Polemik UU ITE Bagi Pengkritik

Oleh :
Dewi Larasetiani
Pengajar BIPA Universitas Muhammadiyah Malang.

Bak gayung bersambut. Begitu banyak respon terhadap pernyataan Presiden Jokowi pasca meminta masyarakat untuk aktif mengkritik pemerintah. Hal tersebut diduga sangat paradoks dengan keadaan pelbagai peristiwa pelaporan dan pidana terhadap masyarakat yang menyampaikan kritik.

Melansir data dari safenet.or.id kasus pidana menggunakan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 pada tahun 2020 saja mencapai 324 kasus. Bahkan yang paling menarik ketika mantan wakil presiden Jusuf Kalla memberikan respon terhadap pernyataan Presiden Jokowi dengan mengemukakan bagaimana cara mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi.

Pelbagai tanggapan tesebut mendorong respon balik presiden dengan pernyataan “Kalau Undang-undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya saya akan meminta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini”. Jika melihat fenomena tersebut perlukah revisi UU ITE ? atau jangan-jangan kita yang salah nalar terhadap konsepsi kritik sehingga asal comot pasal dalam UU ITE untuk dijadikan laporan?.

Salah Nalar Kritik

Sebelum masuk terhadap pelbagai aspek isu revisi UU ITE, alangkah baiknya kita ulas balik apa sebenarnya kritik dalam konsepsi bahasa agar pengkritik dan yang dikritik tidak salah paham dengan mendahulukan presepsi masing-masing sehingga berimbas terhadap aduan serta pidana dengan mengait-ngaitkan pasal dalam UU tersebut. Peristiwa yang banyak terjadi ketika kritik disampaikan di media sosial maka ketakutan terhadap jeratan pasal 27 ayat 3 terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik dalam transaksi elektronik dengan ketentuan pidana dalam pasal 45 UU ITE menjadi acamannya. Padahal dalam pasal tersebut jelas bermuatan penghinaan dan pencemaran nama baik bukan kritikan. Hal tersebut mendudukan dua hal yang berbeda akan tetapi memiliki keterkaitan. Seharusnya kedudukan delik biasa dan delik aduan dalam pasal-pasal UU tersebut juga dibeberkan secara transparan agar tidak terjadi pelaporan yang serampangan.

Jika membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Kritik dimaknai sebagai kecaman, tanggapan, dan kupasan. Maka apabila melihat makna tersebut kata kecaman mungkin memerlukan klarifikasi makna agar tidak berkonotasi negatif.

Makna kecam tersebut dalam KBBI merujuk terhadap teguran yang keras. Dengan demikian, konsepsi makna terhadap kritik memang meletakkan kegiatan tersebut dilakukan untuk memberikan masukan serta tanggapan terhadap suatu peritiwa yang dapat dilakukan dengan keras ataupun tidak. Makna kritik tersebut melekat terhadap proses penganalisisan dan pengevaluasian. Kritik sejatinya juga disertai dengan bukti-bukti yang kuat untuk menguatkan argumentasi kritikannya.

Dengan demikian, pembuktian terhadap objek kritik menjadi titik utama dalam prosesnya. Agar pemaknaaan terhadap muatan atau konten kritik tidak bias tafsir sehingga pengkritik tidak dapat diketogerikan menghina ataupun mencemarkan nama baik sebelum objek kritiknya dibuktikan terhadap seluruh konten kritik tersebut. Jika muatan kritik tersebut memiliki faktualitas serta argumentasi yang solid maka tidak dapat dikatakan bahwa proses tersebut sebuah proses mencemarkan nama baik ataupun menghina, dikarenakan muatan dari kritik tersebut akan berguna untuk perbaikan ataupun perubahan. Dalam hal ini, butuh kejelian penegak hukum, para ahli, dan ahli lingusitik forensik untuk membedah produk kritik tersebut agar tidak terjadi salah tafsir. Jika hal tersebut tidak dapat dilakukan maka akan berdampak traumatis bagi masyarakat terkait penyampaian kritik di negara demokrasi ini.

Penyampaian kritik dengan pedas tidak merubah makna kritik menjadi menghina ataupun mencemarkan nama baik jika objek kritikannya sesuai dengan fakta dan penilaian yang objektif. Hal tersebut sejalan dengan indeks tawaran kosa kata dalam KBBI yang memuat kosa kata kritik pedas yang diartikan sebagai proses mengkritik keras. Akan tetapi, lebih baik jika proses kritik tersebut disampaikan secara santun.

Apabila berkaca terhadap uraian diatas nampaknya tidak hanya muatan isi UU ITE tesebut yang dominan memiliki kontribusi terhadap kerancuhan kritik di masyarakat saat ini, melainkan kesalahan konsepsi terhadap pemaknaan kata kritik tersebut. Sehingga dalam prosesnya kritikan yang diutarakan melalui transaksi elektronik tidak semata-mata melanggar UU ITE. Seharusnya pembuktian objek kritik tersebut harus dilakukan terlebih dahulu sebelum mengkategorikan kritik bernuansa pencemaran nama baik ataupun penghinaan.

Melihat efektivitas pelaksanaan UU ITE tersebut nampaknya kita harus melihat terhadap pengukuran sasaran dan tujuan yang ditentukan. Tujuan UU ITE yang tertuang dalam Pasal 4 point e mengemukakan bahwa memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi. Dengan demikian asas fungsi sebagai a tool of social control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat serta sebagai a tool of social engineering untuk sarana pembaharuan dalam masyarakat harus terpenuhi tanpa tebang pilih. Sehingga peristiwa penyampaian kritik ini memeliki kedudukan jelas dan tidak ambigu.

Semoga dengan penyadaran terhadap konsepsi kritik ini akan menjadikan kedewasaan masyarakat dalam penyampaikankan kritik dan menjadikan keterbukaan presiden dan lembaga pemerintah lainnya terhadap kritikan dari masyarakat.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: