PN Surabaya Eksekusi Frontage Road Sisi Barat

Eskavator PN Surabaya berhasil merobohkan lahan bangunan milik Sahlan di area Frontage Road Jl Ahmad Yani, Surabaya, Selasa (19/1). [bed]

Eskavator PN Surabaya berhasil merobohkan lahan bangunan milik Sahlan di area Frontage Road Jl Ahmad Yani, Surabaya, Selasa (19/1). [bed]

PN Surabaya, Bhirawa
Perlawanan Sahlan (60) dalam mempertahankan rumah sekaligus stand dan tambal ban miliknya di Jl A Yani 72, Surabaya kandaslah sudah. Selasa (19/1) pagi, juru sita Pengadilan Negeri (PN) Surabaya berhasil meratakan bangunan seluas 80 meter persegi yang ditengarai mengganggu jalannya proyek Frontage Road Jl A Yani, Surabaya.
Dengan pengawalan ketat petugas Polisi dilengkapi Satuan Raimas dan Unit Satwa (K9), Satpol PP, TNI AD dan Pom AL, serta Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya. Bangunan yang ditempati Sahlan sekitar 40 tahun itu, berhasil dirobohkan dengan menggunakan Eskavator. Nantinya, lahan bekas bangunan tempat tinggal sekaligus tempat usaha ini bakal dibangun jalan Frontage Road sisi barat Jl A Yani, Surabaya.
Juru Sita PN Surabaya Joko Subagyo dalam putusan eksekusi mengatakan, pelaksanaan eksekusi sesuai dengan prosedur. Dalam hal ini eksekusi diajukan oleh pemohon yakni, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pematusan Pemkot Surabaya, Ir Erna Purnawati. Sesuai ketentuan, lanjut Joko, eksekusi berdasarkan surat keputusan Pengadilan Surabaya tertanggal 19 Januari 2015.
“Putusan PN Surabaya melaksanakan eksekusi terhadap bangunan di Jl Ahmad Yani Surabaya nomer 72,” tegas Juru Sita PN Surabaya Joko Subagyo dakam putusan eksekusi, Selasa (19/1).
Dijelaskan Joko, bangunan yang ditempati Sahlan dianggap menghalangi pembangunan Frontage Road sisi Barat Jl Ahmad Yani. Sebab, bangunan itu dianggap salah karena menempati jalan yang bukan peruntukannya. Serta bangunan yang ditempati Sahlan berdiri diatas lahan milik Pusvetma Jatim.
“Tidak diperbolehkan mendirikan bangunan diatas lahan itu. Meskipun alasan sudah sekian puluh tahun, bukan berati bangunan atau lahan itu bisa ditempati,” ungkap pria berbadan tegap ini.
Usai diratakan dengan Eskavator, petugas dari PU Bina Marga dan Pematusan mengeluarkan barang-baranh milik Sahlan. Sementara itu, pemilik bangunan yakni Sahlan mengaku, dirinya telah mengadukan perkara ini keKomnas HAM. Sayangnya, rekom Komnas HAM menyatakan bahwa tidak memiliki kewenangab untuk mengurusi sengketa tanah. Tapi, Komnas HAM meminta agar Pemkor Surabaya mengedepankan pendekatan persuasif dan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Selain itu, Komnas HAM juga meminta Pemkot Surabaya tak hanya memberikan ganti rugi bangunan saja, melainkan harus memberikan fasilitas tempat tinggal yang layak, mengingat lahan tersebut digunakan sebagai mata pencaharian bagi termohon (Sahlan).
“Ganti ruginya Rp 58 juta, dan dititipkan di Pengadilan Negeri Surabaya. Tapi saya belum mau menerimanya,” ungkap Sahlan.
Diakui Sahlan, lahan dan bangunan tersebut sudah dihuninya sekitar puluhan tahun lalu. Ia mengaku membeli tanah dari Supinah. “Saya punya bukti PBB dan pernah dituduh mencaplok tanah Upesma,” pungkasnya.
Sementara Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Bina Marga Pematusan (PU BMP) Kota Surabaya, Erna Purnawati mengatakan, proses eksekusi itu sudah melalui putusan pengadilan. Sebelumnya, Pemkot sudah menempuh jalan panjang. Erna menyebut dari Polres sudah difasilitasi empat kali. Negosisasi dari Polsek, Polres, dari PN juga sudah berkali-kali.
“Kami sudah melakukan nego-nego tetapi pak Sahlan nya tidak mau. Jadi ini jalan terakhir yang kami lakukan. Karena ini untuk kepentingan umum,” ujar Erna.
Dijelaskan Erna, untuk tanah yang berada di bawah bangunan yang dihuni Sahlan, hanya terkena bangunannya saja. Ini karena sertifikat nya bukan atas nama Sahlan. Tanahnya masuk sertifikat atas nama Pusvetma dalam hal ini Kementrian Pertanian. Dan oleh Kementrian Pertanian, tanah tersebut sudah dihibahkan ke Pemkot. Karenanya, Pemkot hanya mengganti nilai bangunan yang sesuai hitungan appraisal.
“Jadi kita tidak bisa mengganti tanah yang diakui pak Sahlan. Kami sudah ganti rugi untuk bangunan. Nilai hasil bangunan itu bukan kita yang menentukan, ada appraisal khusus. Bangunan kita ganti rugi sesuai appraisal senilai 58 juta. Tapi beliaunya tidak menerima ganti rugi yang kami berikan. Kami titipkan ke pengadilan,” ujar Erna.
Bahkan, sambung Erna, pihaknya telah menawarkan kepada Sahlan untuk tinggal di Ruman Susun Sewa (Rusunawa). Namun, kata Erna, Sahlan tidak mau karena keberatan bila harus membayar sewa Rusun.
“Saya yang antar sendiri ke Rusunawa. Tapi beliau nya tidak mau. Padahal Rusun nya Pemkot sangat murah, masih di bawah 100 ribu. Itu memang wajib bayar, karena untuk operasional. Jadi nggak bisa kalau nggak bayar,” jelas Erna.
Selesai pengosongan dan pembongkaran bangunan tersebut, Pemkot kini bisa fokus untuk menyelesaikan FR sisi Barat. Menurut Erna, untuk FR, selama ini hanya ada satu persil perseorangan yakni yang ditempati Sahlan. Kini, persil perseorangan itu sudah bisa diselesaikan.
“Harus segera nyambung. Setelah ini kita adakan pengadaan urukan terus kita aspal sendiri. Untuk yang di depan Polda, tahap proses,” sambung Erna.
Kepala Satpol PP Kota Surabaya, Irvan Widyanto menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Pemkot dan personel gabungan tersebut bukan penggusuran, melainkan pengosongan lahan. Irvan menyebut, Sahlan tidak memiliki alas hak karena tidak punya petok D juga sertifikat tanah.
“Sehingga nilai ganti rugi appraisal bangunan, tidak menyangkut hak tanah,” ujarnya.
Menurut Irvan, proses negosiasi yang dilakukan sebelum melakukan pengosogan lahan tersebut cukup panjang. Sekitar enam bulan. “Intinya kami sudah melakukan pendekatan persuasif, memberikan pengertian. Jadi ini upaya terakhir,” ujarnya. [bed.geh]

Tags: