Posisi KPK dalam Dilema

Najamuddin Khairur RijalOleh:
Najamuddin Khairur Rijal
Pengajar Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipuji juga dicaci. Ia disanjung, juga dikritik. Ditinggikan, juga direndahkan. Lembaga hukum yang bertugas memberantas korupsi itu dicintai publik, tetapi pada sisi lain juga dibenci oleh sebagian orang. Begitulah, siapa pun memang akan selalu berada pada posisi paradoksal dan persimpangan dilematis.
Berbicara tentang pemberantasan korupsi, berbicara tentang masa depan bangsa. Sebab, belakangan Indonesia dikenal sebagai negara yang cukup korup. Meskipun peringkat indeks persepsi korupsi meningkat, tapi faktanya posisi Indonesia sebagai negara korup di dunia tetap stagnan. Korupsi kini menjadi patologi kebangsaan. Semakin hari kondisinya semakin kronis, parah, dan memprihatinkan.
Korupsi sangat lekat dengan power (kekuasaan), apapun bentuknya. Dan, kekuasaan itu cenderung korup, apalagi kekuasaan yang absolut. Demikian kata Lord Acton, bahwa “Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely.” Namun dalam konteks keindonesiaan, korupsi tidak lagi berbicara tentang kekuasaan yang absolut. Sebab, pada semua jenjang dan level kekuasaan kasus korupsi bisa ditemukan, baik skala kecil hingga besar.
Perilaku korupsi hampir rata menyebar ke semua lini dan jenjang. Mulai dari bupati, walikota, hingga gubernur banyak yang tersangkut kasus korupsi. Juga jajaran birokrat pemerintahan di berbagai kementerian, departemen, lembaga, atau dinas. Belum lagi para wakil rakyat di semua level, mulai daerah, provinsi, hingga pusat. Demikian juga para menteri dan jajarannya. Bahkan pada institusi penegak hukum, hakim, jaksa, atau polisi juga tidak terlepas dari kasus yang sama.
Sistem ketatanegaraan Indonesia memberikan tugas pemberantasan korupsi kepada KPK. Tugas suci dan mulia itu kemudian menjadikan KPK hampir sebagai satu-satunya institusi penegak hukum yang masih bisa diharapkan dan mendapat kepercayaan publik. Pasalnya, lembaga penegakan hukum lain seperti kepolisian, kehakiman dan peradilan juga terseret kasus korupsi.
Karena tugas suci itu, KPK kemudian banyak disanjung publik. KPK mendapatkan dukungan yang luar biasa dari rakyat Indonesia. Terlebih dengan kesuksesan KPK membongkar dan mengusut praktik korupsi di banyak lembaga dan jenjang pemerintahan. Bahkan menyeret orang-orang “besar” yang tersangkut mega skandal korupsi, mulai menteri, anggota DPR RI, hingga petinggi partai politik. Jika mau dirinci, kita bisa merunut daftar yang sangat panjang.
Prestasi-prestasi itu kemudian menambah kepercayaan diri KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK seolah menemukan dirinya menjadi sangat perkasa dan disegani. Hingga kemudian semua “ditebang,” tanpa panda bulu. Publik pun menaruh simpati yang luar biasa. Kepercayaan diri KPK itu menjadikan media massa diwarnai oleh pemberitaan tentang pemberantasan korupsi dari hari ke hari. Rakyat bersorak, KPK terus bertindak.
Hingga pada titik di mana tindakan KPK dinilai sangat kuat dan perkasa, pada titik itu pula KPK banyak menuai kritik dari beragam pihak. Pihak yang mengkritiknya bukan rakyat yang tadi bersorak memujinya, melainkan para politisi dan pemikir hukum, dengan berbagai alasannya. Dalam beberapa kasus penahanan, penangkapan, penyidikan, penyelidikan, penggeledahan, penyadapan, dan lainnya KPK dikritik. Katanya, dalam beberapa kasus KPK menyalahi aturan. Tidak mengindahkan standar operasional prosedur, misalnya.
Pada beberapa kasus, KPK dinilai menegakkan hukum dengan cara-cara yang sebenarnya melanggar hukum secara etika dan normatif. Maka terjadilah apa yang dinamakan dengan “tirani itikad baik.” Tirani itikad baik dimaknai sebagai upaya pemberantasan korupsi yang bersifat tiran. Pemberantasan korupsi itu adalah itikad baik, bahkan sangat baik. Tetapi, cara yang dilakukan itu menampilkan cara-cara tiran. Antara lain, dengan melanggar hak asasi manusia dan menyalahi ketentuan hukum yang telah tertuang dalam kitabnya.
Pada satu sisi, KPK dipandang otoriter. KPK menjelma menjadi lembaga negara superbody yang sangat kuat, tidak ada yang mengontrolnya. Karena itu, ia bisa bertindak seenaknya saja, meski dalam kaca mata hukum tindakan itu sejatinya tidak sejalan. Konsekuensinya kemudian adalah munculnya keinginan untuk merevisi Undang-Undang (UU) KPK.
Ironisnya, ketika muncul upaya untuk memperbaiki UU KPK, lahir suara sinis publik. Para penggiat anti korupsi ramai-ramai menghujat DPR sebagai pemilik kewenangan membuat dan mengubah UU. Katanya, revisi UU KPK berpotensi melemahkan kekuasaan dan membatasi kewenangan KPK. Mengubahnya berarti tidak berpihak pada upaya pemberantasan korupsi. Yang mau mengubahnya berarti pro korupsi dan pro koruptor, atau bahkan koruptor itu adalah dirinya sendiri.
Semua menjadi abu-abu. Ketika KPK menjadi lembaga superbody yang tak satu pun kekuasaan mengontrolnya, ia dikritik. Ketika aturan hukum yang mengaturnya mau disesuaikan dengan kritik itu, publik marah dengan dalih melemahkan KPK. Jadilah kita hanya berdebat dan sibuk saling tuding, sementara tindakan korupsi di luar sana juga semakin berkembang, massif, dan kian parah. Lalu, sebenarnya harus apa dan bagaimana? KPK dalam dilema.
Meski begitu, posisi dilematis itu tidak boleh menyurutkan semangat pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi harus tetap dan terus berjalan. Jika tidak, akan semakin banyak tindak korupsi yang tidak terungkap, dan rakyat akan kian sengsara. Tetapi juga, mengungkapnya semakin menemukan kebobrokan sistem politik negara dan negara itu sendiri. Lalu, kita harus bagaimana? Paling tidak, dimulai dari diri sendiri, bahwa korupsi itu musuh, harus dilawan!

                                                                                                         ————- *** ————-

Rate this article!
Posisi KPK dalam Dilema,5 / 5 ( 1votes )
Tags: