Pintu Revolusi Mental DPRD

Agustin Dwi HaryantiOleh :
Agustin Dwi Haryanti
Pengajar Universitas Muhammadiyah Malang

Akuntabilitas dan kredibilitas anggota DPRD kali ini kembali menjadi sorotan publik dengan adanya kasus yang baru saja terjadi pada anggota DPRD yang tak lama setelah dilantik, digelandang oleh kejaksaan ke ruang tahanan. Itulah yang terjadi pada salah satu anggota DPRD Sumatera Barat periode 2014-2019 yang menjadi tersangka korupsi.
Sesungguhnya kejadian serupa terjadi kepada anggota DPRD di beberapa daerah lain. Ironisnya, merekalah wakil rakyat yang diamanahi tugas memperjuangkan aspirasi rakyat, membuat peraturan daerah, mengawasi pemerintahan, dan menetapkan anggaran daerah.
Itulah potret buram salah satu anggota DPRD yang ada di negeri ini. Padahal kalau kita mampu menyimak bersama anggota DPRD merupakan bagian dari pilar penting dalam struktur trias politica, yang mempunyai peran sentral dalam sistem ketatanegaraan. Namun, di sisi lain kerap terdengar di publik membaca hal-hal kontraproduktif menyangkut sebagian pemberitaan dari mereka, mengenai wakil rakyat yang malas atau kerap absen menghadiri sidang, terjerat korupsi atau tindak pidana lain, boros anggaran rapat dan kunker. Termasuk kebiasaan tidak serius, bahkan tertidur saat menghadiri rapat.
Fakta tersebut mencerminkan citra negatif individu anggota DPRD yang terekam dalam benak sebagian masyarakat. Fungsinya sebagai institusi, kinerja wakil rakyat juga sering digugat, diantaranya mengenai soal keminiman proses legislasi yang bisa dituntaskan. Beberapa proses legislasi yang dituntaskan juga digugat karena dinilai belum bisa menjadi terobosan untuk cepat memecahkan persoalan di masyarakat. Sebagian besar inisiatif raperda masih dari eksekutif, bukan prakarsa wakil rakyat.
Harapanya dengan terpilihnya ribuan anggota DPRD baru sebenarnya membawa harapan terwujudnya pemerintahan bersih dan berwibawa di daerah. Bersama dengan kewenangan yang luas, DPRD dapat mewujudkan itu. DPRD merupakan aktor penting pembangunan di daerah, terutama pasca berlakunya otonomi daerah di mana DPRD memiliki kekuasaan lebih besar. Bahkan, pada awal masa reformasi, DPRD diberikan kewenangan ala pemerintahan parlementer; memilih dan memberhentikan kepala daerah. Hal ini merupakan respons terhadap model sentralistik yang diterapkan pemerintahan Orde Baru yang menghasilkan buruknya tata kelola dan tingginya korupsi di jajaran pemerintahan daerah.
DPRD yang kuat diharapkan memunculkan pengawasan yang efektif terhadap jalannya pemerintahan. Melalui kewenangan legislasi, pengawasan dan anggaran, DPRD diharapkan jadi aktor pendorong munculnya tata kelola pemerintahan yang baik. Namun, kewenangan yang besar itu ternyata tidak membawa kabar gembira. Justru korupsi dan penyalahgunaan wewenang tumbuh subur. DPRD jadi episentrum baru korupsi di daerah. Tingginya angka korupsi DPRD tecermin dari data Kementerian Dalam Negeri: hingga saat ini lebih dari 3.169 anggota DPRD terlibat kasus korupsi, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Angka itu masih akan bertambah mengingat sejumlah anggota DPRD sedang diperiksa oleh aparat penegak hukum.
Kredibilitas DPRD
Itulah gambaran karakteristik korupsi DPRD 1999-2004 tatkala kepala daerah dipilih oleh DPRD. Korupsi yang muncul akibat relasi koruptif antara DPRD dan kepala daerah. Keadaan makin diperparah oleh perilaku partai politik di daerah yang menjadikan anggota DPRD sebagai sumber pendanaan partai. Parpol terkadang acuh tak acuh pada mentalitas kadernya dan cenderung mendorong mereka berbuat koruptif untuk mendanai partai.
Berpijak dari beberapa kasus terungkap bahwa anggota Dewan merangkap jadi calo proyek, yang mempertemukan kepentingan pengusaha dan kepala daerah. Bahkan, tak jarang meminta jatah proyek secara terang-terangan. Relasi koruptif ini terbangun karena DPRD merasa bisa memonopoli kekuasaan eksekutif bahwa kepala daerah ditentukan oleh DPRD.  Format kekuasaan DPRD ini jelas telah gagal. Kekuasaan besar pada DPRD gagal dijadikan modal untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang lebih responsif, bertanggung jawab, bersih, dan berwibawa.
Sedangkan untuk memutus relasi koruptif ini dirumuskanlah pemilihan kepala daerah langsung. Pilkada langsung membuat kepala daerah lebih fokus kepada rakyat, tidak hanya segelintir elite yang ada di DPRD. Maka, berkembanglah berbagai inisiatif reformasi pelayanan publik di daerah dan program- program prorakyat. Orientasi kebijakan publik tertuju kepada rakyat karena rakyatlah yang berdaulat.
Mengembalikan mekanisme pilkada ke DPRD hanya akan menarik DPRD kembali masuk pada masa kelamnya. Masa di mana pimpinan dan anggota Dewan disoroti, digunjingkan, bahkan harus menghadapi dakwaan dan tuntutan hukum di pengadilan karena terlibat suap dan korupsi. Itulah puncak keterpurukan kredibilitas lembaga tersebut dalam sejarah republik ini, sehingga sudah saatnya kita mengevaluasi kembali peran parpol di Indonesia.
Parpol pengusung gagasan kepala daerah dipilih DPRD mestinya sadar diri bahwa tingkat kepercayaan masyarakat saat ini pada partai berada di titik nadir. Masyarakat sudah semakin kritis melihat perilaku elite politik yang kerap menyalahgunakan kewenangan. Lebih baik parpol berpikir keras bagaimana agar kredibilitas lembaga perwakilan kembali pulih dan parpol mendapat kepercayaan penuh dari rakyat sebagai pilar demokrasi, bukan pilar korupsi. Kini, memasuki era pemerintahan baru, saatnya wakil rakyat melakukan perubahan-perubahan secara cepat (revolusi) berkait beberapa paradigma, mindset, dan budaya politik. Upaya itu dalam rangka mengembalikan citra positif mereka dan lembaga, serta mencapai kinerja tinggi. Hal pertama yang mesti diubah adalah paradigma menyangkut status dan kedudukan.
Begitu dilantik, anggota DPRD harus memahami kedudukannya sebagai wakil rakyat di dapilnya. Bukan hanya wakil mereka yang mencoblosnya, wakil partai, apalagi wakil kelompok tertentu. Partai hanya sarana merebut hati rakyat dalam rangka mencapai kekuasaan. Regulasi yang dihasilkan semestinya prorakyat. Untuk itu, wakil rakyat harus aktif menyerap aspirasi dari lapangan, memformulasikan masalah, dan menyusun konsep perundangan-undangan yang prorakyat. Untuk itu, seluruh anggota harus bersih dulu dari segala bentuk penyelewengan atau penyalahgunaan kedudukan, sehingga pengedepanan mental legislator menuju keteladanan yang berpijak pada pro rakyat perlu dikedepankan.
Kunci Pembuka
Persoalan apa pun tentang mentalitas, sebenarnya merupakan wilayah karakter. Sebagian besar ahli meyakini karakter itu sesuatu yang tidak gampang, bahkan tidak bisa diajarkan kepada orang lain secara individu, apalagi kolektif. Tapi karakter itu dapat dilakukan dengan cara mengembangkan dengan memanfaatkan  ìkunci pembukanyaî, yakni intervensi, habituasi, dan keteladanan.
Dari ketiga alternatif dan kombinasi kunci pembuka mentalitas tersebut, kunci mana yang lebih memungkinkan untuk direvolusikan? Kunci intervensi tampaknya hanya dapat kita lakukan untuk membuka pintu generasi baru mendatang yang sekarang masih balita (pesimistis pada generasi sekarang yang sudah terbalut jati diri yang sudah permanen dan suka bermanuver demi kepentingan politik).
Kunci habituasi memerlukan proses panjang pembudayaan kolektif sehingga tak bisa revolusioner. Keteladanan sangat memungkinkan asal keteladanan yang benar-benar sistemik dan mendasar mengikat secara signifikan. Artinya, kunci pembuka pintu revolusi mental itu sebenarnya keteladanan. Kita sebagai warga negara seperti tidak sabar menunggu. Maunya akan cepat terjadi revolusi keteladanan itu di semua lini pemerintahan.
Kita menunggu dengan tidak sabar lagi, bagaimana presiden dan anggota kabinet kelak melakukan hal yang tidak mencederai kepercayaan rakyat. Para aparat penegak hukum pun jangan sampai melakukan pembusukan dalam menjalankan tugas. Semua pihak harus siap dan berani menjadi teladan bagi siapa pun karena kunci pembuka revolusi mental itu ternyata keteladanan.

                                                    ————————– *** ————————-

Rate this article!
Tags: