Politik Luar Negeri Pasca Kemenangan Trump

Ani Sri RahayuOleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Mata Kuliah Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Kemenangan mengejutkan Donald Trump yang mengalahkan Hillary Clinton dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) patut menjadi perhatian kita semua. Figur yang sejak awal paling dikhawatirkan jutaan warga Amerika Serikat dan mungkin juga dunia untuk terpilih sebagai presiden, itu adalah Donald John Trump. Akan tetapi, kekhawatiran itulah yang kini justru menjadi kenyataan.
Kemenangan Partai Republik dipastikan setelah Trump menggulingkan perolehan suara atas pesaingnya, kandidat dari Partai Demokrat, Hillary Rodham Clinton, dalam pemilihan presiden AS yang digelar kemarin. Trump menang atas mantan menteri luar negeri dan ibu negara AS itu dengan 290 electoral vote. Sebaliknya, Hillary yang semula diunggulkan hanya mampu mengumpulkan 218 electoral vote.
Kemenangan di tengah Kontroversi
Terpilihnya Trump sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat tidak hanya dikhawatirkan warga Amerika Serikat, tetapi juga pasar uang dan saham. Indeks bursa saham di sejumlah pusat keuangan dunia pun mengalami koreksi. Kemenangan Trump memang sangat mengejutkan. Publik Amerika dan dunia belum sepenuhnya mampu memahami bagaimana mungkin figur sangat kontroversial seperti Trump dapat meyakinkan sebagian besar pemilih di negeri yang menjadi model demokrasi dunia itu.
Trump yang dalam kampanyenya sempat mengeluarkan ide-ide ‘yang dinilai’ tidak masuk akal, seperti akan membangun tembok di sepanjang perbatasan AS dengan Meksiko untuk membendung imigran, melarang orang beragama Islam memasuki Amerika, dan akan melancarkan perang dagang dengan Tiongkok, membuat warga Amerika terbelah. Akan tetapi, keterbelahan pemilih di antara kedua kandidat presiden itu tidak serta-merta dibiarkan berlarut oleh para pemimpin. Tidak lama seusai pengumuman perolehan suara yang memenangkan rivalnya, Hillary Clinton langsung menelepon Trump dan secara sportif mengucapkan selamat. Di lain sisi, kemenangan itu juga tidak membuat Trump jemawa. Dalam pidato resminya seusai terpilih sebagai presiden AS, ia menyatakan akan menjadi presiden bagi seluruh warga Amerika, bukan hanya para pemilihnya.
Trump juga menyambut ucapan selamat dari Hillary Clinton dengan sikap yang sangat berkebalikan dari pernyataan-pernyataannya saat kampanye. Trump yang saat kampanye sempat menyatakan akan memenjarakan Hillary Clinton atas kinerjanya menggunakan server pribadi semasa menjadi menteri luar negeri menyatakan telah berutang terima kasih tidak terhingga kepada Hillary atas pengabdiannya kepada negara.
Sikap para pemimpin Amerika itu menjadi pelajaran yang sepatutnya kita simak dan cermati. Rivalitas dalam kontes pemilihan presiden AS itu dengan serta-merta disudahi begitu kompetisi berakhir. Ada kesadaran dan kearifan dari para kandidat yang bersaing bahwa rivalitas politik di antara mereka, betapa pun kecilnya, telah menimbulkan luka, termasuk di level akar rumput. Karena itu, seluruh kandidat saling mengutuhkan kembali keterbelahan yang sempat mereka ciptakan. Pernyataan-pernyataan yang menyejukkan, mengutuhkan, dan menguatkan disuarakan demi jalinan persatuan dan kesatuan.
Saat pemerintahan presiden terpilih berjalan, kandidat dan partai yang tidak terpilih pun bertindak sebagai oposisi secara sportif. Jika ada kebijakan presiden yang dinilai tidak pas, mereka mengoreksi melalui kritik yang konstitusional.
Mereka tidak asal berseberangan, tak juga bernafsu menjatuhkan presiden terpilih di tengah jalan. Itulah pelajaran apik yang dapat ditarik dari pemilihan presiden AS. Namun, di sisi lain kemenangan Donald Trump di ajang pemilu Amerika Serikat menyisakan tanda tanya tentang rencana kebijakan yang benar-benar akan ia realisasikan. Banyak di antara isi kampanyenya yang kontroversial menyentuh kepentingan masyarakat dan negara di luar ‘Negeri Paman Sam’. Akankah Trump membangun tembok melingkar di perbatasan untuk menghalangi para imigran? Benarkah ia bakal mengecilkan keran impor dan mewujudkan perang dagang dengan Tiongkok? Lalu bagaimana dengan keinginan Trump menghalau masyarakat muslim yang memasuki Amerika? Jadikah ia menuntaskan ambisinya menghapus IS dari muka bumi? Publik dunia masih harus menunggu jawabannya sampai Trump resmi menjabat presiden. Taipan flamboyan itu baru akan diambil sumpah sebagai orang nomor satu di AS, menggantikan Barack Obama, pada 20 Januari 2017.
Politik Bebas Aktif untuk Trump
Di sini pemerintah dan masyarakat Indonesia tentu harus proporsional dalam menyikapi kemenangan Trump tersebut. Kita tak perlu ikut larut dalam pergolakan politik di sana. Yang perlu dilakukan Indonesia adalah bagaimana bisa menggandeng Amerika untuk kepentingan Indonesia melalui peningkatan kerja sama ekonomi maupun bidang-bidang lain. Ingat, Indonesia tak bisa hanya mengandalkan kerja sama hanya dengan satu atau dua negara. Kita tahu saat ini Indonesia cenderung memiliki arah politik luar negeri dengan condong ke China.
Belajar dari masa lalu, saat hanya mengandalkan pemenuhan keperluan alutsista dari Amerika, akhirnya kita mengalami kerepotan saat pemerintah Negeri Paman Sam melakukan embargo. Karena itu pemerintah Indonesia tak bisa hanya mengandalkan China, kedekatan dengan AS perlu juga segera dibangun dan demi kepentingan kerja sama dalam konteks kepentingan Indonesia, Presiden Joko Widodo telah menegaskan Indonesia siap melanjutkan kerja sama yang saling menguntungkan. Jokowi juga mengajak Trump membangun perdamaian dan menciptakan kesejahteraan dunia. Pernyataan Presiden sekaligus menegaskan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Negara ini tidak turut campur urusan internal negara lain dan tidak memihak kekuatan mana pun di dunia. Namun, negara tidak pula pasrah menghadapi kebijakan negara lain yang mengganggu kepentingan nasional.
AS selama ini merupakan mitra dagang utama dengan posisi surplus perdagangan berada di tangan Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat selama periode Januari-September tahun ini mencapai US$11,6 miliar atau sekitar Rp150 triliun. Nilai impor dari AS tercatat hanya separuhnya. Keinginan Trump untuk memperkecil keran impor jelas mengancam kinerja ekspor Indonesia ke AS. Pemerintah mesti menggencarkan diplomasi begitu pemerintahan Trump terbentuk. Yakinkan dengan segala daya upaya bahwa produk Indonesia bukanlah ancaman perekonomian AS.
Sikap apriori Trump terhadap masyarakat muslim juga merugikan kepentingan Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sebab, bagaimanapu juga kenyataannya tidak sedikit diaspora Indonesia yang menetap di Amerika Serikat. Ditambah, setiap tahun ratusan ribu, kalau bukan jutaan, warga Indonesia hilir mudik mengunjungi negeri Trump untuk berbagai urusan. Dengan berpedoman pada kata pepatah ‘Tak kenal maka tak sayang’, kenalkan situasi di Indonesia kepada Trump. Tidak ada salahnya kita menunjukkan kepada dia dan dunia bahwa masyarakat muslim tidak perlu ditakuti.
Indonesia yang memiliki populasi penduduk keempat terbesar di dunia dan mayoritasnya beragama Islam mampu mempertahankan suasana damai dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Perbedaan tetap ada, tetapi bukan permusuhan. Muslim di Indonesia justru dapat menjadi panutan untuk mewujudkan perdamaian dunia seperti cita-cita konstitusi. Sebab, bagaimanapun AS merupakan negara adidaya yang masih sangat perlu diperhitungkan peranannya. Keseimbangan hubungan antarbangsa perlu dibangun dengan tetap menerapkan politik bebas aktif demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

                                                                                                                  ———– *** ————

Tags: