bebas dari politik uang pada saat me-rekom bakal pasangan calon? Seperti kata-kata joke, “no lunch free,” tidak ada makan siang gratis (dalam rekrutmen politik)?
Pada pilgub Jawa Timur sekarang, hanya PKB yang bisa mengusung paslon tanpa koalisi.Tetapi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) memilih bersama PDI-P, mengusung paslon Saifullah Yusuf (Gubernur), dan Azwar Anas (Wakil Gubernur). Kekuatannya mencakup 39% kursi di DPRD. Parpol lain wajib koalisi. Antaralain, Partai Demokrat (13%), Golkar (11%), plus PPP (5%) dan gabungan Nasdem-Hanura (6%).
Koalisi yang dipimpin Demokrat memiliki kekuatan 35% dukungan parpol. Akan bersama-sama mengusung paslon Khofifah Indarparawansa (Gubernur), dan Emil Dardak (Wakil Gubernur). Maka masih tersisa 26% dukungan parpol yang cukup syarat mengajukan paslon. Sebagai daerah berbasis NU, maka nahdliyin mesti waspada terhadap kampanye ber-altar agama.
——— 000 ———