Pilkada Usai, Selanjutnya Bagaimana?

Oleh :
Nurudin
Penulis adalah dosen Fisip dan Kepala Pusat Kajian Sosial Politik/PKSP, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM )

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak memang telah usai, tetapi kerja kita sebenarnya baru dimulai setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan terpilih. Mengapa? Karena apa yang terjadi pada Pilkada beserta pernak perniknya mencerminkan kedewasaan bangsa ini dalam berdemokrasi. Tak kalah pentingnya, pekerjaan rumah besar sudah menanti di depan mata. Bukan soal Pemilihan Legislatif (Pileg) atau Pemilihan Presiden (Pilpres), tetapi bagaimana menyiapkan pemimpin di masa datang; tidak hanya lima tahun tapi puluhan tahun ke depan.
Pelajaran Penting
Pilkada yang baru dilaksanakan memberikan pelajaran penting, bahwa kandidat masih sangat tergantung pada partai politik. Bisa dimaklumi, karena sistem pemilihan kita memang mengatur seperti itu. Akibat sistem ini, para kandidat terpilih akan memenuhi keinginan parpol dari pada kepentingan dan kemaslahatan umum. Dengan kata lain, kandidat berada dalam “ketiak” parpol. Seharusnya, meskipun mereka dipilih dan didukung oleh parpol jika sudah terpilih harus mengesampingkan partai atau kelompok tertentu. Artinya, kepentingan dan kemaslahatan umum harus menjadi titik tolak dalam upaya melaksanakan kebijakan daerah. Ini juga berarti , siapapun pun presiden terpilih juga tak jauh berbeda.
Fenomena adanya kemenangan kotak kosong pada pada Pilkada 2018 menjadi bukti adanya kecemasan dan bukti krisisnya kepemimpinan kita di masa datang. Termasuk beberapa kepala daerah yang bersaing dengan kotak kosong. Meskipun menang, ini fenomena yang tidak sehat bagi perkembangan demokrasi kita dimasa datang.
Di Indonesia, masyarakatnya masih memandang faktor pemimpin sebagai hal utama yang bisa memberikan arah. Pemilih Indonesia memang belum begitu rasional dan masih mengandalkan ikatan emosional dan pengetahuan akan sosok. Melihat kenyataan itu, maka aparatur negara tidak boleh hanya berurusan dengan bagaimana mengamankan kekuasaan saja.
Hal ini tentu akan menimbulkan koalisi mereka yang berkepentingan saja (pengikut). Pengikut mungkin merasa aman mengikuti pemimpin yang sedang berkuasa. Lalu bagaimana dengan mereka yang dianggap bukan pengikut? Mereka akan merasa tidak mendapatkan sumber dan akses kekuasaan atau keistimewaan. Mereka ini tentu akan mencari atau berpaling pada sumber-sumber lain.
Sumber lain itu bisa premanisme, sektarianisme, kesukuan, perkawanan dan lain-lain. Jika ini sudah tumbuh subur maka tidak bisa diharapkan akan muncul kepemimpinan yang mengayomi banyak orang.
Dengan kata lain, mereka yang tidak berada di jalur kekuasaan akan selalu berusaha untuk melawan, karena tak ada cara lain kecuali harus merebut kekuasan. Jika ini terjadi akan muncul lingkaran setan bahwa setiap ganti rezim hanya akan berususan dengan pemimpin yang mempertahankan atau merebut kekuasaan. Inilah yang sedang terjadi pula di negara kita; suasana saling balas dendam, berseteru untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan.
Agenda ke Depan
Maka, Pemilu itu harus bertujuan untuk menciptakan pemimpin yang baik dengan track record meyakinkan, bukan pepimpin populer apalagi hanya bermodal dukungan Parpol semata. Beberapa kata kuncinya antara lain; pertama, kemampuan merangkul banyak pihak. Meskipun ungkapan ini klasik tetapi tetap harus diperjuangkan. Tak ada cara lain untuk mengarahkan bangsa ini di masa datang dengan pluralitas tinggi, kecuali dengan dasar merangkul semua pihak. Dalam politik biasanya sangat akrab dengan koalisi, hanya sangat terkesan politis.
Pemimpin tentu harus mendahului merangkul. Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah pemimpin yang punya kemampuan merangkul banyak pihak, bahkan mereka yang dahulunya berseberangan. Entah dengan cara politis atau tidak, Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) akhirnya ikut dalam jajaran kementerian. Ini tentu patut diapresiasi lepas dari kelemahan yang melekat. Sehebat dan sebanyak apapun dana yang disediakan tanpa punya kemampuan merangkul ibarat mendirikan bangunan megah dengan pondasi rapuh.
Kedua, moralitas yang dipertanggungjawabkan. Ini berkaitan erat dengan orientasi politik yang menjadi komitmen seorang pemimpin pada rakyatnya. Komitmen ini bisa dilihat saat ia berjanji untuk melakukan banyak hak ketika dia terpilih nantinya. Jika seorang pemimpin tidak bisa memenuhi janjinya ini, maka ia akan dianggap punya moralitas yang tak bisa dipertanggung jawabkan. Moralitas yang baik akan berakibat pada kepercayaan rakyat pada pemimpinnya.
Ketiga, mampu menjadi teladan. Ini berkaitan dengan perilaku konkrit yang bisa dijadilan panutan rakyatnya. Tidak korupsi, pekerja keras, sederhana, membela kaum lemah, integritas yang baik adalah bagian dari bentuk keteladanan ini. Sudah berapa banyak para pucuk pimpinan lembaga akhirnya terseret korupsi setelah berkuasa? Tentu masing-masing pemimpin mempunyai cara sendiri untuk bisa menjadi teladan rakyatnya.
Keempat, kemampuan pada penegakan hukum tanpa kecuali. Indonesia masih krisis penegakan hukum, bahkan ada kesan tebang pilih dalam penegakannya. Untuk itu, kemampuan pemimpin dalam menegakkan hukum layak dikedepankan. Ia juga harus berada di garda terdepan penegakan hukum, meskipun ada kaitannya dengan keluarga atau organisasi pendukungnya. Jika tidak, maka kepercayaan rakyat akan makin berkurang. Berbagai carut-marut, tuduhan bahwa pemerintah tidak adil juga berawal dari ini. Masalahnya, selama ini hukum masih diletakkan di bawah kepentingan politik.
Di balik itu semua, tentu beban tidak hanya dipikulkan pada pemimpin. Rakyat sebagai pihak yang berdaulat juga perlu ikut menunjung tinggi kewibawaan bangsa dan negara. Selama ini, rakyat hanya sekadar mengekor pemerintah (karena memang mendukung pemerintah), di sisi lain ada sekelompok yang maunya hanya menggungat dan melampiaskan ketidakpuasannya di sana-sini. Di pihak inilah yang masih menjadi beban berat bagi para pemimpin di masa datang untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyatnya. Apalagi, rakyat masih buta politik atau sengaja dibutakan dengan hanya sibuk untuk membela kelompok masing-masing.

——- *** ——–

Rate this article!
Tags: