Politik Kecurangan Pilkada DKI Jakarta

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum Unmuh Surabaya

Menjelang detik-detik akhir babak final Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta, 19 April 2017, persaingan kedua Pasangan Calon (Paslon) Cagub-Cawagub; Anis-Sandi vs Ahok-Djarot semakin ketat. Hal ini ditunjukkan dengan hasil survei yang di-release beberapa lembaga survei, yang menempatkan Paslon nomor urut 3 unggul tipis dengan margin 1-4 persen. Beberapa lembaga survei tersebut juga menyebut masih pemilih yang belum menentulan pilihan (undecided voter/ swing voter) masih diangga 5-10 persen. Sehingga lembaga survei sepakat dan berkesimpulan, kedua Paslon masih memiliki kans atau peluang yang sama untuk memenangkan pertarungan elektoral 19 April mendatang.
Superketatnya persaingan Pilgub DKI Jakarta ini berpotensi membuka celah masing-masing pihak dari kedua Paslon bermain curang. Salah satunya melakukan politik uang dalam berbagai bentuk atau penggunaan jabatan untuk kepentingan elektoral. Setelah berjuang di putaran I, kini para Tim Sukses/pemenangan Paslon berkosentrasi penuh pada “pengamanan” dan perluasan suara menjelang pemungutan suara. Seperti pemilihan-pemilihan sebelumnya, masa tenang dan menjelang hari H pemilihan, Tim Sukses/pemenangan pasangan cagub-cawagub tidak berhenti untuk terus mempengaruhi para calon pemilih agar memilih pasangannya. Bahkan di saat masa tenang sekalipun, praktik money politic (dalam berbagai bentuk) masih saja terjadi dan bahkan semakin masif
Salah satu politik kecurangan yang begitu masif terjadi di masa tenang (16-18 April) ini adalah adanya bazar murah sembako, bagi-bagi sembako plus uang 50-100 ribu rupiah yang ditemukan relaawan Paslon tertentu dan pihak Panwas setempat. Bahkan relawan Paslon tertentu dan Panwas DKI sendiri beberapa kali menangkap tangan relawan dan tim suskes Paslon kotak-kota yang sedang dan akan menyebarkan dan membagi-bagikan ratusan karung sembako kepada masyarakat. Bahkan rumah dinas DPR RI pun tak luput dari dijadikan gudang penimbunan berkarung-karung sembako yang siap dibagikan. Tindakan curang ini selain melanggar komitmen bersama terkait dengan masa tenang yang harus stiiril dari berbagai kegiatan kampanye, apalagi bagi-bagi sembako,- juga patut diduga melanggar Undang-Undang Pilkada (UU No. 10 tahun 2016, pasal 73 ayat 3, pasal 187 poin a-d).
Politik Kecurangan
Praktik Politik Kecurangan (teramsukmoney politics)dalam berbagai bentuk tak hanya terjadi pada saat kampanye dan masa tenang saja, menjelang detik-detik terakhir pemilihan, Tim Sukses/pemenangan Paslon tak mau berhenti melakukan upaya mempengaruhi pemilih dengan berbagai cara. Dan cara yang paling instan adalah dengan money politics. Kita mengenal adanya Serangan Fajar, yakni praktik money politics atau bagi-bagi sembako atau apapun bentuknya menjelang subuh. Saat ini berkembang istilah baru, yakni Serangan Dhuha, Tim Sukses/pemenangan bergerilya mendatangi pemilih sekitar jam 06.30 detik-detik menjelang pemilihan. Dengan Serangan Dhuha ini, apalagi dengan imbalan yang lebih besar. Semua itu dilakukan dalam rangka merubah pilihan para pemilih.
Para Tim Sukses atau Pemenangan Paslon sepertinya mulai belajar dari praktik “serangan fajar” pada pemilihan-pemilihan sebelumnya. Dalam pikiran mereka, Serangan Dhuha dipandang lebih efektif, karena dapat mempengaruhi dan bahkan merubah pilihan politik calon pemilih secara langsung. Dengan imbalan yang jauh lebih besar, calon pemilih dalam seketika diharapkan bisa merubah pilihan politiknya. Apalagi jika diikuti dengan tekanan politik. Sehingga calon pemilih merasa takut dan tak punya pilihan lain, kecuali memilih sesuai dengan pesanan.
Praktik politik uang pada saat-saat menjelang pemilihan atau pemungutan suara ini, berpotensi akan lebih marak. Tim Sukses/pemenangan Paslon dan Timsesnya akan berlomba-lomba bagaimana agar suara aman dan bisa mendapatkan suara lebih banyak sehingga kandidatnya bisa menang. Seperti pemilihan-pemilihan sebelumnya, diprediksi uang yang beredar di tengah-tengah masyarakat akan semakin banyak dan meluas. Apalagi kompetisinya semakin ketat.
Biasanya praktik kotor ini (baca: politik uang) oleh Tim Sukses/pemenangan Paslon dan jaringan di bawahnya, dilakukan karena; Pertama, tidak memiliki kepercayaan diri dan merasa takut dirinya kalah elektoral. Orang yang tak punya kepercayaan diri dan merasa takut tak terpilih, biasanya akan menggunaan cara-cara politik instan ala Macahavellian, yakni politik segala cara untuk mendapatkan kekuasaan, yakni melakukan politik uang dalam berbagai bentuknya. Kedua, praktik politik uang biasanya dilakukan oleh Tim Sukses/pemenangan pasangan Paslon yang berkantong tebal. Asumsi politiknya, Parpol besar pasti memiliki dana politik yang juga besar dan memiliki upaya besar untuk melakukan praktik politik uang, apalagi jika di support pemodal besar. Apalagi bagi Parpol besar yang mengalami paranoid suaranya akan turun atau tak percaya diri, mereka akan menggunakan dana politiknya untuk terus mempengaruhi pemilih.
Lima Menit Untuk Lima Tahun
Masyarakat pemilih harus sadar bahwa money politic dalam berbagai bentuknya adalah racun bagi dirinya dan bangsa ini.. Kandidat yang mengandalkan politik uang nantinya jika terpilih akan berperilaku lebih ganas bak predator yang bisa menghisap uang rakyat lebih banyak. Jika sudah menjadi pejabat, dalam pikirannya akan muncul bagaimana uang raturan milyar rupiah yang telah dikeluarkan bisa balik, bahkan kalau perlu bisa lebih. Kandidat model ini akan “menghalalkan segala cara” dalam meraih keuntungan politik dan ekonomi ketika sudah duduk menjadi pejabat. Karena itu, ambil uangnya, jangan pilih orangnya.
Pemilu yang diwarnai dengan politik uang yang begitu vulgar dan tanpa dosa ini bukannya akan memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat, tapi justru sangat membodohi masyarakat dan menghancurkan sendi-sendi demokrasi. Kandidat atau Tim Sukses/pemenangan yang mengandalkan uang dan kuasa politik dalam meraih kursi kekuasaanya, sudah dipastikan akan menjadi rezim korup jika mereka nantinya berkuasa atau memegang kekuasaan. Bahkan perilaku korupnya dipastikan akan lebih korup dibandingkan dengan saat kampanye.
Lima menit untuk lima tahun. Kesalahan kita dalam memilih akan menentukan nasib kita selama lima tahun. Karena itu, pilihlah kandidat yang berintegritas.  Masyarakat pemilih dituntut untuk berfikir lebih rasional dan cerdas. Pemilih jangan sampai tergiur dengan imbalan materi apapun yang diberikan Tim sukses/pemenangan kandidat tertentu. Kandidat yang bermental dan berkakter korup, aji mumpung dan tak berorientasi pada kepentingan rakyat wajib untuk tidak dipilih Awalnya mungkin  berkah bagi pemilih, namun kedepannya akan menjadi bencana politik bagi pemilih dan bangsa ini.

                                                                                               ————– *** —————

Tags: