PKBM Terancam Gulung Tikar

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) mulai gusar dengan adanya larangan menerima anak usia sekolah sebagai warga belajar. Lembaga yang selama ini menjadi pelaksana pendidikan kesetaraan itu pun terancam gulung tikar. Khususnya mereka yang biasa menampung siswa dari sekolah internasional atau yang kini disebut Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK).
Seperti diungkapkan Ketua PKBM Interaktif Surabaya Tutik Hidayati. Dia mengaku telah mengetahui adanya aturan tersebut. Meski belum mendapat sosialiasasi resmi, dia sudah menghitung berbagai kerugian yang akan menjadi dampak aturan itu. Di antaranya ialah kesulitan mencari warga belajar. Apalagi selama ini di PKBM tersebut, didominasi oleh siswa dari SPK. “Tahun ini ada sekitar seratus warga belajar yang sudah didaftarkan ikut program ujian paket tahun depan. Dan hampir semuanya dari SPK,” kata Tutik saat dihubungi, Senin (15/12).
Setelah larangan tersebut resmi tahun depan, Tutik memastikan tidak akan lagi menerima warga belajar dari SPK. Itu artinya, dia hanya mengandalkan warga belajar dari kelompok usia dewasa yang sangat minim jumlahnya. Namun hal itu sudah mulai disiasati mulai dari sekarang. Yakni sebagai tutor di sekolah SPK untuk sejumlah mata pelajaran wajib seperti Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan mapel lain. Ini sehubungan dengan imbas pelepasan sekolah internasional menjadi SPK. “Kita sudah membuat kontrak dengan salah satu SPK di Surabaya untuk mengirimkan tutor. Ya ini usaha supaya guru-guru itu tetap memiliki pekerjaan,” kata Tutik.
Selain bekerjasama dengan SPK, Tutik juga mulai menggeser aktivitas utamanya menangani pendidikan kesetaraan menjadi pendamping masyarakat. Beberapa kegiatan yang sudah berjalan ialah pelatihan untuk 50 sporter Bonek Surabaya. “Kalau susah cari murid, ya kita fokus ke pelatihan saja. Toh manfaatnya juga banyak untuk masyarakat,” tutur dia.
Lebih lanjut Tutik mengaku heran dengan aturan yang kerap berubah-ubah untuk pendidikan kesetaraan. Menurutnya, semakin rumit aturannya, maka akan semakin menimbulkan kesenjangan dan diskriminatif antara pendidikan non formal dengan pendidikan formal. “Saya tidak tahu, kebijakan ini akan mengangkat pendidikan non formal atau justru akan menenggelamkan pendidikan non formal. Padahal selama ini kita berusaha membangun mindset keduanya sejajar alias tidak ada kesenjangan,” kata dia.
Sementara itu, Kabid Pendidikan Luar Sekolah Daka Wahyudi menyadari bahwa aturan ini akan semakin menyulitkan PKBM maupun Home Schooling. Namun demikian, dia mengaku itu adalah risiko yang memang harus ditanggung. Mengingat pemerintah saat ini mulai berusaha menggeser pendidikan non formal ke pendidikan formal. Di antaranya ialah dengan adanya program Wajib Belajar (Wajar) 12 tahun, pendidikan inklusif dan SMA terbuka yang dapat menampung siswa dari jarak jauh. “Mau tidak mau kita harus mengikutinya, karena ini adalah aturan yang akan ditetapkan pemerintah pusat,” tutur dia.
Daka mengatakan, saat ini pihaknya tengah merancang bahan untuk menyosialisasikan aturan tersebut sekaligus memberikan pemahaman bagi pengelola PKBM dan Home Schooling di Surabaya. [tam]

Rate this article!
Tags: