“Pinocchio Syndrom” untuk Media

Agusti Alfi Nurul InsaniOleh:
Agusti Alfi Nurul Insani
Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan penyiaraan Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Aktifis Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Dakwah, UIN Walisongo.

Media merupakan alat yang mempunyai peran dan fungsi penting untuk membela dan melindungi kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, selain untuk kepentingan komersial, media juga harus tetap menyuguhkan informasi-informasi yang berorientasi untuk kepentingan masyarakat.
Di masa penjajahan, media termasuk instrumen perjuangan kemerdekaan yang mempunyai manfaat dan pengaruh luas bagi perkembangan bangsa ini. Melalui media, para pejuang bangsa dapat menyalurkan aspirasi berupa tuntutan-tuntutan atas ketidakadilan yang dilakukan penjajah, baik pemerintahan Hindia-Belanda maupun Jepang, terhadap bangsa Indonesia. Namun, hakikat peran dan fungsi media tersebut sudah mulai luntur. Saat ini, kesucian media telah ternoda oleh kepentingan-kepentingan yang berpihak kepada kelompok tertentu, sehingga kepentingan masyarakat umum sudah tidak menjadi prioritas utama.
Pernyataan serupa juga dikatakan oleh Sudharto P. Hadi, Rektor Universitas Diponegoro, salah satu universitas dari sembilan universitas yang digandeng Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menjalankan Survei Indeks Kualitas Siaran Televisi 2015. Dalam acara penandatanganan nota kesepahaman, dia menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemanfaatan televisi sebagai corong kepentingan kelompok. Selain itu, dia juga mengatakan bahwa siaran televisi lebih berorientasi pasar sehingga tidak memperhatikan kualitas tayangan yang disiarkan. (Jateng Ekspress, 27-02-2015)
Menurut UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, pada bab 2 pasal 5 disebutkan bahwa penyiaran harus memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab. Media massa dituntut agar selalu bersifat netral terhadap berita atau tayangan yang disampaikan. Jika hal tersebut tidak diindahkan, maka hasilnya akan berdampak buruk bagi pemahaman masyarakat. Sebab, pemahaman yang mereka peroleh bukan informasi yang objektif, melainkan informasi yang sudah terkontaminasi dengan subjekifitas pihak dibalik media tersebut.
Lebih dari itu, saat ini, banyak media yang disalahgunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Salah satunya dalam bidang politik. Contoh konkretnya adalah keberpihakan beberapa media, baik elektronik maupun cetak, terhadap dua kubu capres dan cawapres pada saat Pemilu 2014. Beberapa perusahaan penyedia informasi tersebut saling mengunggulkan calon masing-masing, tanpa mempedulikan keabsahan berita tersebut.
Keadaan media dewasa ini sudah terlampau jauh dari undang-undang dan kode etik jurnalistik. Eksistensi media di masa perjuangan kemerdekaan rakyat kini justru telah berbalik menjadi sarana kepentingan golongan yang merenggut kesejahteraaan rakyat. Oleh sebab itu, sudah saatnya media mengaca dan berbenah diri untuk mengembalikan eksistensi yng hilang tersebut.
Untuk keluar dari permasalahan tersebut, “pinocchio syndrom” dapat menjadi fenomena sosial yang sangat dibutuhkan media. Istilah ini mulai terkenal saat blumingnya salah satu film korea yang berjudul “Pinocchio”. Salah satu tokoh dalam film tersebut selalu cegukan saat berbohong. Menariknya, tokoh tersebut berprofesi sebagai reporter. Jadi, dia tidak akan bisa membawakan berita yang berbelok dari koridor kebenaran.
Pada dunia nyata, istilah sindrom ini bukan ditujukan untuk kondisi seseorang yang cegukan ketika berbohong. Namun, sindrom pinokio merupakan suatu kondisi saat tubuh seseorang kaku seperti boneka kayu karena si penderita merasa ketakutan bila ditertawakan orang. (Metronews.com, 12 Januari 2015)
Meskipun demikian, sindrom pinokio yang dimaksudkan dalam film tersebut seharusnya menjadi sindrom yang wajib menjangkiti media Indonesia.
Dengan begitu, media akan mendapatkan kembali citra baiknya sebagai agen pengendali sosial dan masyarakat kesejahteraan masyarakat. Salah satu jalannya adalah dengan memberikan informsi-informasi yang benar, berimbang, dan bertanggung jawab sesuai dengan undang-undang dan kode etik jurnlistik.

                                                                                                             ——————– *** ——————–

Rate this article!
Tags: