Polri Wajib “Punya Hati”

Citra Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sedang melorot ke titik terendah. Berturut-turut menghadapi perwira tinggi (Jenderal), dan perwira menengah terlibat tindak pidana dengan pemberatan. Banyak perwira Polri tidak profesional. Serta banyak petinggi Polri berlaku bagai penjahat. Cukup mencemaskan visi Polri sebagai penegak hukum, dan pengayom masyarakat. Sehingga presiden perlu memberi briefing khusus kepada petinggi Polri.

Seluruh Jenderal, seluruh Kapolda, dan Kapolres se-Indonesia dipanggil ke istana negara. Rombongan perwira menengah dan perwira tinggi Polri ke istana, bagai “siswa baru” dengan pembawaan sederhana. Tanpa penutup kepala, tanpa tongkat komando. Juga tanpa ajudan. Serta dilarang membawa HP, tetapi harus membawa alat tulis (agar seksama mendengar, dan mencatat briefing presiden). Pengarahan diikuti 559 personel Polri. Terdiri dari 24 pejabat utama Mabes Polri, 33 Kapolda, dan 400 Kapolres.

Tema utama pengarahan presiden, adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Kepolisian RI. Harus diakui dalam waktu beberapa bulan, citra (kepercayaan publik) Polri merosot. Terutama disebabkan kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua Hutabarat. Nyata-nyata Polri) belum berhasil lolos dari jebakan internal affairs. Karena kasus-nya berkembang menjadi perlindungan (sekelompok oknum) terhadap kejahatan.

Berbagai pengumuman hasil penyelidikan bersaing ketat dengan “fakta versi medsos.” Ironisnya, Polri masih kalah pamor dibanding medsos (media sosial). Bahkan medsos lebih cepat menemukan dalang pembunuh Brigadir-nya. Serta dengan logika akal sehat, medsos juga menolak kemungkinan pelecehan seksual, sebagai motif pembunuhan. Polri perlu menimbang fakta versi medsos yang telah beredar saat ini.

Juga terdapat unggahan medsos, tentang “Konsorsium 303,” yang menyebut Kaisar Sambo. Banyak disebut nama perwira lain. Walau tidak seluruhnya benar, namun bisa menjadi “skenario” yang tidak menguntungkan Kepolisian RI. Belum pulih benar kepercayaan masyarakat, sudah ditambah dengan tragedi stadion Kanjuruhan, Malang. Jajaran Polri saat ini menjadi “tertuduh utama” karena penggunaan gas air mata di dalam stadion (dilarang berdasar peraturan FIFA). Tetapi Polri tidak pernah menerima pembekalan larangan FIFA.

Berdasar temuan TGIPF (Tim Gabungan Independen Pencari Fakta), gas air mata menjadi penyebab utama banyaknya korban jiwa (132 orang meninggal) dalam kerusuhan di stadio Kanjuruhan (1 Oktober 2022) di Malang. Hingga kini tragedi Kanjuruhan masih akan “berburu” tersangka lain. Cerita internal affairs Polri belum selesai. Yang terbaru, ditambah dengan kasus seorang Inspektur Jenderal dan bakal promosi menduduki Kapolda Jawa Timur, terendus diduga menjual barang bukti, berupa sabu-sabu. Melibatkan personel perwira Polri yang lain.

Maka benar presiden memanggil mendadak seluruh pejabat Polri. Pengarahan presiden, segenap personel Polri diperintahkan aktif memperbaiki citra Polri. Mengangkat kembali kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Sesungguhnya selama dua tahun masa pandemi Polri cukup cemerlang mengawal penanganan CoViD-19, dan wabah penyakit mulut dan kuku (PMK). Polri terlibat paling aktif menegakkan protokol kesehatan. Juga mengawal bantuan sosial, dan vaksinasi ke seluruh pelosok negeri.

Citra Polri benar-benar dipertaruhkan pada berbagai kasus pelanggaran etika, dan tidak professional. Padahal Polri memiliki panduan, berpayung UU Nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian RI. Pada pasal 19 ayat (1), diperintahkan: “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.”

Polri wajib memiliki sense of crisis (punya hati). Serta harus berupaya keras meneguhkan tekad menuju jargon “Presisi.” Terutama mengikis romantisme korps yang gampang disusupi mensrea (niat jahat).

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: