Potensi Besar, Sayang Kepedulian Pemerintah Kurang

 Aktivitas salah satu perajin marmer di Desa Besole. Para perajin marmer di Tulungagung merasa tak mendapat perhatian dari pemerintah untuk mengembangkan usahanya.


Aktivitas salah satu perajin marmer di Desa Besole. Para perajin marmer di Tulungagung merasa tak mendapat perhatian dari pemerintah untuk mengembangkan usahanya.

Kabupaten Tulungagung, bhirawa
Nama Tulungagung sebagai penghasil marmer telah membuat citra daerah ini semakin berkembang, tidak hanya di daerah sekitar Jatim tapi juga ke beberapa negara.  Sayangnya, masih moncernya penjualan marmer saat ini tak sebanding dengan nasib perajinnya. Mereka merasa tak mendapat dukungan optimal dari pemerintah setempat.
Sejumlah pengusaha dan perajin batu marmer di Kecamatan Campurdarat Kabupaten Tulungagung mengharapkan perhatian pemerintah daerah setempat dalam membina industri kerajinan bertaraf internasional tersebut.
Seorang pemilik usaha kerajinan mozaik berbahan batu marmer di Desa Campurdarat, Kecamatan Campurdarat, Sugeng  mengatakan, selama ini mereka menggeluti usaha secara mandiri tanpa campur tangan pemerintah daerah. “Jangankan mendapat bantuan modal usaha, untuk sekadar sosialisasi dan pembinaan pun nyaris tak pernah dilakukan Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat,” katanya akhir pekan kemarin.
Akibatnya, para pelaku industri kerajinan marmer, mulai dari tingkat hulu hingga hilir di Kecamatan Campurdarat dan Besole yang berjumlah ratusan bahkan seribu unit lebih tak pernah terorganisasi secara rapi. “Setahu saya memang tidak ada organisasi resmi, dulu ada tapi sekarang sudah buyar. Pemerintah daerah juga terkesan abai terhadap geliat industri kecil di daerah ini,” kritik Sugeng.
Ia sempat menunjukkan ragam usaha kerajinan batu marmer, mulai dari proses penambangan, pengangkutan, penggergajian atau pemotongan, pengolahan bahan menjadi aneka ragam produk kerajinan marmer, hingga pengepakan barang sebelum dijual ke pedagang besar.
Menurut dia, proses produksi aneka kerajinan baru marmer sehingga memiliki daya jual tinggi untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor, melibatkan banyak sektor dan lini usaha sehingga menyerupai mata rantai dengan pola saling terikat satu sama lain.
“Dari sekian pelaku usaha yang terlibat, tentu tidak semua memiliki modal dan omzet besar. Mayoritas justru memiliki kapasitas sedang dan kecil sehingga tetap membutuhkan perhatian pemerintah,” kata Jarot, pengusaha batu marmer mozaik lain menimpali.
Padahal, volume produksi aneka kerajinan marmer dan mozaik di wilayah Tulungagung selatan ini sangatlah besar. Dalam sehari, menurut estimasi Sugeng, volume produksi marmer di daerahnya bisa mencapai 30-an kontainer. Dengan asumsi satu kontainer bernilai omzet Rp 150 juta, maka perputaran uang dalam industri kerajinan marmer di Tulungagung bisa mencapai Rp 4,5 miliar. “Itu baru asumsi untuk omzet produksi dari industri kelas menengah dan kecil yang tersebar di wilayah (Kecamatan) Campurdarat dan Besole,” kata Sugeng.
Jika digabung dengan industri besar lain seperti PT IMIT dan sebagainya, omzet produksi di kawasan ini bisa jauh lebih besar lagi. Sumber di Disperindag Kabupaten Tulungagung mengatakan, minim atau bahkan tidak adanya pembinaan dari pemerintah disebabkan banyaknya pelaku usaha yang menggeluti bisnis marmer di daerah tersebut.
Selain itu, ada kecenderungan pelaku usaha kerajinan marmer untuk berinteraksi langsung dengan jaringan pembeli mereka tanpa melibatkan Dinperindag untuk alasan efisiensi.
“Mereka sendiri yang tidak mau diorganisir. Dulu sudah pernah dibentuk paguyupan, tapi tidak bisa eksis. Mungkin karena para perajin ini mengurusi produksi dengan omzet ratusan juta rupiah sehingga karakternya lebih pragmatis,” ujar petugas Disperindag Tulungagung. [geh]

Tags: