Politik Pangan yang Memiskinkan

Salahudin, MSi

Salahudin, MSi

Oleh :
Salahudin, MSi
Dosen Ilmu Pemerintahan Univ. Muhammadiyah Malang, Penulis Buku Negara Versus Masyarakat Sipil, Terbit 2014.
Semua anak bangsa terheran-heran dengan minimnya ketersediaan pangan di negara yang kaya akan sumber daya alam. Ketergantungan kebutuhan pangan Indonesia terhadap negara-negara lain dinilai sangat tinggi. Dari tahun ke tahun Indonesia membutuhkan bahan pangan impor yang sangat tinggi. Tingginya kebutuhan bahan pangan impor menunjukkan negara Indonsia tidak memiliki kemandirian untuk menyediakan bahan pangan dalam negeri. Padahal negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris, memiliki tanah pertanian yang luas dan subur, dan memiliki kondisi iklim yang kondusif untuk pertumbuhan bidang pertanian.
Banyak ilmuwan pertanian menjelaskan persoalan di atas diakibatkan oleh terbatasnya luas lahan pertanian sehingga masyarakat tani tidak memiliki tempat untuk memproduksi bahan pangan, dan pengolahan pertanian masih alat tradisional sehingga modal pengeluaran untuk pengelolaan produksi bahan pangan lebih besar dibandingkan penghasilan yang didapatkan oleh para tani. Kondisi ini mengakibatkan para tani beralih profesi pada bidang lain, bahkan tidak sedikit di antara mereka mencari penghidupan di daerah perkotaan, dan pada gilirannya ketersediaan bahan pangandalamnegeri sangat terbatas sehingga pemerintah menerapkan kebijakan impor bahan pangan.
Dialektika pemikiran dalam memahami keterbatasan bahan pangandalamnegeri seperti tersebut perlu dikaji secara dalam. Penulis tidak mengatakan dialektika tersebut adalah salah, hanya saja perlu dikaji secara komprehensif sehingga menemukan persoalan-persoalan mendasar yang membuat keterbatasan bahan pangan dalamnegeri. Pada dasarnya Indonesia tidak mengalami keterbatasan lahan pertanian, justru lahan pertanian di Indonesia tersedia sangat luas. Namun belum diberdayakan dengan baik. Lahan pertanian di daerah Indonesia Timur, misalnya, masih banyak yang belum diberdayakan dengan baik seperti di daerah Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan di Papua. Bahkan beberapa daerah di pulau Jawa masih tersedia lahan yang luas dan belum diberdayakan dengan baik.
Kinerja Buruk SektorPertanian
Pada intinya Indonesia terhampar lahan yang sangat luas yang belum diberdayakan secara baik. Karena itu, keterbatasan lahan  dianggap sebagai faktor keterbatasan bahan pangan tidak dapat dijadikan sebagai alasan utama. Hemat saya persoalan utama yang membuat Indonesia mengalami keterbatasan bahan pangan sehingga mengimpor bahan pangan luar negeri, adalah minimnya keseriusan pemerintah untuk memberdayakan sektor pertanian sebagai sektor unggulan untuk memproduksi bahan pangandalamnegeri. Pemerintah belum terlihat serius untuk memberdayakan sektor pertanian. Bahkan pemerintah menjadikan sektor pertanian sebagai obyek politik yang dapat menguntungkan pihak-pihak tertentu seperti para pejabat negara dan pengusaha.
Memasuki era reformasi pemerintah semakin nampak ketidakseriusannya, justru menjadikan sektor pertanian sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan golongan. Pemerintah dinilai lebih senang menerapkan kebijakan impor bahan pangan daripada memberdayakan sektor pertanian untuk memproduksi bahan pangan dalam negeri. Berdasarkan data Bappenas tahun 2014, menunjukkan tingginya ketergantungan Indonesia terhadap bahan pangan impor. Sepanjang periode 2010-2013, rata-rata impor besar pada periode ini meningkat 482,6 persen, cabai 141 persen, gula 114,6 persen, bawang merah 99,8 persen, jagung 89 persen, kedelai 56,8 persen, dan gandum 45,2 persen. Pertanyaanya, kenapa pemerintah senang dengan kebijakan impor daripada menerapkan kebijakan yang betul-betul dapat memproduksi bahan pangan dalam negeri?
Pertanyaan tersebut di atas dapat dijawab sesuai apa yang penulis katakan sebelumnya, “tingginya bahan pangan impor menunjukkan minimnya keseriusan pemerintah untuk memberdayakan sektor pertanian dalam negeri”. Pertumbuhan impor pangan sekaligus menunjukkan buruknya kinerja sektor pertanian Indonesia. Kesemuannya itu dilatarbelakangi buruknya politik pangan Indonesia. Politik pangan Indonesia bukannya meberdayakan sektor pertanian, justru politik pangan dibangun berdasarkan kepentingan para pemilik kekuasaan dan kewenangan, bukan kepentingan bangsa dan masyarakatnya. Politik pangan yang demikian merusak sektor pertanian sebagaisektor utama dalam memproduksi bahan pangan.
Dalam politik pangan, pemilik kekuasaan dan kewenangan  akan menerapkan kebijakan impor karena mereka akan mendapatkan keuntungan dari para pihak yang terkait dengan kebijakan impor. Pemilik kekuasaan dan kewenangan membangun komunikasi kolutif dengan para importer. Komunikasi kolutif adalah komunikasi yang melahirkan kesepakatan bersama yang saling menguntungkan kedua belah pihak (pemerintah-importer). Pemerintah (pemilik kekuasan dan kewenangan yang terkait) akan membuat kebijakan-kebijakan impor yang dapat mempermudah importer dalam menjalankan bisnis yang menguntungkannya. Dari situ pihak importer aka mengeluarkan sejumlah fee untuk parapemilik kekuasaan dan kewenangan yang membuat kebijakan-kebijakan itu.
Pemerintah membuat kebijakan impor dilandasi kepentingan-kepentingan pragmatis sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat bukan melindungi dan memberdayakan sektor pertanian dalam negeri, justru melindungi dan memberdayakan pihak pengusahaimporter dan negara-negara lain. Dampak dari kebijakan-kebijakan pragmastis itu adalah memburuknya kinerja sektor pertanian Indonesia. Akibatnya indeks ketahanan pangan Indonesia jauh di bawah negara-negara tetangga. Di antara 105 negara yang dinilia, indeks ketahanan pangan Indonesia berada di urutan ke-64 dengan skor 46,8 yang jauh di bawah Malaysia yang berada diperingkat ke-33 dengan skor 63,9, China ke-38 dengan skor 62,5, Thailand ke-45 dengan skor 57,9, Vietnam ke-55 dengan skor  50,4, dan bahkan Filipina yang berada di urutan ke-63 dengan skor 47,1 (Global Food Security Index, 2012, dikutip Santosa, 2014).
KorupsiKebijakanPangan
Kondisi pangan Indonesia diperburuk lagi dengan adanya korupsi kebijakan anggaranpangan. Jika pada kebijakan impor pemerintah mendapat keuntungan fee dari pengusaha dan negara-negara importer, namun pada kebijakan pangan pemerintah mendapat keuntungan melalui kebijakan anggaran untuk sektor pertanian dengan melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan (korupsi pangan). Pasca reformasi, pemerintah dinilai cukup aktif membuat kebijakan anggaran yang berpihak kepada sektor pertanian. Namun pada periode reformasi juga kinerja sektor pertanian semakin memburuk sebagaimana yang dipaparkan di atas. Hemat saya, pada konteks ini terdapat korelasi positif antara kebijakan anggaran pangan dan perilaku korupsi pejabat negara sehingga menghasilkan kinerja buruk sektor pertanian.
Total anggaran yang disediakan untuk sektor pertanian pada tahun 2004 sebesar Rp 10,1 triliun (laporang keuangan pemerintah pusat tahun 2004). Anggaran tersebut meningkat menjadi Rp 12,6 triliun pada tahun 2005, Rp 49,8 triliun pada tahun 2009, dan Rp 71,9 triliun pada tahun 2013. Anggaran tersebut terdistribusi untuk kementerian Pertanian, Irigasi, Subsidi, trasfer ke daerah-daerah, dan belanja lain-lain berupa cadangan beras pemerintah, cadangan benih nasional, dan cadangan ketahanan pangan (Santosa, 2014). Melalui anggaran yang besar tersebut selayaknya tidak terdapat keterbatasan bahan pangan, penerapan kebijakan impor pangan, lahan yang tidak produktif, keterbatasan modal para tani, tradisionalistik pengolahan pangan, pengalihan profesi para tani, dan rendahnya daya jual para tani. Besarnya kebijakan anggaran pangan mestinya diikuti ketersediaan bahan pangan yang cukup dan bahkan lebih untuk diekspor.
Politik kebijakan pangan di Indonesia belum menghendaki terwujudnya kemandirian bahan pangan dan terbentuknya daya saing sektor pertanian dalam negeri. Rupanya pemerintah masih ingin menikmati hasil dari kebijakan impor pangan, dan korupsi kebijakan anggaran sektor pertanian. Jika hal ini terus berlangsung bukan tidak mungkin negara kaya akan sumber daya alam ini akan menjadi pengemis di negara sendiri dan negara-negara lain, yang kemudian disebut oleh Andreas Santosa (Guru Besar Pertanian IPB) Indonesia akan mengalami bencana pangan yang membahayakan masa depan. Semoga hal ini tidak terjadi !

Rate this article!
Tags: