Pilpres dan Narasi Kengerian

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa 

Mengerasnya pertentangan antara pendukung dua pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo/Makruf Amin dan Prabowo/Sandiaga Uno sesungguhnya sudah banyak diprediksikan sebelumnya. Bukan saja, karena ini merupakan pertarungan klasik dua capres (Jokowi vs Prabowo) yang kembali terulang, tetapi juga karena kian gemuruhnya dunia media Sosial (medsos) menjadikan isu dan informasi yang beredar terkait kontestasi politik pilpres menjadi sangat liar dan nyaris tidak bisa dikendalikan.
Implikasinya, berbagai kepentingan ikut menari-nari diantara kerasnya pertentangan politik pilpres. Berbagai isu menggelinding, mengaduk-aduk emosi publik, hingga menerjang dan menabrak sendi-sendi kebangsaaan. Bahkan hal – hal yang sebelumnya tidak memiliki ruang untuk didiskusikan kini begitu mudah tampil dan menjadi konsumsi publik. Berbagai isu dan wacana begitu mudah digelindingkan dan dipaksakan menjadi bagian dari kontestasi politik. Isu – isu yang sensitifpun menjadi alat untuk membelah masyarakat agar berbeda. Persoalan bencana, komunisme, persoalan ideologi Pancasila, persoalan keagamaan (Islam) bahkan persoalan ‘doa’ pun dijadikan alat untuk membelah masyarakat.
Ironisnya, kalangan elit politik tidak terlihat mengerem situasi yang terjadi, tetapi justru ikut memainkan situasi yang ada dengan mencoba mencari keuntungan dari setiap isu yang bergulir dalam masyarakat. Hampir semua hal yang awalnya sesungguhnya tidak berkait dengan pilpres malah ‘digoreng’ agar menjadi komoditas yang bisa dijual yang ujung-ujungnya adalah untuk memberi manfaat politik bagi masing-masing kubu.
Membangun Kesadaran Publik
Kontestasi politik bernama Pilpres sungguh bukan agenda baru bagi negeri ini. Oleh karenanya, menyikapinya tentu juga tidak boleh berlebihan atau meminjam bahasa anak anak zaman now, berpolitik tidak boleh baper (bawa perasaan). Berpolitik dalam situasi politik hari ini bukanlah sebuah pertarungan hidup dan mati atau pertarungan antara kebaikan melawan kejahatan apalagi harus mengibaratkan sebagai pertarungan antara malaikat dengan iblis yang harus berimplikasi pada surga dan neraka. Sungguh tidak sejauh itu untuk menafsirkannya.
Pertarungan pilpres cukuplah dipandang sebagai adu ide dan gagasan untuk membawa kebaikan bagi bangsa ini. Poinnya adalah, bagaimana kita memilih calon yang bagi kita mampu memberikan harapan lebih baik bagi masa depan bangsa ini lewat ide dan gagasannya yang dirumuskan sebagai program kerja. Tugas kedua pasangan capres/cawapres sesungguhnya hanya menjajakan ide gagasannya agar bisa diterima dan kemudian mendapat dukungan dari masyarakat untuk mewujudkannya. Cukup dibaca sesederhana begitu.
Namun apa yang terjadi? Pilihan politik dalam Pilpres seolah berkaitan dengan tiket menuju surga atau neraka. Implikasinya, publik pun dipaksa ‘mati-matian’ untuk memperjuangkan calon yang dipilihnya. Padahal, faktanya, persoalan pilihan politik tak lebih dari permainan drama semata. Simak saja, partai politik dalam memilih pasangan calon sesungguhnya hitung-hitungannya hanya pragmatis semata jauh dari perjuangan ideologis. Lantaran, itu kalau publik kemudian terlalu larut dalam ketegangan politik maka itu sama artinya masuk ke dalam perangkap politik. Lha wong partai politik saja hanya sekadar ‘bermain drama’ saat berpolitik, kok masyarakatnya diprovokasi untuk totalitas memperjuangan pilihannya.
Sejak kampanye dimulai, berbagai pernyataan dari tim pemenangan atau juru kampanye masing-masing kerap justru memprovokasi emosi, bahkan tak jarang memantik reaksi keras dari kubu lawan. Setiap celah atau kesalahan yang dilakukan kubu lawan terlihat dimanfaatkan kubu sebelah untuk menangguk dukungan. Sejauh mana manuver tersebut berpengaruh pada elektoral calon yang didukung, itu perkara belakangan.
Hal yang utama adalah bagaimana mengapitalisasi isu yang berangkat dari kekeliruan lawan dalam berucap atau berkomentar. Pendeknya, kampanye pilpres ibarat penghitungan poin pada permainan badminton. Setiap kesalahan yang dibuat lawan adalah poin bagi kita. Akibat dari semua itu adalah kegaduhan. Pemberitaan dan lini masa medsos ramai oleh sensasi namun kering akan substansi. Penglihatan dan pendengaran kita lebih sering dipenuhi noise ketimbang voice atau aspirasi yang mewakili suara rakyat.
Kritik kubu lawan dibalas dengan reaksi defensif yakni mencari jurus lain untuk menyerang balik. Implikasi yang kemudian muncul adalah, banyak kegaduhan yang lahir karena permainan dan drama murahan yang digali dari hal- hal remeh temeh yang terjadi. Simak saja munculnya pro kontro narasi olitik semacam : politisi sontoloyo, tampang Boyolali, politik genderuwo” yang tidak memiliki pesan apapun kecuali hanya sekadar bermain kata-kata dan mengaduk-aduk emosi publik semata.
Penumpang Gelap
Penulis sangat percaya bahwa kedua pasangan capres/cawapres adalah figur-figur putra terbaik bangsa yang memang layak untuk mendapatkan amanah memimpin negera ini. Lantaran itu, penulis juga sangat meyakini bahwa kedua pasangan sebenarnya juga tidak menginginkan situasi politik menjadi begitu mengerikan dan menyeramkan seperti hari ini. Lantas mengapa bisa bget? Maka jawabannya tidak lain adalah karena ada pihak-pihak lain yang mencoba menitipkan agendanya ditengah hiruk pikuk politik pilpres. Ada penumpang gelap yang disadari atau tidak telah ikut memainkan isu yang menggelinding di arena politik pilpres.
Konsep penumpang gelap memang istilah yang agak sulit dijelaskan. Profesor ilmu antropologi dari Aarhas University, Denmark, Nils Bubandt dalam bukunya yang berjudul Democracy, Corruption and the Politics of Spirits in Contemporary Indonesia menyebutkan bahwa istilah penumpang gelap punya makna yang kontekstual terhadap politik domestik Indonesia.
Bubandt menerjemahkannya sebagai “dark passengers” – tentu saja secara harafiah – namun ia memberikan frasa tersebut makna yang sama dengan “stowaways” atau “free riders”. Bubandt menyebut istilah penumpang gelap sebagai terminologi yang dipakai untuk menjelaskan kekuatan tertentu yang ingin mengambil keuntungan dari situasi politik tertentu. Seringkali kekuatan tersebut terlihat berada di pihak yang sama, namun punya agenda yang tidak jarang berseberangan dan justru berakibat buruk pada orang atau pihak-pihak yang bertarung.
Situasi inilah yang sesungguhnya harus disadari. Publik harus diedukasi bahwa hajatan politik berupa Pilpres hanya momentum memilih presiden dari putra putra terbaik bangsa yang ingin membawa bangsa ini ke arah kehidupan yang lebih baik. Lantaran itu, memilih cukuplah dilandasi oleh kepercayaan bahwa figur yang dipilih adalah yang dianggap bisa mewujudkan impiannya. Ini penting ditegaskan, karena yang berkembang justru upaya untuk meningkatkan partisipasi politik dibarengi dnegan penciptaan kengerian-kengerian yang berlebihan akan figur tertentu. Artinya, masing-masing pihak menciptakan narasi-narasi dan situasi yang mengerikan untuk menggiring agar masyarakat mau memberikan suaranya sesuai dnegan keinginannya. Publik dibayangi ketakutan-ketakutan dan kengerian-kengerian bila memilih figur yang tidak dikehendaki. Dan situasi ini terjadi di kedua pasangan. Artinya, ada kengerian dan ancaman yang memaksa seseorang untuk memilih atau tidak memilih. Kengerian-kengerian yang sudah terlalu sering hilir mudik di dunia sosial misalnya terkait bangkitnya komunisme, kengerian akan tergusurnya umat Islam, kengerian tentang dominasi asing dan seterusnya. Sungguh kita berharap publik memilih dengan hati yang senang dan suka cita. Kita tentu tidak ingin pemilih nanti diwarnai oleh bayangan-bayangan kengerian yang sesungguhnya tidak jelas ujung pangkalnya. Sebab kalau kita terpancing dan tergoda untuk mengikuti provokasi yang begitu liarnya bergulir, percayalah siapapun yang menang tidak akan pernah membuat kengerian itu berakhir. Karena itulah yang diinginkan para penumpang gelap yang ingin bangsa ini terus berkelahi, terus saling membenci dan ujung-ujungnya bangsa ini akan kehabisan energi untuk membangun diri.
Pilpres yang akan kita lakukan, hanyalah ikhtiar bersama untuk mendapatkan pimpinan terbaik bangsa ini. Kita harus menjaga agar siapapun yang terpilih, persaudaraan dan kebersamaan sebagai bangsa ini tetap terjalin. Siapapun yang terpilih yang menang adalah Indonesia.
Wallahu’alan Bhis-shawwab.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: