Potensi Dana Sosial Haji

Dr H. Darmadi, MM, MM.Pd., MSiOleh:
Dr H. Darmadi, MM, MM.Pd., MSi
Pegawai Fungsional Guru pada Kantor Kemenag Kab.Lampung Tengah, Dosen STKIP Kumala Lampung.

Gelombang pemberangkatan jama’ah haji tahun 2014 sudah dimulai. Sementara, cita-cita sebagian calon jama’ah haji untuk menunaikan rukun Islam ke-5 tahun ini terpaksa urung. Hal ini bukan karena ONH-nya masih kurang/belum lunas, tetapi karena sejak musim haji tahun lalu ada pengurangan kuota 20%  oleh pemerintah Saudi Arabia dari kuota yang sudah ditetapkan,  dampak dari lehabilitasi Masjidil Haram, sehingga ribuan calon jama’ah haji terpaksa harus antri lagi/masuk daftar tunggu untuk diberangkatkan tahun depan. Padahal, mungkin mereka sudah mencetak surat undangan tasyakuran, namun batal dibagikan. Kain ihram yang sudah dibeli beberapa bulan yang lalu terpaksa harus disimpan kembali dalam lemari. Sanak saudara yang berencana akan ikut mengantarkan ke asrama haji pun harus diberi kabar, tentang tertundanya keberangkatan hajinya tahun ini. Padahal seluruh persyaratan syari’ah sesuai dengan petunjuk kitab Fiqih telah terpenuhi. Sambil merenungkah hikmah di balik ketertundaan itu, dalam hati, penulis bergumam: “Jadi, istitha’ah fardiyah (kemampuan individual) saja tidak cukup. Tapi, masih ada istitha’ah yang lain, termasuk istitha’ah makani (kemampuan daya tampung) di tempat pelaksanaan haji di Kota Mekkah”.
Inilah mungkin yang dinamakan fleksibilitas hukum fiqhiyah dalam ajaran Islam. Selain bersifat lokal, juga terbuka terhadap kemungkinan perubahan situasional. Ketentuan suatu amal ibadah dapat bertambah ataupun berkurang. Dapat bertambah, seperti halnya ketentuan istitha’ah (mampu) dalam kasus antrian ibadah haji. Dapat berkurang, seperti halnya rukhsah (keringanan) bagi pelaku ibadah yang karena suatu hal dapat mengesampingkan suatu ketentuan. Misalnya, ketentuan berwudlu, salah satunya, menyebutkan harus membasuh tangan sampai ke siku, tetapi, bagi mereka yang sedang sakit luka misalnya, ketentuan itu dapat berkurang.
Lalu, bagaimana dengan halnya kasus haji seperti yang di alami para calon jama’ah haji yang tertunda keberangkatannya tahun ini? Persoalan utamanya adalah karena terlalu banyaknya orang Islam yang menunaikan ibadah haji. Kenyataan seperti ini tentu saja tidak pernah terjadi pada zaman Nabi sehingga Nabi pun tidak merumuskan ketentuan khusus yang mengatur pelaksanaan ibadah haji jika sewaktu-waktu diikuti oleh jama’ah yang melimpah. Saya tidak bisa membayangkan, ketentuan yang kira-kira akan difatwakan Nabi ketika Nabi tahu bahwa jama’ah haji yang datang melebihi kemampuan daya tampung tempat pelaksanaan ibadah itu.
Beberapa tahun terakhir ini, jumlah pendaftar haji memang terus meningkat. Ada banyak faktor yang bisa diduga menyebabkan jumlah itu terus meningkat. Pertama, tentu saja, karena kesadaran beragama masyarakat yang semakin meningkat. Kedua, karena ibadah hai bukan hanya mensyaratkan kesehatan fisik serta pengetahuan yang memadai tentang tata cara peribadahan tersebut, tetapi juga mensyaratkan kemampuan pembiayaan, bisa diduga bahwa peningkatan jumlah jama’ah haji itu salah satu indikator meningkatnya kesejahteraan ekonomi masyarakat Muslim. Meskipun besarnya ONH terus meningkat, jumlah pendaftarnya pun terus meningkat. Itulah sebabnya, dalam ajaran Islam, ibadah haji termasuk kategori ibadah maliyah. Artinya, ibadah yang yang berdimensi maliyah, yaitu ibadah bergantung pada aspek ketersediaan harta kekayaan. Jadi, konsekuensi ketaatannya adalah bahwa semakin banyak penganut Islam yang kaya, semakin meningkat pula jumlah jama’ah yang menunaikan ibadah haji. Sejalan dengan dugaan itu, saya kira, ada hubungan positif yang signifikan antara aspek-aspek: kesadaran beragama, kekayaan yang dimiliki, dan jumlah jama’ah haji.
Pertanyaannya sekarang adalah, jika dugaan-dugaan tersebut benar, apakah hal itu otomatis akan berimplikasi pada semakin meningkatnya kualitas umat secara keseluruhan? Sebab ada ketentuan dalam Islam yang mengatur akumulasi dan distribusi kekayaan. Kekayaan seseorang, dalam pandangan Islam, pada hakekatnya bukan merupakan miliknya pribadi, tetapi merupakan amanah yang sebagian kecilnya harus didistribusikan kepada orang lain yang berhak menerimanya. Dengan kata lain, jika secara individual kenyataan memperlihatkan suasana beragama yang semakin meningkat, idealnya peningkatan itu harus diikuti oleh perbaikan iklim sosial yang lebih baik. Kesadaran beragama baru dikatakan sempurna bila telah dilengkapi kesadaran sosial yang seimbang. Sebab, agama merupakan kesatuan utuh dua sisi yang saling mempengaruhi: sisi spiritual dan sisi sosial. Bukankah tidak sah haji seseorang bila ia masih dililit hutang atau masih ada tetangganya yang menangis kelaparan?
Kesemarakan beragama yang dipresentasikan dalam bentuk ibadah-ibadah ritual formal saat ini masih kurang (untuk tidak mengatakan belum) mencerminkan semakin bergairahnya umat dalam melaksanakan ibadah sosial. Perbaikan kualitas ibadah individual belum diikuti oleh perbaikan kualitas ibadah sosial. Hanya karena mampu membayat ONH, misalnya, seseorang bisa pergi haji lebih dari satu kali. Dengan niat kenyamanan beribadah, seseorang bisa memilih ONH-Plus dengan segala kemudahan yang melekat padanya. Berziarah ke tempat-tempat bersejarah di Mekkah dan Madinah pun kini menjadi ibadah tahunan yang selalu dilaksanakan. Seakan-akan hal itu telah menjadi kewajiban selama memiliki kekayaan. Padahal, seperti dijelaskan kitab-kitab fiqih, hukum wajib haji itu hanya berlaku satu kali. Akan tetapi, mengapa banyak sekali orang menunaikan ibadah haji lebih dari satu kali, hanya karena alasan yang sifatnya sangat personal. Apa sebetulnya makna di balik kewajiban yang hanya satu kali itu? Mengapa syari’at tidak mewajibkan berkali-kali selama masih bisa ditempuh?
Bila semuanya menyadari bahwa kewajiban itu hanya satu kali, tidak bakal terjadi kasus kelompok “waiting-list”. Mungkin, banyak di antara jama’ah yang terjerat daftar tunggu (waiting-list) adalah jama’ah yang baru akan menunaikan ibadah haji satu kali, jama’ah yang sebelumnya belum pernah menginjakkan kakinya di tanah suci. Sebaliknya, mungkin banyak pula di antara jama’ah yang bisa berangkat tahun ini adalah jama’ah yang sudah berkali-kali pergi haji, jama’ah yang telah menunaikan kewajibannya yang hanya diwajibkan satu kali.
Jadi, hukum haji yang diwajibkan hanya satu kali itu, dalam kasus semakin membanjirnya calon jama’ah haji dari Indonesia, mengandung hikmah untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang belum pernah, sekaligus ikut memperpendek daftar tunggu, atau bahkan menghapuskannya sama sekali (meski kemungkinannya sangat kecil). Tidak perlu pergi berkali-kali meskipun memang mampu menebus ONH, berapapun harganya.
Adapun kekayaan yang ditargetkan untuk membayar ONH dapat digunakan untuk menunaikan kewajiban ibadah “maliyah” lainnya. Sebab, masih banyak bentuk ibadah sosial yang membutuhkan sektor materiil. Misalnya, ibadah mengangkat citra umat yang lemah melalui usaha peningkatan kualitas pendidikan mereka, seperti melalui pemberian dana beasiswa atau semacam bantuan modal bagi para pengusaha kecil yang nasibnya di antara hidup dan mati. Bahkan, Islam mengajarkan kepada kita bahwa derajat orang-orang yang selalu peduli terhadap lingkungannya asalah sama derajatnya dengan orang-orang beriman. Al-Qur’an surat Al-Mujadalah ayat 11 memberikan contoh tentang orang-orang yang peduli terhadap dunia ilmu, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. Karena itu, bila haji merupakan salah satu ciri orang beriman, dan bila membangun sekolah dianggap sebagai ciri orang yang cinta ilmu pengetahuan, kedudukan orang yang menggunakan hartanya untuk haji akan sama dengan orang yang membelanjakan kekayaannya untuk kepentingan pendidikan.
Kaidah fiqhiyah menyatakan bahwa menyediakan fasilitas untuk terlaksananya suatu kewajiban adalah wajib hukumnya. Ibarat membuat kain penutup aurat menjadi wajib hukumnya bila dimaksudkan untuk keperluan menunaikan kewajiban shalat yang memang harus menutup aurat. Dengan kata lain, wajib hukumnya membangun fasilitas pendidikan karena hal itu dimaksudkan untuk menunjang kegiatan menuntut ilmu pengetahuan yang memang diwajibkan oleh Islam. Bahkan, jika tidak keliru, dalam Al-Qur’an isyarat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan jauh lebih baik daripada isyarat yang berkaitan dengan ibadah haji.
Lalu, bagaimana cita-cita memajukan pendidikan itu bisa terlaksana? Dalam kaitan dengan pelaksanaan ibadah haji kedua, ketiga, dan seterusnya, penulis punya angan-angan. Kita bisa membuat  kalkulasi yang cukup rasional. Misalnya, dari sekitar 200.000-an orang jama’ah haji Indonesia pada tahun ini terdapat 50.000 orang diantaranya telah menunaikan kewajiban ibadah haji, jika besaran ONH pada tahun ini anggaplah 35 juta, akan terkumpul dana sebesar Rp.2.500.000.000.000. Subhanallah, besar sekali potensi dana ibadah sosial umat Islam ini.
Inilah barangkali di antara hikmah syari’at mengapa kewajiban haji itu hanya satu kali sehingga dari dana yang mungkin dapat terkumpul setiap tahun, umat akan memiliki sejumlah madrasah yang mewah, pesantren dan masjid yang representatif, rumah sakit yang memadai, serta sekolah-sekolah Islam dengan fasilitas belajar yang lengkap, dan ribuan orang anggota “waiting-list” tetap akan jadi pergi haji.
Dari sini, terbentanglah satu perenungan ijtihad bahwa, bila orang-orang yang sudah lebih dari satu kali menunaikan ibadah haji mengeluarkan dana haji berikutnya untuk kepentingan kemajuan pendidikan Islam, mereka akan mendapat pahala yang sama dengan pahala bila mereka menggunakan dana itu untuk ongkos naik haji. Nah, menurut etika berijtihad, bila ijtihad itu salah, tetap mendapat satu pahala, yaitu pahala menggunakan akal pemikirannya untuk kepentingan Islam. Dan bila ijtihadnya itu ternyata benar, maka akan memperoleh dua pahala. Selain pahala menggunakan akan pikirannya tadi, juga akan mendapat pahala yang sama dengan mereka yang kebagian giliran pergi haji tahun ini. Jadi, mereka Insya Allah bersama-sama mendapat pahala haji, melalui ibadah alternatif, beribadah haji di tanah air sendiri. Wallahua’lam.

                                            —————————- *** ——————————

Rate this article!
Potensi Dana Sosial Haji,5 / 5 ( 1votes )
Tags: