Polisi Giring Pelaku Perusakan Cagar Budaya ke UU Nomor 11 Tahun 2010

Polrestabes Surabaya melakukan olah TKP di puing-puing bangunan cagar budaya Rumah Radio Bung Tomo di Jalan Mawar Nomor 10 Surabaya, Rabu (11/5). [gegeh bagus]

Polrestabes Surabaya melakukan olah TKP di puing-puing bangunan cagar budaya Rumah Radio Bung Tomo di Jalan Mawar Nomor 10 Surabaya, Rabu (11/5). [gegeh bagus]

Olah TKP Pembongkaran Rumah Radio Bung Tomo
Polrestabes Surabaya, Bhirawa
Unit Harda (Harta dan Benda) dan Unit Tipiter (Tindak Pidana Tertentu) Satreskrim Polrestabes Surabaya melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) di Rumah Radio Bung Tomo di Jl Mawar 10 Surabaya, Rabu (11/5). Tujuannya, penyelidik mencari alat bukti yang bisa menjerat pelaku perobohan dengan Pasal 105 Jo Pasal 55 UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Dari pantauan Bhirawa, sekitar pukul 13.25 siang tim penyelidik Polrestabes Surabaya beserta Kepala Disbudpar Kota Surabaya Wiwiek Widawati dan Store Manager Jayanata Lilik Wahyuni mendatangi kembali bangunan cagar budaya di Jl Mawar 10. Sesampainya di lokasi, penyelidik Satreskrim Polrestabes Surabaya melakukan olah TKP bangunan cagar budaya yang kini rata dengan tanah.
Di sela-sela olah TKP, Wakasat Reskrim Polrestabes Surabaya Kompol Manang Surabaya mengatakan olah TKP bertujuan untuk melihat kondisi terkini dari bangunan cagar budaya Rumah Radio Bung Tomo. Selain sebagai koordinator pengawas (Korwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Manang mengaku telah berkoordinasi dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan dan Disbudpar Kota Surabaya guna mengambil data awal bangunan tersebut.
Selain itu, penyelidik saat ini menggali data dari para saksi-saksi yang mengetahui persis bangunan Rumah Radio Bung Tomo sejak awal. Saksi-saksi ini termasuk dari pemilik awal bangunan, pemborong atau kontraktor, dan pemilik bangunan saat ini. Ditanya terkait sangkaan pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku, Manang menegaskan pihaknya memakai Pasal 105 Jo Pasal 55 UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
“Kita kenakan pelaku dengan Pasal 105 Jo Pasal 55 UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dan pasal ini kami gunakan sesuai dengan proses penyelidikan awal,” tegas Wakasat Reskrim Polrestabes Surabaya Kompol Manang Soebekti.
Menyoal terkait penggunaan Perda Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2005, Manang tetap bersikeras menggunakan Pasal 105 Jo Pasal 55 UU No 11 Tahun 2010. Bahkan, pihaknya bersama PPNS mengarahkan untuk menggunakan Pasal 105. “Perda kan tahun 2005. Jadi kita gunakan UU No 11 Tahun 2010. Dan kami sudah koordinasikan penggunaan pasal itu kepada PPNS, jadi tidak masalah meskipun tidak menggunakan Perda,” ungkap Manang.
Disinggung terkait siapa saja saksi yang sudah diperiksa, Manang mengaku penyelidik sudah memeriksa beberapa masyarakat yang melaporkan kasus perusakan itu. Akankah memanggil saksi-saksi dari pihak dinas terkait, Manang enggan berspekulasi terkait hal itu. Sampai saat ini pihaknya masih memanggil saksi-saksi yang berkaitan dengan kasus itu, untuk selanjutnya dikembangkan ke pihak yang paling bertanggungjawab atas kasus itu.
“Untuk pemeriksaan dinas terkait, yang pasti kami memintai keterangan kepada pihak yang berkaitan dengan kasus ini,” pungkas pria yang pernah menjabat Kapolsek Sawahan ini.
Terpisah, Store Manager Jayanata Lilik Wahyuni mengaku siap membangun kembali Rumah Radio Bung Tomo sesuai dengan putusan dari pihak cagar budaya dan Disbudpar Kota Surabaya. Ditanya seperti apa konsep pembangunan itu, Lilik mengaku tidak tahu persis konsepnya nanti seperti apa.
“Sejak awal saya juga tidak tahu bangunan ini mau diapakan. Saya tahunya dari pihak Disbudpar yang mengatakan dan menunjukkan bahwa bangunan tersebut rata dengan tanah. Dan rencananya  bangunan itu akan diperuntukkan sebagai rumah tinggal bagi anak bos kami,” ungkapnya.
Sementara itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya akan membuka kembali file-file lama untuk mengetahui dokumen-dokumen yang berhubungan dengan cagar budaya berupa bangunan Rumah Radio Bung Tomo di Jalan Mawar Nomor 10 Surabaya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Wiwiek Widawati menjelaskan pihaknya akan mencari file yang berhubungan dengan bangunan tersebut. “Jadi nanti kita akan membuka dokumen-dokumen lama kita. Arsip-arsip yang lama terkait dengan rumah di Jalan Mawar nomor 10 ini,” kata Wiwiek saat Polrestabes melakukan olah TKP di puing-puing bangunan kemarin.
Hal itu untuk mengetahui langkah dan upaya apa nantinya yang akan dilakukan Pemkot Surabaya selanjutnya. “Itu kita serahkan kepada arkeolog karena dia punya kompetensi yang luar biasa, punya arahannya nanti seperti apa,” imbuhnya.

Bangunan Kolonial Belanda
Sementara itu Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan membeberkan hasil penelitian eks Markas Radio Bung Tomo di Jalan Mawar Nomor 10 Surabaya, Rabu (11/5) kemarin. Mereka memastikan bahwa bangunan itu memang bangunan lama masa kolonial Belanda. Dari observasi, Tim BPCB Trowulan pun banyak menemukan data di lokasi pembongkaran.
Kepala Seksi Perlindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan Cagar Budaya, Balai Pelestarian Cagar Budaya Jatim Widodo mengatakan data di lapangan menunjukkan bahwa ada dua jenis batu bata yang berbeda, yaitu batu bata ukuran besar yang lama dan batu bata ukuran kecil yang masih tergolong baru. Ukuran batu itu juga berbeda, untuk ukuran batu bata kecil panjangnya 19 cm, lebarnya 9,5 cm dan tebalnya 5 cm. Sedangkan batu bata besar panjangnya 23 cm, lebarnya 11 cm dan tebalnya 5,3 cm. “Warna kedua batu bata ini juga berbeda sangat mencolok. Batu bata kecil warnanya orange, dan bata besar warnanya merah tua,” kata dia.
Selain itu, struktur batu bata itu juga berbeda-beda. Khusus untuk batu bata yang berwarna merah tua lebih halus permukaannya dibanding dengan batu bata yang berwarna orange. “Nah, ini perbedaan dan data yang pertama,” ujarnya.
Adapun perbedaan dan data yang kedua adalah cara merekatkan batu bata itu juga berbeda. Batu bata besar direkatkan dengan semen merah, sehingga campurannya semen merah, pasir dan gamping atau kapur. Sedangkan batu bata yang kecil direkatkan dengan semen, pasir dan gamping atau kapur. “Kami punya sampelnya. Jadi cara perekatannya seperti itu,” kata dia.
Sementara cara pemasangan batu bata yang baru dengan yang lama juga berbeda. Hal itu bisa dilihat dari susunan batu bata yang ada di tembok-tembok yang sudah diruntuhkan. “Tembok-tembok itu kan tidak hancur lebur, makanya kami masih bisa tahu cara susunan pemasangan batu bata itu,” kata dia.
Perbedaan selanjutnya, kata Widodo, terdapat pada lantai bangunan itu, yang mana ubinnya memakai tekel khas kolonial Belanda. Tekel ini kemudian dikomparasikan dengan tekel kolonial Belanda dan ternyata sama. “Motifnya juga pada masa kolonial Belanda,” ujarnya.
Selanjutnya, pondasi rumah itu juga berbeda. Biasanya, bangunan kolonial Belanda itu menggunakan pasir, bukan tanah. Dan setelah dikomparasikan dengan Stasiun Semut yang merupakan bangunan bekas kolonial, ternyata sama. [bed,geh]

Tags: