Politik Dinasti Berpotensi Warnai 13 Pilkada di Jatim

(Riset Pemuda Muhammadiyah Simpulkan Peluang Korupsi Makin Besar)
Surabaya, Bhirawa
Gegap gempita Pilkada serentak makin terasa jelang awal Tahun 2020. Jatim sebagai provinsi dengan jumlah pilkada terbanyak di Indonesia menarik para peneliti melihat dinamika yang terus berkembang. Salah satunya terkait fenomena politik dinasti.
Fenomena tersebut dibeberkan Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Jatim dengan menggandeng Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya. Wakil Ketua Bidang Riset, Teknologi, MSDM PWPM Jatim Radius Setiawan menjelaskan, fenomena politik dinasti tidak hanya didasarkan pada hubungan kekerabatan atau keluarga. Lebih dari itu, politik dinasti juga didasarkan pada hubungan patron (Kleintenisme) yang berkaitan dengan usaha mempertahankan kekuasaan.
Radius menyebutkan, dari 19 kabupaten/kota di Jatim yang menggelar Pilkada pada 23 September 2020 mendatang, 13 di antaranya berpotensi muncul politik dinasti. Ke-13 daerah tersebut antara lain Kabupaten Sumenep, Kota Surabaya, Banyuwangi, Kota Blitar, Kabupaten Mojokerto, Ngawi, Tuban, Lamongan, Pacitan, Gresik, Kabupaten Kediri, Trenggalek dan Sidoarjo.
“Di Sidoarjo misalnya, wacana munculnya tokoh Amir Aslichin atau akrab disapa Iin maju dalam kontestasi pemilihan bupati. Iin tak lain adalah anak kandung Saiful Ilah Bupati Sidoarjo,” tutur Radius saat dikonfirmasi kemarin, Rabu (25/12).
Selain Sidoarjo, Radius mencontohkan Surabaya yang berpotensi muncul politik dinasti bukan karena hubungan kekeluargaan. Politik dinasti di Surabaya lebih cenderung karena sosok Tri Rismaharini yang sangat kuat terhadap pembangunan di Surabaya. “Sehingga muncul jargo Risma Selamanya. Jargon ini tidak muncul secara alami tetapi ada aktor yang menginisiasi munculnya jargon tersebut,” sambung pria yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya tersebut.
Lebih lanjut Radius menuturkan, fenomena politik dinasti memiliki potensi yang lebih besar terhadap praktik korupsi di daerah tersebut. Hal itu terjadi karena kurangnya kontrol sosial yang mengacu pada konsepsi Klitgaaard. “Dalam konsep itu dijelaskan bahwa korupsi terjadi jika monopoli ditambah kebijakan tanpa akuntabilitas dan kontrol sosial,” ungkap Radius.
Sementara itu, Direktur PUSAD Satria Unggul menambahkan dalam riset tersebut dilakukan dengan melibatkan 1066 responden dengan tingkat toleransi 3 persen dan tingkat kesalahan 3persen. Teknik pengambilan sample menggunakan multi-stage random sampling. “Kita melakukan penelitian pada 19 kabupaten/kota di Jatim yang melaksanakan Pilkada 2020,” tutur Satria.
Riset tersebut dilakukan pada periode 1-14 Nopember 2019. Selain random sampling, riset ini juga diperkuat dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam terhadap tokoh kunci di 19 kabupaten/kota serta diperkuat dengan studi pustaka untuk menguraikan persoalan yang diangkat.
Dalam riset tersebut juga digali terkait respon masyarakat terhadap fenomena politik dinasti yang berpotensi muncul. Di katakana Satria, masyoritas responden tidak percaya dengan calon kepala daerah yang memiliki hubungan kekeluargaan. Persentasenya mencapai 57,2 persen dan yang percaya sebesar 32 persen, serta responden yang tidak peduli sebanyak 10,8 persen.
“Alasan tidak percaya paling tinggi karena politik dinasti menghambat kaderisasi kepemimpinan dan potensi penyalahgunaan wewenang,” tutur satria. Sementara alahasan responden yang percaya didasarkan pada alasan memiliki trah/keturunan sebagai pemimpin dan karakter kepala daerah sebelumnya yang tegas serta berintegritas. [tam]

Tags: