PLN Tak Boleh Paksa Pelanggan Gunakan Token

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Jakarta, Bhirawa
Kartu pulsa listrik dalam sistem  prabayar atau token sulit diperoleh di pelosok desa. Sistem token yang dipaksakan PLN pada rakyat, tidak dibarengi layanan penjualan kartu pulsa yang memadai. Sehingga ketika pulsa habis, listrik mati, pelanggan PLN di pelosok harus membeli ke kota dengan tambahan biaya transpor. Ujung-ujungnya rakyat memilih untuk kembali ke sistem listrik meteran.
“PLN tidak boleh memaksa rakyat memasang listrik token, selama PLN tidak bisa menjamin pulsa listrik dijual sampai pelosok desa. Seperti halnya penjualan pulsa telepon yang menjangkau pelosok manapun. PLN harus tetap menyediakan pilihan bagi pelanggan, untuk menggunakan meteran atau token. Tidak boleh PLN memaksa harus pakai token yang ribet itu,” cetus senator asal Madura (Wakil Ketua Komite II DPD RI) Ahmad Nawardi dalam dialog kenegaraan ‘Di Balik Bisnis Pulsa PLN, Siapa yang Untung di pressroom DPR RI, Rabu (16/9).
Nara sumber lain politisi Jatim yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya W Yudha, dan pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy.
Ahmad Nawardi melihat, baru kali ini PLN terbuka setelah didamprat Menko Kemaritiman Rizal Ramli tentang adanya mafia di pulsa token PLN. Disebutkan Menko, pulsa token merugikan penggunanya, sebab harga yang dibayarkan tidak sesuai dengan pulsa yang seharusnya didapat. Pulsa yang didapat di bawah jumlah yang dibayarnya, yakni dengan patokan harga Rp 13,52 per kwh. Harga kartu pulsa token Rp100 ribu akan dapat 70 kwh, harga Rp 20 ribu dapat 13 kwh.
Dia menilai, selama ini tak ada transparansi di PLN, tak ada penjelas an untung rugi. Yang terdengar hanyalah teriakan PLN merugi dan merugi saja. Rakyat tak pernah tahu, berapa sebenarnya kerugian atau keuntungan PLN. Semua tak pernah jelas.
Padahal dari pulsa token ini saja berapa keuntungan provider, berapa keuntungan bank mitra kerja PLN, itu semua tidak pernah ada  penjelasan. Dana penerangan lampu jalan umum, juga rakyat tidak pernah tahu.
“Dalam hal pulsa token yang sulit didapat di pelosok, PLN selayaknya bekerjasama dengan koperasi desa atau BUM Desa. Agar ada pemerataan keuntungan di pelosok. PLN jangan hanya cari mudah dan enak, bermitra kerja dengan Alfamart/Indomart yang sudah banyak mengeruk untung di kota,” usul Nawardi.
Satya W Yudha menggaris bawahi pernyataan Menko Maritim bahwa ada mafia di pulsa token. Dari pengaduan masyarakat, pulsa token yang dibeli tidak sesuai dengan kwh yang semesti nya didapat dengan memakai patokan harga Rp13,52 per kwh. Kenyataan ini dan sulitnya mendapatkan kartu pulsa membuat konsumen ingin kembali ke sistem meteran, seperti yang selama ini berlaku. Namun disayangkan, PLN memaksa rakyat memakai sistem prabayar atau token  yang ternyata sangat merugikan pelanggan.
“Dalam pemasangan listrik, rakyat kecil yang semestinya memasang meteran bersubsidi ukuran 450 kwh atau 900 kwh, tapi dipaksa PLN membeli yang non subsidi 1.300 kwh. Dengan alasan meteran kecil sudah habis. Tipu-tipu PLN macam ini harus diakhiri, rakyat kecil harus mendapat listrik subsidi sebagai haknya. Pelanggan listrik juga harus tetap bisa memilih, memakai sistem prabayar atau meteran. PLN tidak boleh memaksa,” cetus Yudha. [ira]

Tags: