Polemik Pendidikan Moral Pancasila

Oleh :
Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) 

Keinginan untuk menjadikan kembali pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sebagai mata pelajaran wajib di sekolah menimbulkan tanggapan beragam, di tengah semakin jauhnya aplikasi nilai-nilainya. Namun demikian, usulan dan penolakan mata pelajaran yang pernah diwajibkan pemerintah Orde Baru (Orba) itu menjadi kian rumit karena diseret ke wilayah kepentingan politik. Maka, perdebatan bukan pada substansi isi pentingnya mata pelajaran itu, tetapi pada kepentingan politiknya.
Pemerintah Orba pernah “menuhankan” Pancasila dalam segala bentuknya. Bapak saya punya pengalaman menarik. Saat menjadi guru di SDN Barongan II, Bantul, Yogyakarta pernah terlibat polemik dengan kepala sekolahnya. Saat itu, bapak saya yang menjadi guru di sekolah desa menganggap bahwa Pancasila itu tetap dibawah agama, sebagaimana orang desa umumnya meyakininya Namun, kepala sekolah bersikukuh bahwa Pancasila itu di atas agama. Maka polemik pun terus berkepanjangan sampai akhirnya bapak saya pindah ke sekolah lain.
Itu bukan persoalan mana yang lebih penting antara agama dengan Pancasila. Pancasila sudah final dan negara ini bukan negara agama. Namun tafsir yang sepihak membabi buta pemerintah waktu itu memunculkan “perlawanan” dan ada sebagian yang menjadikan menjadikan agama sebagai “peluru”. Titik tekannya ada pada ketidakadilan dalam pelaksanaannya.
Perdebatan antara bapak saya dengan kepala sekolah itu tentu bisa terjadi pada guru-guru lain waktu itu yang memang didoktrin untuk menjadikan Pancasila sebagai mantra kehidupan. Kepala sekolah dimana bapak saya mengajar itu tentu mewakili kepentingan struktural di pendidikan dasar.
Belajar dari Sejarah
Pelajaran PMP yang waktu itu digalakkan Orba memang baik, tetapi penuh dengan kepentingan politik. Orba punya pengalaman dimana Orde Lama (Orla) dianggap menyimpang karena mendekat ke paham komunis, meskipun tetap jadi polemik. Namun demikian pemerintahan Orla dianggap bertentangan dengan Pancasila. Maka, Orba mengangkat panji-panji Pancasila dibuat “berkibar-kibar”.
Namun demikian, karena Orba dibentuk dengan kepentingan politik (setiap bentuk pemerintahan sering berkaitan dengan kepentingan), maka pelaksanaan kebijakan kenegaraan mengalami pasang surut. Dimana pun dan kapanpun, pemerintah mempunyai kekuasaan dan memaksakan diri pada apa yang dianggap baik untuk masyarakatnya.
Pemerintah Orba berdiri untuk mengoreksi total paham komunisme yang selama ini melekat pada Orla. Apakah Orla semata-mata pihak yang patut disalahkan? Ini masih terus menjadi perdebatan dan buku-buku sejarah pun terus bermunculan sesuai versi masing-masing. Namun demikian, sejarah biasanya memihak penguasa. Siapa yang berkuasa bisa membuat sejarah. Mengapa Orla dianggap salah oleh Orba? Karena Orba waktu itu memang berkuasa dan dia bisa membuat sejarah versi dirinya. Itu tak terkecuali dengan bentuk pemerintahan yang lain.
Orba menjadikan Pancasila sebagai mantra yang jadi pembius setiap kebijakan kenegaraan. Pancasila menjelma menjadi “kitab suci” untuk melanggengkan kekuasaan. Memang, menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan perilaku kebijakan negara dan masyarakat bagus, hanya waktu itu kepentingan politik menjadikan Pancasila sebagai alat untuk bertindak represif. Maka ketakutan untuk berbeda pendapat zaman Orba menjadi momok, apalagi dianggap tidak Pancasilais.
Termasuk di sini, ancaman atas komunisme menjadikan kekuasaan Orba sebagai pemerintahan yang berkembang menjadi demokrasi terpimpin konstitusional. Bentuk-bentuk kepemimpinan yang memposisikan sistem kenegaraan presidensial diperkuat dengan aturan-aturan. Ini bentuk dari demokrasi terpimpin konstitusional karena memang konstitusi melegitimasinya.
Siapa yang menciptakan konstitisi dan aturan-aturan tersebut? Tentu pemerintah sendiri. Dimanapun dan kapanpun pemerintah mempunyai kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan. Maka, jika masyarakat protes pada pemerintah Orba yang berkuasa 32 tahun, karena konstitusi memang memperbolehkan, meskipun jelas itu tidak demokratis karena membuat kekuasaannya menjadi absolut tanpa kontrol secara efektif.
Maka, berbagai macam cara dilakukan untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Karena negara ini berideologi Pancasila, maka berbagai bentuk aktivitas masyarakat yang tidak mengarah pada Pancasila akan dienyahkan. Masalahnya, tafsir Pancasila hanya berada di pihak penguasa waktu itu. Seseorang bisa dituduh tidak Pancasilais hanya gara-gara berbeda pendapat dengan pemerintah.
Salah satu cara yang dilakukan adalah menjadikan pelajaran PMP sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah. Bahkan pelajaran ini dilengkapi dan diperkuat dengan program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang wajib diajarkan oleh peserta didik saat memasuki jenjang pendidikan. Ia juga menjadi muatan wajib yang melengkapi PMP dalam ruang kelas dan setiap kegiatan pendidikan lain.
Apakah Pancasila waktu itu salah? Tidak. Pancasila penuh dengan muatan-muatan luhur yang sangat sesuai dengan ajaran agama di Indonesia. Masalahnya terletak karena meningkatnya ketakutan pemerintah Orba pada kebangkitan komunisme atau paham lain yang tidak sejalan. Sehingga kenyataan itu menempatkan pemerintah sebagai “polisi” yang berhak mengamankan setiap kebijakan negara.
Bahkan sistem hirarki kekuasaan telah menempatkan semua elemen masyarakat berada dalam ketakutan jika tidak mendukung pemerintah. Kasus yang terjadi pada Kepala Sekolah SDN Barongan II dengan bapak saya di atas salah satu bentuk hirarki kekuasaan itu. Pancasila tetap baik dan bagus, hanya implementasi dan latar belakang kemunculannya yang politis telah mereduksi nilai-nilai luhur Pancasila tersebut.
Pelajaran Penting
Jika saat ini pemerintah akan menjadikan PMP sebagai pelajaran di sekolah tentu perlu disambut baik. Ini salah satu usaha untuk menyadarkan dan mengukuhkan nilai-nilai Pancasila pada peserta didik dalam usahanya menghadapi kehidupan sehari-harinya kelak. Apalagi saat ini nilai-nilai luhur Pancasila sudah berada dalam titik rendah karena multitafsir. Negara ini jelas negara Pancasila dengan menjadikan Pancasila sebagai nilai luhur wasiat para pendiri republik ini. Masalahnya, kepentingan politik harus dijauhkan dari pelaksanaannya.
Tentu, dasar pemunculannya tidak perlu meniru Orba hanya karena ketakutan pada gerakan-gerakan yang mengancam kekuasaannya. Pancasila tetaplah Pancasila sebagai jiwa bangsa. Mereka yang enggan melaksanakan Pancasila tentu perlu dipertanyakan kecintaannya pada repuplik ini. Yang tak kalah pentingnya, pelaksanaannya bukan hanya sekadar kepentingan sesaat dan berlindung di balik kepentingan politis sebagaimana era Orba.
Sejarah bangsa ini sebenarnya telah memberikan pelajaran berharga. Kepentingan politis atas pelaksanaan Pancasila telah membuat bangsa ini hancur lebur pada konflik dan perbedaan yang tak kunjung usai. Pancasila akan merekatkan itu semua dan harus dijauhkan dari kepentingan politis atas suka dan tidak sukanya.

——— *** ———-

Rate this article!
Tags: