Pohon Ekologis Untuk Mitigasi

Hari Menanam Pohon Indonesia, 28 November 2021

Oleh :
Rachmad K Dwi Susilo, Ph.D
Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Bencana, Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Ketua Program Studi Sosiologi FISIP UMM, Alumni Hosei University, Tokyo

BENCANA alam yang terjadi di tengah musim hujan ahir-akhir ini seharusnya menyadarkan kita betapa pentingnya keberadaan hutan. Tanpa mengesampingkan peran ekosistem lain seperti sungai, terjadilah banjir dan longsor di Kota Batu, Jember, Sintang, Banjarnegara dan Tebing tinggi, Sumatera Utara. Banjir yang menerjang pemukiman di Kota Batu sebagai contoh, disebabkan hutan gundul di Pusung Lading akibat kebakaran hutan (2019) dan maraknya alih fungsi lahan untuk tanaman produktif. Kondisi ini menunjukkan rusaknya hutan sebagai daerah penyangga.
Sebagai sumber daya (resources), hutan terdiri dari beragam ekosistem. Hutan tidak sekedar sekumpulan pohon yang berdiri tegak atau sumber daya hayati beraneka ragam, tetapi ia merupakan bahan tambang, sumber daya energi yang bernilai tinggi.
Untuk manusia, pohon dilihat sebagai penopang kebutuhan ekonomi, sosial dan ekologi. Dalam kaca mata ekonomi, pohon mendatangkan banyak keuntungan. Maraknya bisnis wana wisata sebagai trend wisata di tengah pandemi karena ditopang oleh pohon-pohon yang indah. Wisatawan rileks menikmati pemandangan pepohonan beraneka rupa.
Sementara itu, pemanfaatan pohon dan hutan untuk kepentingan sosial dikaitkan kebutuhan spiritual. Dalam The Religion of Java, Geertz (1960) menemukan bahwa pohon beringin selalu disandingkan dengan kuburan tua, sumber air dan punden-punden keramat. Dalam memberi nama wilayah, Masyarakat Jawa sering mengambil nama pohon. Pohon pakis menjadi nama daerah pakisaji (Malang), Pakis (Magelang) atau Pakisjajar (Malang). Pohon cepogo (dysoxylum) menjadi nama daerah cepogo (Boyolali), Copogo, Kecamatan Kembang, Jepara dan Cepagan (Batang). Dalam Masyarakat Ende Lio di Desa Kotabaru, Sorghum digunakan untuk upacara pelepasan arwah orang yang telah meninggal. Sorgum berwarna kuning dan minyak (lengi) digunakan dalam upacara Pegal Lengi (Arif, 2020).
Sedangkan fungsi ekologis pohon menjadikan pohon sebagai habitat dan makanan bagi binatang. Sarang burung dan biota air membutuhkan pohon Mangrove sebagai habitat untuk berkembang biak.

Pohon untuk Mitigasi
Mitigasi bencana merupakan langkah-langkah struktural dan non struktural yang membatasi dampak merugikan dari bahaya alam, kerusakan lingkungan dan bahaya teknologi. Mitigasi merupakan pengelolaan bencana berkesinambungan, maka ia dilakukan sebelum bencana, selama tanggap darurat (emergency) dan setelah bencana/pengembalian (recovery) atau rekonstruksi (reconstruction).
Selain kebijakan, pengetahuan dan sistem pengelolaan bencana, pohon bisa dimanfaatkan untuk mitigasi aktif (struktural). Kumpulan pohon-pohon keras dengan akar dan batang kuat mampu menahan curah hujan tinggi sebagai akibat bencana hidrometereologis. Air yang ditahan dan tidak berjalan liar tidak sampai merusakkan pemukiman warga.
Pohon juga mampu menahan abrasi dan gelombang tsunami seperti Pohon Mangrove sebagai sabuk hijau (green belt) untuk mitigasi tsunami. Begitu ada gelombang menerjang pesisir atau daratan pantai, pohon Mangrove akan menahan, uniknya, ketika air akan kembali ke pantai, pohon Mangrove juga memberi jalan.
Secara ekologis pula, pohon tidak sekedar menahan bencana, tetapi bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi baru terbaharukan (EBT) atau sumber daya nabati pengganti bahan bakar fosil. Seperti pohon jarak, tanaman gamal, tanaman lamtoro, akasia dan jabon dikembangkan sebagai energi biomasa.
Di negara kita memanfaatkan pohon-pohon atau tanaman untuk mitigasi tidak akan menemui banyak kesulitan mengingat aneka ragam vegetasi tumbuh di masyarakat kita. Pohon-pohon misal, pohon bambu, alpukat, sengon dan jati atau dibudidayakan mudah diperoleh.
Sayangnya, selama ini pohon cenderung sebagai instrumen pemenuhan kebutuhan ekonomi. Pada saat penanaman bibit, pohon selalu dipelihara, namun begitu mengganggu sayur-sayuran, pohon pelindung ditebang. Sebagai konsekuensi, manusia jauh dari ekosistem pohon dan pohon dikendalikan logika manusia.

Pelembagaan Pohon
Keputusan Presiden RI Nomor 24 Tahun 2008, menetapkan 28 November sebagai Hari Menanam Pohon Indonesia yang dimaksudkan untuk memberi kesadaran dan kepedulian kepada masyarakat tentang pentingnya pemulihan kerusakan sumber daya hutan dan lahan melalui penanaman pohon.
Kesadaran dan kepedulian tersebut terkait pemanfaatan dan konservasi pohon. Pemanfaatan pohon adalah hak manusia untuk memenuhi kebutuhan dari sumber daya dan lingkungan di sekitar. Sayangnya, pemanfaatan condong pada dimensi ekonomi dan sosial. Fungsi-fungsi ekologis diabaikan. Dimensi ekologi dianggap jauh dan bahkan menghalangi kebutuhan manusia.
Keterdesakan ekonomi dan ruwetnya tata kelola lingkungan didorong oleh nalar antroposentris yang sejatinya membimbing perilaku sosial ini (Keraf, 2002). Semua pengelolaan lingkungan diukur dari kepentingan manusia. Berbagai macam lingkungan hanya sekedar “melayani” sahwat manusia itu. Lahan alamiah berubah menjadi lahan buatan. Sekalipun sudah ditetapkan sebagai hutan lindung atau hutan konservasi, tetapi pohon-pohon tetap saja dijarah.
Masyarakat menanam pohon setelah bencana terjadi. Ia jauh dari cara hidup (way of life), maka tidak heran kegiatan penanaman sekedar pencitraan. Setelah pohon ditanam, tidak ada lagi langkah-langkah perawatan. Cukuplah kegiatan dipublikasi di media. Sementara itu bencana memiliki logika ekologis yang bertentangan baik dengan fungsi ekonomi dan sosial, maka pengabaikan pada fungsi ekologis menyebabkan kita menuai bencana seperti yang marak akhir-akhir ini.
Rasionalitas instrumental yang menjauhkan diri dari eksistensi manusia. Pohon sekedar dilihat dari kemanfaatan ekonomi. Capaian-capaian ekonomis-material untuk mengukur kontribusi pohon pada manusia. Cara pandang ini harus diganti dengan nilai-nilai lokal yang penuh penghormatan pada pohon. Belajar dari alam dan masyarakat adat, tindakan ekologis tidak dibimbing logika atau nalar instrumental semacam itu. Selain itu, pandangan lokal ini jauh dari nalar pragmatis.
Orang Kei, Maluku Tenggara, Propinsi Maluku memandang lingkungan sebagai ciptaan Tuhan dan kaitan antara manusia, lingkungan (nuhu tanat), leluhur (nit) dan Tuhan (duad) (Lobja, 118). Sementara, Suku Dayak Kenyah di Kalimantan Timur memiliki kearifan-kearifan adat tertentu dalam mengatur pemanfaatan Kayu Rotan dan Kayu Gaharu.
Berangkat dari hal tersebut, saatnya menghidupkan nilai-nilai luhur kearifan lokal untuk memberdayakan pohon demi mitigasi bencana. Penulis sadar, tentunya di tengah masyarakat yang serba kapitalis hari ini, pelembagaan seperti ini tidak mudah, tetapi harus diupayakan semua pihak secara terus menerus.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: