Posisi Korban dalam Kejahatan Kerah Putih

Oleh :
Dr Lia Istifhama, SHI, MEI
Aktivis dan Advokat Ubi societas, ibi jus (Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum).

Salah satu adagium hukum tersebut selalu menarik dikaji mengingat persoalan hukum memang disebabkan interaksi sosial yang diselewengkan dengan pihak tertentu untuk merugikan pihak lainnya. Dan pertanyaan yang muncul berikutnya, apakah setiap lapisan masyarakat memahami setiap implikasi hukum yang berpotensi terjadi dalam hidupnya?

Banyak kasus yang relevan untuk menjelaskan fenomena semacam itu. Beragam kasus hukum acap terjadi di tengah masyarakat karena ketidaktahuannya atau ketidakjeliannya atas perkara-perkara hukum. Bahkan, tidak sedikit kasus yang menempatkan masyarakat biasa pada posisi sebagai pihak yang dirugikan atas sebuah kejahatan, ternyata dipanggil di pengadilan sebagai tergugat.

Fakta inilah yang menjadi penting untuk dikaji bersama, tentang potret nyata terjadinya kejahatan yang menjadikan penjahat seolah-olah bukan penjahat. Atau secara sederhana, sebut saja dengan istilah penjahat kerah putih.

Dilihat dari segi pelaksanaannya, kejahatan kerah putih merupakan kejahatan terorganisir yang memiliki sistem dan perencanaan serta keahlian dalam melakukan kejahatan. Tentunya, melibatkan dua orang atau lebih yang kesemuanya memiliki peran saling mendukung tindakan kejahatan tersebut. Umumnya, kejahatan kerah putih terkait perkara penipuan melalui perikatan utang piutang maupun jual beli, dan perkara korupsi.

Kecerdasan yang menjadi soft skill suksesnya kejahatan kerah putih, menjadikan kejahatan ini tidak mudah ditumpas. Namun setidaknya, penting untuk turut mendukung upaya preventif berkembangnya kejahatan tersebut, yaitu dengan memberikan pemahaman secara lengkap pada masyarakat tentang potensi kejahatan yang merugikan mereka.

Pertama adalah dengan memahami definisi perilaku kejahatan, bahwa secara perspektif moral, sebuah perilaku dapat disebut kejahatan jika memiliki 2 faktor, yaitu mens rea (adanya niatan melakukan perilaku), dan actus reus (perilaku terlaksana tanpa paksaan dari orang lain).

Kedua adalah pengklasifikasian pelaku dan korban. Bahwa pelaku adalah orang yang melakukan tindakan melanggar hak dan kesejahteraan hidup seseorang, sedangkan korban adalah orang yang terlanggar hak dan kesejahteraannya.

Dari sini, perlu diketahui bahwa seseorang tidak serta merta dapat dianggap sebagai korban hanya karena ia merasa tidak mendapatkan haknya, namun di sisi lain, justru ia yang secara sadar telah melanggar hak orang lain.

Definisi korban juga harus dipahami secara utuh oleh masyarakat agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam situasi yang menjadikan mereka korban kejahatan. Dalam perspektif viktimologi, korban kejahatan memiliki tipologi sendiri, yaitu tingkat kerentanannya (victims culpability), tingkat hubungan dengan pelaku kejahatan yang berkontribusi pada terjadinya kejahatan yang menimpa dirinya (victims precipitation) dan tingkat kealpaan korban (victims culpability).

Dijelaskan oleh Hans Von Hentig (1948), bahwa kontribusi korban terhadap kejahatan sedikit banyak berasal dari kondisinya yang sudah ‘given’, alias dia tidak punya kekuasaan untuk mengontrolnya. Dalam hal ini, korban memiliki kerentanan (vulnerability) sehingga potensial menjadi korban kejahatan.

Selain anak-anak, ada tiga belas kelompok menurut Von Hentig yang rentan menjadi korban kejahatan, antara lain: (1) remaja; (2) perempuan; (3) orang tua/ lansia; (4) orang dengan keterbelakangan mental: (5) imigran; (6) minoritas (7) orang yang berpikiran pendek; (8) orang yang depresi; (9) orang yang serakah; (10) orang yang senang menyendiri dan tertutup; (11) orang yang zalim dan senang menyiksa; (12) orang yang asusila/ ceroboh; dan (13) orang yang dikucilkan.

Jika kejahatan seksual banyak dialami oleh anak-anak, remaja, perempuan, dan orang dengan keterbelakangan mental, maka kejahatan yang dilakukan kerah putih, umumnya dilakukan terhadap orang yang sudah tua usianya dan orang yang berpikiran pendek. Tentu, pihak yang kemudian menjadi korban, sangat tidak elok mendapatkan stereotype negative, melainkan, situasi yang kurang menguntungkan bagi mereka, itulah yang kemudian menjadi celah pelaku kejahatan untuk melakukan tindakan yang merugikan korban.

Kejahatan kerah putih, yang menjadi point of view tulisan ini, tentu tidak dalam bentuk tindakan korupsi. Melainkan kejahatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan menjadikan masyarakat biasa sebagai korban dalam sebuah ikatan bisnis. Sebagai contoh, masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi, kemudian memiliki pikiran pendek untuk mencari utang piutang kepada orang lain tanpa mempertimbangkan asas kehati-atiannya saat terlibat perikatan. Potret inilah yang kemudian menjadi perhatian penting kita semua, yang tentunya tidak ingin berkembangnya kejahatan yang merugikan masyarakat, terlebih menengah bawah.

Menumpas kejahatan kerah putih bukanlah perkara mudah, namun bukan mustahil untuk dilakukan. dengan uraian diatas mengenai kerentanan korban, maka penting bagi kita untuk memberikan pemahaman hukum yang kuat bagi masyarakat yang berada dalam kelompok kerentanan tersebut. Sebagai contoh adalah pemahaman tentang perundang-undangan.

Hal ini penting karena tidak sedikit masyarakat yang seyogyanya dirugikan akibat terlanggarnya hak mereka, namun kemudian disudutkan seolah-olah sebagai pelaku, yaitu digugat secara hukum.

Beragam kasus tersebut sangat mudah ditemui, di Pengadlan Negeri Surabaya misalnya, tidak sedikit masyarakat biasa dipanggil sebagai tergugat dalam hal sita jaminan. rata-rata masyarakat tersebut dianggap telah menjual tanah dan bangunan sehingga digugat untuk segera meninggalkan hunian yang menjadi tempat tinggalnya tersebut.

Sangat disayangkan tentunya, jika kemudian masyarakat yang tidak bersalah, lantas dianggap melakukan wanprestasi dan diwajibkan menyerahkan tanah dan bangunan, sedangkan mereka tidak merasa telah melakukan perikatan jual beli.

Secara logika, mereka merupakan korban penipuan atau tipu muslihat, namun pada kenyataannya, tidak sedikit yang kemudian kehilangan aset berharganya akibat perikatan atau persetujuan yang dianggap telah menjerat mereka. Sedangkan, menarik kemudian untuk mencermati Pasal 1328 KUHPerdata, yang berbunyi: “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan”.

Penipuan sendiri, masuk ke dalam bidang hukum pidana (delik pidana) (ps. 378 KUHP). Seseorang dikatakan melakukan penipuan apabila ia dengan melawan hak, yaitu bisa dicontohkan dengan: memakai nama palsu, perkataan-perkataan bohong, dan sebagainya.

Penipuan inilah yang kemudian mampu mengubah fakta sehingga korban yang dirugikan, dianggap tidak mampu melunasi kewajibannya sehingga disebut wanprestasi. Sedangkan, tidak sedikit penjahat kerah putih yang melakukan penipuan sehingga korban hanya dibebankan kewajiban tanpa memiliki hak, bahkan atas hak milik korban sendiri.

Menyikapi potret kejahatan kerah putih nyata yang secara terjadi di masyarakat, mungkin kita bertanya tentang seberapa rendahnya pemahaman masyarakat terhadap hukum sehingga mereka menjadi posisi given untuk menjadi korban?

Disinilah kemudian kita dihadapkan pada adagium hukum bahwa Ignorantia excusatur non juris sed facti – ketidaktahuan akan fakta-fakta (kejadian) dapat dimaafkan, tapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum.

Adagium tersebut tentu tidak salah, dan merupakan fakta normatif tatkala masyarakat dianggap mengetahui hukum, yaitu bahwa tindakan kejahatan wajib menuai hukuman. Namun, pertanyaan yang tidak dapat diabaikan adalah: Apakah masyarakat memahami adanya kejadian atau peristiwa yang berpotensi memberikan kerugian bagi mereka?

Karena ketidakpahaman inilah yang membuat mereka berpotensi menjadi korban atas kejahatan kerah putih, yang dalam tahapan berikutnya, masyarakat yang menjadi korban, dapat diputarbalikkan seola-olah pelaku kejahatan yang dianggap bersalah sehingga dibebankan hukuman atas tindakannya.

Pada akhirnya kita pun bermuara pada salah satu asas hukum yang paling terkenal, yaitu In Dubio Pro Reo, bahwa “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Bahwa seyogyanya hukuman tidak menjadikan pihak yang tidak bersalah, terlebih merekalah yang merupakan korban, sebagai pihak yang dihukum.

——- *** ——–

Tags: