Politik Rahmatan Lil ‘Alamin

Yunus SupantoOleh :
Yunus Supanto
wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik.

Lepas shalat Isya’, hari Kamis malam Jumat, 13 Oktober 1927 (Bakda Maulud 1346 H), di masjid Ampel Surabaya, ramai dibanjiri sekitar 15 ribu orang. Selain mendengar fatwa ulama terkemuka, malam itu bertepatan dengan akhir muktamar ke-2 NU. Fatwanya adalah, bahwa pemerintah kolonial Belanda telah menjamin kemerdekaan beragama. Rezim Hindia-Belanda dianggap tidak mencampur-adukkan antara urusan politik dengan agama.
Fatwa dan isi ceramah pengajian malam itu, sungguh-sungguh melegakan masyarakat (buktinya terjadi tepuk tangan gemuruh). Namun yang paling dilegakan, adalah pemerintah. Awalnya tidak disangka. Ternyata para ulama tradisional, yang dipercaya oleh mayoritas rakyat Indonesia, tidak menebar kebencian terhadap rezim. Padahal saat itu, kelompok muslim lain bagai menghunus pedang kepada rezim.
Fatwa yang seolah-olah berpihak pada rezim kolonial, itu bukan sembarang strategi. Melainkan berdasar telaah keilmuan, diantaranya paradigma yang dinyatakan oleh Khalifah keempat (sayyidina Ali bin Abi Thalib, r.a.). Adagiumnya berbunyi,  “Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun dibawah kepemimpinan rezim kafir, dan suatu negara akan hancur disebabkan kezaliman, meskipun dibawahkan rezim muslim.” Adagium yang sama juga diajarkan oleh Ibnu Taimiyah.
Muktamar NU ke-33, sudah selesai, dengan segala dinamika. Sejak muktamar yang diselenggarakan pada dekade 1970-an, situasinya selalu “panas-dingin.” Altar politik (dugaan sedekah politik, maupun penyusupan politik aliran) selalu menjadi kosmis tak terelakkan. Tetapi hasilnya, selalu diakui sebagai yang terbaik, jalan tengah yang cerdas. Bahkan sering diluar dugaan.
Begitu pula muktamar ke-33, yang menghasil pejabat Rois ‘Am yang dibebankan kepada KH Ma’ruf Amin. Alumni pesantrenTebuIreng, Jombang itu, pernah menjadi Katib ‘Am (semacam Sekeretaris Jenderal) Syuriyah PBNU. Serta menjadi Ketua Komisi Fatwa MUI. Sebelumnya, KH Ma’ruf Amin sudah “kenyang” dalam blantika politik, sebagai Ketua Komisi di DPRD DKI Jakarta, serta Ketua Komisi VI DPR-RI.
Begitulah NU. Selalu membedakan politik praktis, dengan urusan sosial jam’iyah keagamaan. Politik ke-rezim-an (kekuasaan) dianggap memiliki area kerja, yang berbeda dengan urusan peribadatan. Lebih lagi rezim telah menjalankan system politik etis (dalam bahasa Belanda disebut een eerschuld, bermakna balas budi). Walau politik etis seringkali dihambat oleh pegawai birokrasi pemerintahan, sehingga menimbulkan kritik tajam kalangan intelektual pribumi.
Nampaknya, NU (sebagai jam’iyah) selalu konsisten memisahkan urusan politik dengan keagamaan. Bukan berarti a-politik. Bahkan banyak tokoh NU tampil dikenal sebagai politisi yang sangat cemerlang. Misalnya, KH IdhamCholid, Subhan ZE, HRM Soenarjo, serta KH Bisrie Sansuri. Pada generasi berikutnya, juga muncul nama-nama KH Yusuf Hasyim, Cholid Mawardi, serta Mahbub Junaidi (meski tak pernah jadi anggota DPR.
Ada pula yang disebut sebagai politisi “dunia akhirat” yakni, KH Abdurrahman Wahid (alias Gus Dur). Mahbub Junaidi, dan Gus Dur, disebut-sebut sebagai re-aktualisasi politik NU periode as-shalafusshalih, periode pertama. Mahbub Junaedi,  misalnya sangat berjasa terhadap ibu negara Tien Soeharto, pada saat pembangunan TMII (Taman Mini Indonesia Indah). Setelah muncul beberapa tulisan Mahbub Junaedi di berbagai media masa, maka kritik keras berbagai pihak (terhadap bu Tien) mereda. Sehingga Mahbub, dijuluki politisi “tukang es.”
Komite Intelektual Hijaz
Akan halnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), namanya popular pada muktamar ke-27 (1984) di Situbondo, JawaTimur. Bangsa Indonesia, terutama kalangan organisasi masyarakat (ormas) muslim, pada situasi vis a vis dengan pemerintah. Problemnya, pelaksanaan wajib asas tunggal (Pancasila) oleh rezim orde baru, dianggap “menyaingi” agama. Karena itu beberapa ormas Islam meng-haram-kan asas tunggal Pancasila.
KH Abdurrahman Wahid, yang terpilih untuk pertama kali sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PB-NU (bersama KH Achmad Shiddiq, sebagai Rois ‘Am), tampil elegan. Bahkan muktamar NU saat itu menerima asas tunggal Pancasila. Dalam khutbah iftitah (pidato awal jabatan) KH Achmad Shiddiq, selaku Rois ‘Am, menyatakan bahwa asas tunggal Pancasila, sudah final. Alasannya, asas tunggal Pancasila tidak bertentangan dengan agama, dan bukan akidah agama.
Paradigma politik ulama NU, secara khitthah, sebenarnya merupakan pertautan antara agama dan politik. Yakni, delegasi ulama Indonesia ke (kota) Hijaz, Arab Saudi, dalam rangka mencegah pem-bumi hangus-an situs bersejarah. Termasuk pembongkaran makam Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Boleh jadi pada era 1920-an itu, pemerintah Kerajaan Arab Saudi belum mengerti benar arti situs sejarah. Padahal, tanpa adanya situs ke-islam-an, Arab Saudi, tidak berarti apapun.
Sukses dengan misi komite Hijaz, delegasi ulama mengukuhkan perkumpulan (jam’iyah) Nahdlatul Ulama. Misi utamanya pendidikan, terutama transformasi ilmu keagamaan Islam sebagai karakter building.
Di seluruh pesantren yang dikenal “ber-aliran NU,” prinsip ta’abbud (mengabdi) ditanamkan sebagai tahap awal proses  kependidikan. Termasuk di dalamnya, pengabdian santri (murid) terhadap guru dan lembaga pendidikan.
Kelak, prinsip ta’abbud dikenal dunia kependidikan sebagai spiritual quotient the first. Bahkan WHO (World Health Organization, Badan Kesehatan Dunia) merekomendasikan spiritual quotient seharusnya menjadi dominan kesehatan jiwa. Rekomendasi WHO pada tahun 1986, bahwa kecerdasan spiritual seyogianya dalam porsi 50%, disusul instinct quotient (30%) dan intelectual quotient (IQ) sebesar 20%. Tetapi mayoritas dunia kependidikan malah mengutamakan IQ.
Jihad Bela Negara
Prinsip ta’abbudtercermin dalam metodologi dakwah NU, yang mengedepankan istighotsah (tahlil dan puji-pujian kepada Ilahi), serta pembacaan shalawat Nabi.Sikap ta’abbud, juga dapat menjadi pencerahan politik (rahmatan lil ‘alamin) yang ramah. Namun pada situasi politik pertahanan negara, ta’abbud dapat menjadi panggilan pengabdian “rela mati” demi negara. Hal itulah yang dilakukan oleh hadratus syeh mbah Hasyim Asy’ary, terhadap tamunya. Yakni, Bung Tomo, untuk meminta fatwa.
Seketika memasuki pesantren Tebu Ireng, Bung Tomo sudah disodori kitab Bujairimi Fathul Wahab jilid 4, persis pada halaman ke-251, serta kitab lain. Ternyata ketiga kitab, isinya sama: Wajib ain perang melawan tentara Belanda (yang membonceng NICA), untuk semua orang, tak terkecuali wanita dan anak-anak.Wajib ain perang berlaku untuk setiap jiwa, yang berada pada radius 94 kilometer dari posisi musuh. Padahal saat itu, NICA baru saja memenangi Perang Dunia II.
Situasi pada bulan Oktober 1945, berbeda dengan Oktober tahun 1927. Pada Oktober 1945, negara RI sudah diproklamirkan. Sedangkan pada Oktober 1927 belum lahir negara RI. Situasi kenegaraan ini bisa ditamsilkan sebagai individu yang telah bebas (dari perbudakan), dan memiliki hak-hak sebagai individu merdeka. Sehingga seluruh hak-haknya (jiwa dan seluruh aset material) wajib dipertahankan, dengan jiwa dan raga. Matipun akan memiliki derajat syahid (sangat mulia).
Begitulah NU, yang cermat mengelola strategi politik sesuai situasi dan kondisi. Cermat membedakan prinsip ibadah mahdloh, dengan ghairu mahdloh, serta amal jariyah (perilaku sosial keseharian). Cermat dalam pelaksanaan ukhuwah wathaniyah (kerukunan nasional), ukhuwah Islamiyah (kerukunan Islam), serta ukhuwah basyariyah (kerukunan global, termasuk akur dengan alam lingkungan hidup). Seperti itu pula yang dilakukan juru dakwah periode awal (sejak abad ke-11  hingga abad ke-15) yang dimotori oleh Walisongo. Dakwah yang ramah, tidak menghunus pedang terhadap adat dan budaya. Saat ini NU telah memiliki lembaga pendidikan, dengan status sekolah (ter-akreditasi) terbaik nasional. Juga memiliki ratusan rumahsakit, dengan akreditasi terbaik. Umumnya aset NU tidak perlu di-labeli sebagai tanda kepemilikan. Amal jariyah NU tidak riya’, tidak ditonjol-tonjolkan untuk memperoleh pujian.
NU dengan berbagai asetnya, bukan lagi puritan. Selayaknya menjadi motor penggerak kesejahteraan nasional. Tetapi masih banyak gras-root nahdliyinmasih terbelakang secara ke-ekonomi-an.

                                                                                          ————————- *** ————————

Rate this article!
Tags: