Politisasi Banjir

Foto Ilustrasi

Kegaduhan sosial politik di media sosial (medsos) kembali kambuh, seiring banjir di ibukota negara, Jakarta. Mirip suasana jelang pilkada Jakarta tahun 2017. Berbagai pernyataan menghujat, berbalas pernyataan dukungan, masing-masing dengan emosional tinggi. Tokoh-tokoh politik nasional, dan daerah turut memperkeruh suasana dengan pernyataan sindiran tajam. Bagai adu kekuasaan mengatasi sungai. Walau hasilnya, Jakarta tetap banjir besar.
Bahkan dalam wawancara media main-stream (terutama koran harian, dan televisi) terlontar pernyataan politik praktis. Kegaduhan dimulai bersamaan hujan deras intensitas tinggi. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), men-sigi intensitas hujan mencapai skala 377 milimeter per-hari), lokal, di bandara Halim Perdana Kusuma) di Jakarta. Di lokasi lain, menurut data LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), mencapai 150 milimeter per-hari.
Dua lembaga negara paling kompetensi mengukur hujan, menyatakan, banjir disebabkan curah hujan sangat ekstrem. Itu intensitas hujan tertinggi selama 24 tahun di Jakarta. Serta wilayah sekitar, Tangerang (propinsi Banten), Depok, Bogor, dan Bekasi (Jawa Barat) juga turun hujan lebat. Harus diakui, Jakarta lumpuh sehari, macet total, walau hari bertanggal 1 Januari 2020, sebagai libur awal tahun.
Pada area langganan banjir, luapan air merendam permukiman sampai setinggi 2 meter. Sebanyak 36 ribu jiwa mengungsi. Berdasar data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), korban jiwa di kawasan Jabodetabek mencapai 67 orang. Siapa tak miris? Sedangkan korban materi tidak terhitung. Namun diperkirakan sekitar Rp 10 trilyun.
Kerusakan barang-barang perlengakapan rumahtangga yang terendam air, sampai mobil mewah yang terbawa arus air. Juga perkantoran bisnis yang tutup operasional sejak awal tahun 2020. Berdasar kompilasi laporan asuransi, sekitar 3 ribu polis harta benda mencapai Rp 1,08 trilyun. Sedangkan asuransi kendaraan bermotor dengan 3.300-an polis senilai Rp 147 milyar. Klaim terbesar diajukan oleh sektor properti komersial, berupa pabrik, dan pergudangan.
Kerugian properti komersial mencapai Rp 770 milyar lebih pada seluruh kawasan terdampak di Jabodetabek. Tidak dapat dianggap sepele, karena sesungguhnya kerugian lebih besar tidak nampak. Antara lain, warung makan berkait pula dengan perdagangan. Dalam beberapa hari pasca banjir Jakarta, sektor usaha mikro dan kecil, masih tutup usaha. Antara lain, warung makan, dan seluruh toko bahan pangan.
Pembicaraan pejabat publik hanya berkutat pada sumber luruhan air, dari arah atas (kawasan Puncak, di Bogor). Serta debat tentang naturalisasi, atau normalisasi. Padahal seluruh pihak telah memahami. Bahwa banjir Jakarta, wajib ditangani melalui program perbaikan lingkungan hulu, dan melancarkan aliran air sampai ke muara teluk Jakarta. Ironisnya, debat mengarah pada adu kuasa.
Padahal telah terdapat patokan kerja, berdasar UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalamnya Lampiran tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, dan Daerah Kabupaten/Kota. Pada Sub-Urusan Sumber Daya Air, UU telah merinci kewenangan (dan kewajiban) menata sungai.
Perdebatan diikuti masyarakat di medsos. Bukan hanya di Jakarta, melainkan me-nasional. Nama Gubernur DKI Jakarta, paling sering disebut (sebanyak 73 ribu lebih buzz), berkait kinerjanya menghadapi banjir. Komplet, dalam dua kelompok buzz diametral berlawanan penilaian. Perusahaan media inteligence Isentia, mencatat perbincangan di medsos terkait banjir Jabodetabek, sebanyak 241 ribu lebih, dalam sepekan.
Merespons banjir, seyogianya mengukuhkan kinerja urusan sungai, sesuai kewenangan. Terutama memperbaiki sistem peringatan dini yang disesuaikan dengan perhitungan curah hujan. Pejabat pemerintah (dan daerah) seharusnya tidak memancing perdebatan publik di medsos, tetapi lebih banyak bekerja.
——— 000 ———

Rate this article!
Politisasi Banjir,5 / 5 ( 1votes )
Tags: