Pilpres 2024, Oposisi Biner, dan Dikotomi Politik

Oleh :
Aqil Husein Almanuri
Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam IAIN Madura. Ketua Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia wilayah Madura

Kontestasi sebagai bagian dari pesta demokrasi menggelar bermacam rupa realitas. Sejak pra-pengusungan Calon Presiden dari masing-masing partai politiknya (Parpol), kosmetik politis para calon, gabungan koalisi yang diterpa ambiguitas, hingga pada berbagai permainan yang didesain khusus para elit politik yang bagi saya cukup menggelitik. Tentunya, karena beberapa alasan yang tak kalah menggelitik juga.

Permainan para elit tersebut kian nyata ketika momentum Pemilu semakin dekat (hanya tinggal beberapa bulan saja). Bandar memegang kendali, masyarakat sebagai pengisi suara menjadi target pasar. Hal itu terjadi berulang-ulang setiap periode pemilihan dengan desain permainan yang (bagi saya) tidak jauh dari yang sebelumnya, nyaris sama atau bahkan tak ada kebaruan sama sekali. Seperti permainan dikotomi politik yang selalu menjadi menu Pemilu setiap tahunnya.

Dalam istilah yang berbeda, dikotomi politik juga masyhur disebut sebagai polarisasi. Bagi kalian yang tertarik dengan isu politik, saya yakin isu ini kalian anggap sebagai isu yang kolot. Bagaimana tidak? Isu ini timbul (nyatanya) tidak hanya pada momentum Pemilu. Namun, dalam sejarah politik kita, Anies Baswedan berhasil menguasai kursi DKI gara-gara isu demikian. Atau dengan kalimat yang lebih naif, Ahok di-tumbang-kan gara-gara ini.

Ketiga pejabat publik yang digadang-gadang akan maju pada kontestasi, telah mengeluarkan statemen yang nyaris serupa tentang polarisasi. Dengan nada yang berbeda namun memiliki kesamaan substanstif, ketiganya (Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto) sepakat bahwa seharusnya momen kontestasi ini tidak boleh ada yang namanya polarisasi. Semuanya harus berjalan damai, bahkan seorang Anies dengan rekam jejak strategi polarisasinya waktu di Pilkada, juga menyerukan hal serupa. Lucu bukan main! Saya sepakat dengan pernyataan Yunarto beberapa waktu lalu bahwa hal demikian adalah hanya bagian dari kosmetik politik.

Lalu kenapa, polarisasi atau yang saya sebut sebagai dikotomi politik dicap sebagai momok negatif bagi banyak kalangan? Bahkan para Capres (entah dengan tulus atau tidak) mengajak kita untuk menjauhinya? Apakah dikotomi demikian selalu berindikasi pada nada negatif?

Oposisi Biner
Ini ada kaitannya dengan teori oposisi biner. Oposisi biner biasanya dibentuk menurut dua pengklasifikasian. Oposisi biner sebenarnya, secara sederhana, dapat diartikan sebagai sebuah sistem yang berusaha membagi dunia dalam dua klasifikasi yang berhubungan secara struktural. Misal dan contoh gampangnya begini: ada malam ada siang, ada besar ada kecil, ada baik ada buruk, ada hitam ada putih. Oposisi biner biasanya (meski tidak selalu) membagi dua hal tersebut pada dua konotasi. Yang satu berkonotasi positif, satunya berkonotasi negatif.

Hitam selalu diumpamakan dengan keburukan, putih dinarasikan sebagai kesucian dan kebersihan, pasti salah satunya lebih positif dari yang lain. Putih lebih baik dari hitam, siang lebih baik dari malam, terang lebih baik dari gelap, dan seterusnya. Jika dikaitkan dengan Pilpres? Saya kira kalian bisa menjawab tanpa harus saya jelaskan lebih dulu. Apalagi, sudah banyak example yang bisa kita lirik kembali sebagai jawabannya.

Lagi-lagi saya ambil contoh di Pilkada DKI Jakarta kemarin. Karena bagi saya, momentum itulah yang paling pekat polarisasinya, apalagi berhubungan dengan sentimen agama. Saat itu, kubu Anies memainkan polarisasi agama yang cukup legit, antara calon walikota islam dan calon walikota kristen. Anies sebagai calon dari kalangan muslim, dan Ahok dari calon kalangan non-muslim (Kristen). Polarisasi itu (singkatnya) berhasil membawa kubu Anies pada kemenangan, meski carut-marut publik begitu terasa dengan pengkhianatan-pengkhianatan yang terjadi.

Ini kemudian terus berkelanjutan (entah secara sistematis atau tercipta sendiri). Publik seolah menikmati suguhan polarisasi (lebih-lebih mengenai agama) dan tidak sadar sedang diadu domba. Dan bisa jadi, realitas itu akan muncul pada Pilpres kali ini dengan babak baru namun memakai kemasan lama. Misal dua Calon yang jadi maju, Ganjar Vs Anies katakanlah, maka Ganjar akan dicap sebagai kaum nasionalis, dan Anies sebagai kaum agamis, dengan konsekuensinya: pemilih akan terpecah pula, berikut permusuhannya.

Jika boleh saya menganalogikan pada hidangan makanan, menu-menu ini adalah menu lama yang disuguhkan kembali. Desain pengadu-dombaan yang selalu dibangkitkan. Parahnya, banyak masyarakat yang masih ingin menyantapnya dan masuk perangkap. Padahal itu hanya sesaat, dan akan berubah ketika Pemilu usai. Yang menang akan menjadi pemimpin, yang kalah akan jatuh dalam koalisi dan menjadi kawan politik. Masyarakat yang bermusuhan? Akan tetap saling bermusuhan.

Adakah Dikotomi Politik yang Dibenarkan?
Untuk menjawab sub judul terakhir ini, maka jawabannya: tentu ada. Namun, bukan lantas dengan menggunakan dikotomi serupa (agama atau SARA) yang berasaskan pada kekerasan.

Saya masih tertarik dengan pendirian partai Ummat beberapa waktu silam (meskipun saya bukan fans partai Ummat) tentang statusnya sebagai partai yang masih mengakui dan mempertahankan spektrum politik identitas. Menurut pihaknya, identitas dalam dunia politik adalah hal yang pasti ada. Misal: PDI berasaskan nasionalis, PKS lebih agamis, dan macam-macam. Hanya saja, untuk lebih lanjut, kita yang perlu melihat perbedaan tersebut sebagai kekayaan demokrasi, sehingga polarisasi yang tercipta akan lebih berkonotasi positif.

Namun, yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini bukan itu. Melainkan, daripada selalu membahas isu agama atau identitas, sebaiknya masyarakat lebih giat membikin polarisasi atas suatu kebijakan masing-masing calon. Sehingga, yang dikritisi adalah rekam jejak masing-masing calon, bukan mempermaslahkan latar belakang agamanya.

Setiap calon punya rekam jejak buruk dan baiknya masing-masing. Anies dengan 212-nya, Ganjar dengan Wadas-nya, Prabowo dengan kegagalan food estate, dan masih banyak lagi. Nah, kebijakan itulah yang kemudian dipilih sebagai pertimbangan. Contoh lain: Ganjar akan meneruskan proyek IKN (misalkan). Maka, yang setuju dengan kelanjutan proyek IKN ada di pihak Ganjar, yang tidak setuju ya minggat. Polarisasi demikian seharusnya yang dianggap sehat dan menyehatkan terhadap demokrasi.

———– *** ————

Tags: