Politik Hukum Ombudsman

Oleh :
Adam Setiawan
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia

Cita-cita bangsa Indonesia yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Konstitusi Negara Republik Indonesia, baik sebelum maupun sesudah diamandemen, mempunyai semangat yang kuat akan kesejahteraan warga negara dan membentuk Negara kesejahteraan.
Hal tersebut tercermin sebagaimana disebutkan dalam pembukaan alinea ke-4 UUD NRI 1945 yang bunyinya “….untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum……”.
Adapun bunyi dari pembukaan tersebut telah menimbulkan konsekuensi kepada administrasi negara yang dibebani tugas dan kewajiban yang semakin besar untuk merealisasikan tujuan negara. Dengan kata lain untuk merealiasasikan konsep negara kesejahteraan (negara hukum modern) pemerintah dilimpahkan tanggung jawab bestuurszorg atau public service.
Dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik, negara adalah aktor utama dalam upaya pemenuhan hak-hak.
Namun pada tataran praktinya, permasalahan acapkali muncul silih berganti seakan tidak ada hentinya sehingga kadang kala berpengaruh pada efektifitas penyelenggaraan pelayanan publik.
Ironis isu mengenai penyelenggaraan pelayanan publik yang bobrok tertutupi dengan berita-berita politik dan kasus korupsi
Hal ini didukung dengan data yang dikeluarkan oleh Ombudsman dalam kurun waktu 2016-2018 yang menyebutkan bahwa hampir sekitar 22590 laporan yang diterima oleh Ombudsman Republik Indonesia. Walaupun tidak semua laporan tersebut ditindaklanjuti oleh Ombudsman dikarenakan tidak memenuhi unsur maladministrasi atau beberapa hal lainnya yang menjadi syarat pelaporan.
Ironis isu mengenai penyelenggaraan pelayanan publik yang bobrok, kalah populer dengan berita-berita politik dan kasus korupsi yang menjerat penyelenggara negara.
Apabila dianalogikan pelayanan publik itu seperti jalanan yang panjang pasti akan ada lubang yang menghambatnya, seperti itu lah pelayanan publik akan mengalami hambatan jika tidak ada yang mengawasinya.
Ombudsman Republik Indonesia memiliki kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 UU No 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Berdasarkan redaksi pasal yang telah disebutkan di atas secara eksplisit telah menasbihkan Ombudsman sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik.
Akan tetapi dengan kewenangan yang telah diberikan tersebut tak dapat dipungkiri tantangan Ombudsman untuk menekan angka penurunan maladministrasi sangatlah besar bahkan Ombudsman yang memiliki produk hukum dalam bentuk “Rekomendasi” acapkali tidak diindahkan oleh terlapor. Sebelumnya perlu diketahui apa yang dimaksud dengan Rekomendasi berdasarkan Pasal 1 ayat 7 UU No 37 Tahun 2008, bahwa rekomendasi adalah kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun berdasarkan hasil investigasi Ombudsman, kepada atasan Terlapor untuk dilaksanakan dan/atau ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik.
Pada tataran praktiknya banyak para pelaku penyelenggara negara yang mendapatkan rekomendasi dari Ombudsman tidak menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia sebagai contoh :
Pertama, rekomendasi yang tidak ditanggapi terjadi pada tahun 2011, permasalahan bermula saat, Ombudsman Republik Indonesia lewat rekomendasinya, menyatakan bahwa Walikota Bogor Diani Budiarto telah melakukan penyimpangan praktik administrasi, atau maladministrasi, terkait dengan penerbitan Surat Keputusan yang isinya mencabut IMB dari GKI Yasmin itu.
Ombudsman juga menyatakan bahwa tindakan maladministrasi yang dilakukan Walikota Bogor merupakan perbuatan melawan hukum, dan mengabaikan kewajiban hukum. Oleh karena itu Ombudsman merekomendasikan kepada Walikota Bogor agar mencabut Surat Keputusan yang berisi tentang pembekuan IMB GKI Yasmin itu.
Kedua, rekomendasi Ombudsman RI perwakilan DKI Jakarta Raya diberikan terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait penutupan jalan di depan Stasiun Tanah Abang untuk mengakomodasi pedagang kaki lima. Ombudsman menilai telah terjadi penyimpangan administrasi (maladministrasi) atas kebijakan penutupan jalan Jati Baru Raya, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Akan tetapi rekomendasi tersebut tidak dilaksanakan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Adapun contoh di atas telah menunjukan bahwa telah terjadi kesenjangan antara kenyataan (sein) dan seharusnya (sollen) sebagaimana bunyi Pasal 38 ayat 1 menyebutkan Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan Rekomendasi Ombudsman. Dengan kata lain rekomendasi tersebut dapat diabaikan begitu saja tanpa ada sanksi, walaupun ada peraturan yang mengkhususkan Kepala Daerah untuk melaksanakan rekomendasi dan apabila tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman tersebut Kepala Daerah akan dikenai sanksi pemberhentian sementara. Namun seperti yang kita ketahui pada tahap implementasi, sukar ditemui seorang Kepala Daerah yang diberhentikan karena mengabaikan rekomendasi Ombudsman. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadi anomali dalam memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi para pelapor.
Maka dari itu perlu kiranya ada Politik Hukum untuk memperkuat Ombudsman dan Memperlemah Maladministrasi. Sebelum menjelaskan lebih lanjut perlu diketahui apa yang dimaksud dengan politik hukum. Menurut Mahfud MD Politik hukum adalah “legal policy” atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.
Pendapat Padmo Wahjono mengenai Politik Hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.
Teuku Mohammad Radhie Politik hukum merupakan kehendak penguasa disuatu negara mengenai tatanan hukum yang akan diberlakukan serta ke arah mana hukum akan dikembangkan.Dengan demikian dapat ditarik inti apa yang dimaksud dengan Politik Hukum yaitu suatu kebijakan dari negara mengenai hukum dan diberlakukan untuk semua orang dalam rangka mencapai tujuan negara.
Politik Hukum dengan cara melakukan pembaharuan substansi UU terkait Ombudsman merupakan suatu keniscayaan tatkala pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman tidak berjalan efektif sebagaimana semestinya.
Pembaharuan substansi UU Ombudsman harus berangkat dari kesenjangan antara kenyataan (sein) dan seharusnya (sollen) sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Berdasarkan Frasa dari Pasal 38 ayat 1 yang menyebutkan “Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman” seyogyanya diarahkan pada konsolidasi atau supporting system sebagai konsekuensi dari tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia.
Menurut penulis “Politik Hukum Ombudsman” selayaknya melalui cara memberikan kewenangan (bevoegdheid) yang cukup besar untuk menindak tegas para terlapor yang tidak menindaklanjuti rekomendasi yang telah diberikan oleh Ombudsman Republik Indonesia, dengan cara memakzulkan (impeachment) terlapor dari jabatannya (ambt) atau memberikan sanksi denda yang cukup besar. Dengan demikian para terlapor dapat menindaklanjuti rekomendasi yang telah didapatkannya.
Namun frasa tersebut bukan dengan tujuan untuk menakut-nakuti terlapor agar serta merta melaksanakan rekomendasi Ombudsman akan tetapi lebih pada menjaga marwah dan kehormatan Ombudsman sebagai lembaga pengawas penyelenggara pelayanan publik.
Selain itu upaya menekan penurunan penyimpangan administrasi (maladministrasi) yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik guna mewujudkan tujuan Negara Republik Indonesia dan tentunya memberikan jaminan perlindungan, kepastian hukum dan keadilan.
Disini penulis merasa pesimistis bahwa saran mengenai frasa kewenangan tersebut akan diakomodir dalam proses pembaharuan UU Ombudsman yang pada nantinya menimbulkan polemik dan perdebatan yang panjang diakibatan perluasan makna dan memungkinkan terjadinya overlapping dengan beberapa UU lainnya.
Selanjutnya penulis juga merasa pesimis manakala merealisasikan proses pembaharuan Ombudsman untuk masuk dalam prolegnas (program legislasi nasional) mengingat konstelasi politik kita sedang carut marut.
Ironis ditambah tidak adanya kemauan (political will) untuk memperkuat lembaga-lembaga sejenis Ombudsman demi mewujudkan tujuan negara.
Seperti halnya wacana untuk memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi guna memberantas tindak pidana korupsi berkelanjutan hanyalah tinggal wacana saja sebagaimana kita ketahui Komisi Pemberantasan Korupsi terus menghadapi ancaman pelemahan melalui berbagai cara.
Akan tetapi penulis sekali lagi menyatakan bahwa Politik Hukum memperkuat Ombudsman sebagai lembaga pengawas merupakan suatu keniscayaan terlepas unsur politis yang membalutnya dengan tujuan memperlemah atau menekan penurunan penyimpangan administrasi (maladministrasi).

——— *** ———–

Rate this article!
Politik Hukum Ombudsman,5 / 5 ( 2votes )
Tags: