Polemik Pasca Pelimpahan SMA/SMK Diprediksi Berlanjut

Puluhan guru tidak tetap yang tergabung dalam FHK2I Surabaya wadul ke Dindik Surabaya terkait kejelasan nasib mereka pasca pelimpahan SMA/SMK dari kabupaten/kota ke provinsi, Selasa (11/10). [adit hananta utama]

Puluhan guru tidak tetap yang tergabung dalam FHK2I Surabaya wadul ke Dindik Surabaya terkait kejelasan nasib mereka pasca pelimpahan SMA/SMK dari kabupaten/kota ke provinsi, Selasa (11/10). [adit hananta utama]

Surabaya, Bhirawa
Beragam polemik terus bermunculan pasca alih kelola SMA/SMK dari kabupaten kota resmi diserahkan ke provinsi. Dimulai dari demonstrasi wali murid menuntut sekolah gratis hingga guru honorer yang menuntut kejelasan gaji. Hal ini diprediksi terus berlanjut selama tidak ada penyelesaian yang jelas baik dari Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim maupun Dindik Surabaya.
Ketua Dewan Pendidikan Surabaya Martadi menjelaskan ketika muncul UU No 23 Tahun 2014 yang mendasari pelimpahan wewenang pengelolaan SMA/SMk sejumlah persoalan mulai terlihat. Mulai dari pembiayaan, personel pendidik-tenaga pendidik, program hingga penanganan siswa. “Masalah ini tidak bisa diselelsaikan kalau guru datang ke salah satu dinas. Dindik Jatim dan Surabaya yang harus bertemu untuk menyelesaikannya,” jelasnya, Rabu (12/9).
Sayangnya, hingga saat ini tidak ada yang menjembatani kedua belah pihak untuk berdiskusi. Sehingga pelimpahan ini terlihat seperti perebutan kewenangan padahal keduanya sama-sama aparat pemerintahan. “Sekarang siapa yang mau memfasilitasi kedua belah pihak? Bisa DPRD Jatim atau DPRD Surabaya. Kemudian di-mapping masalahnya dan mempertimbangkan apa memungkinkan untukĀ  berbagi peran,”lanjutnya.
Sebab, menurutnya masyarakat bisa tenang jika sudah ada proses penyelesaian dalam mengatasi permasalahan yang diresahkan warga. Apalagi, selama ini kedua belah pihak belum memberikan kepastian dari berbagai hal terkait pelimpahan ini. “Masyarakat tidak mempertimbangkan siapa yang mengelola, tetapi layanannya bisa tetap baik. Apalagi kalau masyarakatnya guru, kalau resah juga berdampak pada pengajarannya,” lanjutnya.
Usai mendatangi Dindik Surabaya, para guru yang tergabung dalam Forum Honorer Kategori 2 Indonesia (FHK2I) kemarin kembali mengadukan nasibnya ke DPRD Jatim. Ketua Komisi E DPRD Jatim Agung Mulyono mengatakan, saat ini pelimpahan masih dalam masa transisi. “Ibarat rumah, masih baru pindahan sebagian. Jadi masih perlu waktu untuk menata macam-macam,” kata Agung.
Kendati demikian, Agung menegaskan bahwa pelimpahan ini merupakan aturan pusat yang harus dilaksanakan provinsi. Karena itu, jika ada persoalan memang sebaiknya dua Dinas Pendidikan ini saling berdiskusi untuk memahamkan duduk persoalannya dan menemukan solusi bersama.
Sementara itu, Anggota Komisi D DPRD Surabaya Reni Astuti berharap agar proses pelimpahan ini tidak berdampak negatif terhadap kualitas belajar mengajar di sekolah. Salah satunya dengan memberi kepastian terhadap nasib GTT dan PTT. “Kita tidak bisa menyalahkan guru yang menyampaikan aspirasi. Karena mereka butuh kepastian. Logikanya, penghasilan rutin pasti memiliki pengeluaran rutin. Tidak mungkin tiba-tiba penghasilannya dikurangi,” kata Reni.
Anggaran untuk gaji GTT-PTT dan guru ekstra di Surabaya diakuinya cukup besar. Hampir 50 persen Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (Bopda) digunakan sekolah untuk membiayai gaji. “Satu sekolah bisa sampai mengeluarkan Rp70 juta. Karena itu, kita berharap mereka segera mendapat kepastian,” pungkas Reni. [tam]

Tags: