Politik Uang Perusak Nilai Demokrasi

Oleh :
Edward Dewaruci, S.H., M.H
Praktisi Hukum dan Konsultan Politik

Politik uang seakan tidak bisa dipisahkan dari setiap gelaran pesta demokrasi, baik tingkat pusat bahkan hingga tingkat desa atau perkampungan. Bahasa “yang penting isi tas” membuat banyak calon yang ‘tidak pede’ dengan kemampuannya sendiri dan menganggap politik uang adalah jalan pintas merebut kursi kekuasaan.

Hal ini tentu berbahaya bagi kelangsungan demokrasi di negara kita. Kenapa? Karena money politics imbasnya adalah berkontribusi dalam melemahkan politisi dan institusi demokrasi. Dengan money politics akan meremehkan, selain kepada pemilih dan politisi, juga terhadap institusi demokrasi. Dimana orientasi kemenangan yang dibayar dengan senilai uang yang seharusnya jauh lebih mahal. Sehingga pemilu tidak dihargai sebagai penyaluran hak warga negara melakukan koreksi kepemimpinan atas kinerja pemerintahan sebelumnya tapi sekedar rutinitas dan para pemilih hanya menunggu pemberian uang atau barang.

Lima Modus Operandi

Ada lima modus operandi Politik Uang

Pertama, transaksi antara elite pemilik modal dengan pasangan calon. Kedua, transaksi pasangan calon terhadap partai politik. Ketiga, transaksi pasangan calon terhadap penyelenggara-penyelenggara pemilu. Hal ini ditandai dengan banyaknya penyelenggara pemilu yang dipecat oleh DKPP. Keempat, transaksi pasangan calon dengan pemilih, dan Kelima, transaksi oknum kepala daerah dengan hakim konstitusi.

Seharusnya tidak boleh ada toleransi sedikitpun terhadap politik uang. Sekecil apapun, politik uang harus diusut tuntas. Jika ada satu kasus pun yang melibatkan calon dan terbukti di mata hukum, maka ia harus didiskualifikasi, ia harus dibatalkan. Jadi kalau kita memandang bahwa politik uang adalah kejahatan luar biasa maka itu harus dimulai dari sana

Politik uang itu perangkap bagi kesengsaraan rakyat. Politisi atau peserta pemilu yang menggunakan politik uang untuk mencapai tujuannya, pada akhirnya hanya akan mementingkan kepentingannya sendiri. Karena motivasi memperoleh kekuasaan jelas untuk kemudahan akses terhadap anggaran negara baik APBN atau APBD. Rakyat sama sekali diabaikan dan tidak diajak untuk sama-sama memperjuangkan agenda kesejahteraan, tetapi diarahkan untuk hanya untuk memudahkan calon terpilih,mengutak atik anggaran yang bersumber dari pajak itu untuk dinikmati sendiri bersama kelompoknya. Karena Calon terpilih akan sibuk selama 5 tahun untuk mengembalikan semua utang dari para bohir/bandar politik. Sehingga, ujung-ujungnya mereka berusaha korupsi.Darimana lagi calon dapat uang kalau tidak korupsi. Dorongan untuk menutup kerugian sangat tinggi akibat Politik uang yang mereka lakukan saat pemilu harus dibayar. Apakah tepat jika kerugian itu rakyat yang harus menanggung kembali? Karena orientasi penyalahgunaan penggunaan APBN/APBD yang terjadi program-program akan jauh dari upaya meningkatkan kesejahteraan. Bahkan ada kemungkinan terjadi banyaknya pungutan liar atau tarikan retribusi yang mengada-ada dan itu akan membuat iklim berusaha makin tidak kondusif membuat harga-harga makin mahal dan menambah beban hidup rakyat.

Rakyat mempunyai peranan yang sangat penting untuk memberantas praktik politik uang ini. Bukan hal yang mudah karena politik uang sudah bertahun-tahun dipraktekkan dengan adanya pemilihan yang bersifat populisme sehingga hanya butuh pencitraan seolah-olah baik. Namun, sebenarnya polanya selalu sama, mereka hanya mengejar kemenangan meskipun dengan menipu rakyat dan setelah itu menyalahgunakan kekuasaannya. Pasangan calon yang kurang berkualitas, pasti mendahulukan politik uang dalam kampanyenya mengemas pemberian uang atau barang dengan maksud membeli suara rakyat. Butuh kesadaran rakyat untuk mau menghukum calon yang melakukan pratek itu dengan menangkap sekaligus melaporkan kepada pihak berwajib seperti polisi dan bawaslu sesuai ketentuan UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 187A

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).

Rate this article!
Tags: