Politik Sebagai Pemberdayaan Umat

Badrut-TamamOleh :
Badrut Tamam
Ketua Fraksi PKB DPRD Jawa Timur

Dewasa ini, makna terminologi “politik” bagi rakyat telah tereduksi begitu parah. Bagi orang-orang yang kebetulan saya jumpai di warung kopi, kereta api kelas ekonomi, bus kota dan angkot, politik bukanlah seni memperoleh kekuasaan/wewenang demi mengabdikan diri bagi kepentingan publik atau yang dalam filosofi Hannah Arendt disebut, “seni mengabadikan diri manusia.” Politik justru dimengerti awam sebagai nomenklatur keculasan, tipu daya, dusta, khianat, yang semuanya ekuivalen dengan kemunafikan demi tercapainya ambisi pribadi.
Coba simak reaksi mereka begitu tahu saya adalah aktivis politik. “Oh, nanti jadi kayak “tukang jual jamu” itu ya, omong doang,” atau ada yang sekonyong-konyong bilang, “awas kayak Nazaruddin, kena korupsi. Kan kayaknya orang politik itu pasti korupsi.”
Sungguh, ini bukan kisah fiksi. Dialog semacam itu nyata-nyata pernah terlontar dari orang-orang pinggiran. Para wong cilik tersebut, dalam kategori sosiolog Peter Berger dan Luckmann (1990) adalah “man in the street” : kalangan awam yang mencoba menafsirkan realitas sosial di hadapannya dalam pandangannya yang paling genuine. Hanya dengan begitu, akan muncul pendapat-pendapat otentik dari sekelompok masyarakat yang bersinggungan langsung dengan fenomena sosial di sekelilingnya. Hal itu terjadi karena bangsa ini nyaris tidak mempunyai teladan seperti Christian Wulff, Presiden Jerman yang gentleman mengundurkan diri begitu diisukan (belum diperiksa apalagi jadi terdakwa) terlilit skandal korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Atau sosok negarawan semacam Gus Dur yang sangat mementingkan kepentingan bangsa dibanding kepentingan sendiri atau golongannya.
Bagi politisi seperti saya, fakta di atas memang menyedihkan. Namun fakta di atas bukan untuk dibantah, melainkan harus dijadikan tamparan keras untuk bangkit. Tujuannya agar proses demokratisasi yang sudah kita tempuh sejak reformasi 1998 tidak berhenti pada demokrasi prosedural melainkan bisa menginjak pada fase demokrasi substansial. Caranya mengembalikan mandat politik sebagai instrumen melayani umat dan memberdayakan rakyat. Tentu cita-cita tersebut tidak bisa dilaksanakan seorang diri. Dalam sistem demokrasi representatif seperti model demokrasi di Indonesia, jalan pelayanan dan pemberdayaan umat tersebut harus dilaksanakan oleh partai politik (parpol). Parpol merupakan pilar utama demokrasi. Dengan demikian, menegasikan peran parpol sama saja membunuh demokrasi itu sendiri.
PKB dan Politik Pemberdayaan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan anak kandung reformasi. Pendirian PKB adalah hasil persenyawaan antara semangat politisi yang ingin memberdayakan rakyat dan spirit civil society yang terepresentasi dalam sosok Kyai untuk melayani umat. Kombinasi antara kedua komponen itulah yang menjadikan PKB tetap berdiri tegak meskipun digembleng oleh berbagai tantangan selama enam belas tahun berjalannya reformasi.
Sebab sebagaimana dijelaskan oleh Saifudin (2012), reformasi Indonesia pada 1998 merupakan kelanjutan langkah pengintegrasian perjuangan Islam ke dalam perjuangan nasional dalam konteks demokratisasi jangka panjang di segala bidang kehidupan berdasarkan nilai-nilai keislaman. Pengintegrasian dimungkinkan karena pedoman yang dipakai bukanlah strategi perjuangan politik atau ideologis Islam secara abstrak, melainkan keabsahan-keabsahan menurut khazanah intelektual fikih. Dengan fikih yang terkodifikasi dalam kitab kuning dan menjadi bacaan wajib di pesantren, politik santri mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan negara modern. Ungkapan, mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dapat dipahami sekaligus sebagai mewujudkan cita-cita Islam rahmatan lil-‘alamin. Untuk menjadi muslim yang baik tidak harus menghalanginya untuk menjadi warga negara yang baik. Islam nasionalis sekaligus bisa menjadi nasionalis Islam, dan lain sebagainya.
Dalam konteks inilah PKB, sebagai partai religius nasional memiliki peran strategis untuk mengembalikan hakikat politik sebagai instrumen untuk melayani dan memberdayakan publik dan keumatan.
Dalam catatan historis, pelaksanaan politik pemberdayaan sudah pernah dilakukan oleh para kiyai NU terdahulu, baik di masa pra kemerdekaan Indonesia, ketika NU tergabung dalam Masyumi, ketika NU menjadi partai politik, ketika NU berfusi dengan PPP, maupun ketika NU independen dari kekuatan partai politik manapun, hingga akhirnya NU mendirikan partai baru bernama PKB pada pertengahan tahun 1998.
Sebagai sebuah partai yang diilhami oleh perjuangan NU, maka PKB dalam konteks semnagt reformasi 1998 juga mengambil posisi yang strategis untuk melakukan integrasi nilai-nilai Islam ke dalam perjuangan politik nasional. Tujuannya agar nilai-nilai luhur politik keislaman dan kebangsaan yang selama ini telah diintegrasikan PKB dalam platform politiknya mampu kembali merebut simpati umat sehingga sehingga dapat berkontribusi terhadap kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, kiprah PKB dalam dinamika perpolitikan di Indonesia, masih sangat dinantikan oleh masyarakat. Terlebih, di tengah kondisi kehidupan kebangsaan Indonesia sekarang ini, yang banyak mengalami permasalahan serius, semakin tercerabutnya akar budaya bangsa, terpinggirkannya nilai-nilai moral keagamaan dan terabaikannya hak-hak dasar rakyat.
Meski umur PKB masih “remaja” (17 tahun), namun, catatan historis PKB melalui peran NU dan kiyai di masa lalu telah menjadikan PKB sebagai tumpuan harapan bagi penyelesaian dan solusi permasalahan dinamika sosial politik Indonesia pasca reformasi. Kelahiran PKB yang dibidani oleh kiyai dan NU, secara khusus memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan politik utama warga nahdliyin dalam mengaplikasikan prinsip amar ma’ruf nahi mungkar  sebagai bagian dari ijtihad untuk memberdayakan umat dan melayani rakyat.
Dalam konteks ini, momentum Muktamar PKB yang diselenggarakan di Surabaya akan menjadi arena kontetasi gagasan dan cawan ideologis untuk memantapkan tekad mengembalikan kahikat politik sebagai jalan untuk melayani umat dan memberdayakan rakyat. Tentu cita-cita tersebut tidak mudah. Namun bukan berarti mustahil. Sebab di belakang PKB mengalir dukungan yang datang dari para kyai NU, serta para intelektual dan para aktifis muda NU yang merupakan pelopor “ledakan” intelektual Islam progresif yang berlangsung mulai tahun 1980-an.

                                                 ————————— *** ——————————

Rate this article!
Tags: