Polemik Tak Berujung Relokasi Warga Kedungsolo, Sidoarjo

Ketua DPRD Sidoarjo Usman (batik hijau) akan berjuang mengurai masalah relokasi warga Kedungsolo Sidoarjo yang hingga kini belum juga tuntas.

Dewan Minta Pemkab Percepat Proses Pengalihan Status Tanah dari Hujau ke Kuning
Kab Sidoarjo, Bhirawa
Status rumah milik 600 kepala keluarga (KK) di Desa Kedungsolo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo sudah 14 tahun terkatung-katung. Upaya mencari kejelasan sampai hari ini menemukan jalan buntu. Warga yang bermukim di sana kebanyakan berasal dari korban Lapindo yang dulu tinggal di Desa Reno Kenongo dan Siring. Kedua desa ini sudah tenggelam oleh lumpur.
Setelah mendapatkan ganti rugi Lapindo, sebagian besar warga memilih untuk bedol desa di atas tanah 10 hektare yang berstatus lahan hijau non TKD (tanah kas desa). Sebagian bedol di Desa Kesamben. Desa Kedungsolo maupun Kesamben melakukan tukar guling tanah karena merupakan TKD.
Persoalan tanah yang dihuni warga Dusun Renuyoso, Desa Kedungsolo, Porong ini sangat ruwet. Ada keterlibatan PT Galaxy Bumi Perkasa milik almarhum Henry Gunawan pada tanah yang ditempati. Sementara ketua tim relokasi, Sunarto dan notaris yang menangani ikatan dan akte jual beli tanah masih berada di penjara setelah divonis 3 tahun.
Ketua DPRD Sidoarjo, H Usman, dihubungi pada, Sabtu (17/10) malam, mengakui persoalan tanah Kedungsolo sangat ruwet. “Saya sudah mendapatkan sedikit informasi sebagai bahan untuk membantu warga untuk mencari penyelesaian. Kasihan mereka sudah 14 tahun berjuang mendapatkan haknya,” ujarnya.
Ia membuka ruang terhadap penyelesaian warga Kedungsolo. Yaitu dilakukan audiensi antara warga dengan DPRD. Harus diurai mulai dari nol, apa sesungguhnya yang ada di balik masalah ini. Di Kedungsolo ada tanah TKD dan tanah non-TKD yang dimanfaatkan merelokasi korban Lapindo.
Ketidakpastian tanah warga ini harus diselesaikan. “Sungguh saya tidak tahu ada masalah besar seperti ini di Sidoarjo. Jangan diremehkan, ini menyangkut nasib 600 KK. Wakil rakyat harus turun membantu. Karena 14 tahun adalah waktu yang cukup lama bagi warga, ” ujarnya.
Anggota Fraksi PDIP yang berasal dari Dapil 2, Kasipah, membenarkan ini merupakan persoalan yang dari dulu tidak pernah selesai. Banyak misteri di dalamnya. Saya tahu karena saudara saya banyak yang tinggal di situ.
Ia sepakat dengan Ketua DPRD apabila dilakukan audiensi warga dan pihak terkait dengan DPRD. Persoalannya harus dikupas dari bawah.
Wakil ketua DPRD dari PAN, Emir Firdaus, minta Pemkab Sidoarjo membantu status-status tanah lahan hijau menjadi kuning. Perubahan status lahan harus diubah dulu. Dengan status berubah menjadi kuning maka bangunan yang berdiri di atas tanah secara hukum memiliki keabsahan.
Ditambahkan, DPRD mungkin bisa membantu dari sisi perubahan status dari lahan hijau menjadi kuning. Tetapi kalau ada masalah hukum maka Dewan tidak bisa membantu. “Dewan Minta kepada Pemkab Sidoarjo untuk mempercepat proses pengalihan status tanah hijau ke kuning,” ujarnya.
Warga setempat yang menolak disebut namannya menyatakan ada oknum-oknum di tengah warga relokasi yang melakukan intimidasi dengan menakut-nakuti bahwa status tanah 10 hektare masih menjadi hak milik Sunarto (terpidana).
Ada juga yang mengatakan tidak perlu audiensi dengan DPRD karena sudah ada jaminan dari ‘orang kuat’ untuk menyelesaikan urusan warga pada 2021. Dan macam-macam isu hoax yang disebar oknum. Horor yang disebar di tengah warga makin menambah kecemasan karena faktor Sunarto dan ada PT Galaxy bumi perkasa di belakang kepemilkan tanah 10 hektare tanah non TKD ini.
Sunarto dan Rosidah pernah dilaporkan ke Kejari Sidoarjo pada 2018 lalu dan sudah divonis bersalah dengan hukuman 3 tahun.
Dengan ditangani kasus hukum kedua orang ini minimal Kejaksaan Sidoarjo mengetahui masalah tanah relokasi Kedungsolo. Dan apakah benar sudah dilakukan AJB (Akta Jual Beli) dan IJB (Ikatan Jual Beli). Siapa yang menyimpan dokumen AJB dan IJB tersebut. Masih banyak misteri di seputar Kedungsolo.
Menurut ia, warga sudah melakukan AJB dan IJB dihadapan notaris Rosidah ( terpidana). Namun tidak jelas proses AJB dan IJB itu dilakukan warga dengan siapa selaku penjual. Kondisi ini membuat warga kian bingung karena tidak memiliki status hukum atas tanah yang ditempati.
Eforia pernah melanda warga terdampak Lapindo. Tanahnya dihargai Rp1,5 juta dan bangunan Rp1 juta. Bayangkan saat pembayaran ganti rugi itu warga Siring dan Reno Kenongo yang umumnya petani mengantongi uang banyak.
Uang itu tidak dibelanjakan membeli rumah yang status tanahnya jelas namun beli mobil, motor dan sisa uang baru dibelikan tanah relokasi. Ada yang membeli eks TKD dan non TKD. Menurut cerita, kasus ini ada yang berakhir dengan perceraian, meninggal dunia saat uangnya sudah mulai menipis sementara sawah dan ladang sudah tidak ada. [Hadi Suyitno]

Tags: