Potensi Gangguan Jiwa Caleg Gagal

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Kian mendekati hari pencoblosan 17 April mendatang, hampir sepanjang jalan besar, gang, jalan poros kecamatan dan desa hingga jalan lingkungan dipenuhi gambar dan baliho para calon wakil rakyat yang kelak duduk di lembaga legislatif baik di tingkat pusat (DPR/DPD), tingkat provinsi (DPRD Provinsi) dan tingkat kab/kota (DPRD Kab/Kota). Meski mungkin sebagian besar kita tidak mengenal para sosok yang terpampang dalam baliho, poster dan gambar, bahkan diantaranya tidak pernah nongol di media sehingga seakan-akan kita disuguhi wajah ganteng/cantik, menarik, heroisme yang begitu persuasif. Bagai unjuk “kekuatan fisik” mereka untuk menarik hari pemilihnya, baik caleg sebagai pemain lama maupun pendatang baru yang pada intinya ingin merebut suara. Ironisnya berbeda dengan dua pasang calon presiden dan wakil presiden menjadi magnet dalam perhelatan debat di tampilan layar kaca sehingga minimal masyarakat tahu bagaimana visi, misi, program yang ditawarkan, bukan sekedar modal tampang doang dalam baliho. Kondisi konstelasi pertarungan pilpres tentu kontradiksi dengan pileg, dengan jumlah hampir 8 ribu orang tentu sangat sulit menampilkan visi, misi dan program di wilayah daerah pemilihannya (dapil).
Semakin luas dapil tentu semakin berat seorang caleg untuk merebut hati pemilihnya. Publikasi menjadi salah satu modal utama, hal ini berarti bahwa upaya untuk mengenalkan diri ke masyarakat dengan berbagai media. Semakin tinggi level tentu semakin besar modal yang harus disiapkan. Momen pilpres dan pileg dipastikan akan menarik massa secara besar-besaran sehingga potensi gesekan antar masyarakat karena beda pilihan sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu berbagai pihak sudah mengantisipasi hajat pesta rakyat lima tahunan potensi benturan massa. Di sisi lain, peserta pemilu terutama calon legislatif baik ditingkat pusat (DPR dan DPD), DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sangat banyak. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan sebanyak 7.968 orang yang tercantum dalam daftar caleg. Jumlah ini berasal dari 20 partai politik yang mengikuti konstelasi pileg 2019. Dari jumlah tersebut terdapat 4.774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan yang tersebar 80 daerah pemilihan.
Pengalaman pemilihan legislatif tahun-tahun sebelumnya pasca tidak terpilihnya menjadi calon legislatif atau caleg gagal terus bermunculan dengan berbagai variasi gangguan kejiwaan mulai stres hingga depresi. Jika caleg sudah memiliki kondisi mental yang kuat, dalam arti “siap kalah dan siap menang” sudah barang tentu tidak menjadi masalah. Namun jika hanya siap menang namun tidak siap kalah apalagi ditambah dengan minimnya kesiapan mental caleg maka berresiko akan mengalami gangguan jiwa dengan berbagai derajat tingkatannya. Biasanya lemahnya pegangan religiusitas, manajemen tata kelola stres yang minim diantaranya menempuh berbagai jalan bahkan menghalalkan segala cara, misal ke dukun, paranormal atau tempat-tempat berbau klenik lainnya. Potensi dampak caleg gagal bisa terjadi karena beban pikiran terhadap banyaknya ongkos (biaya) yang mereka keluarkan dan juga perjuangan lainnya yang harus mereka tempuh agar bisa terpilih menjadi anggota legislatif. Konon dapat modal memperoleh tiket kursi legislatif dapat mencapai ratusan, milyar bahkan puluhan milyar sesuai level “kursi” yang diincarnya.
Oleh karena itu disarankan agar setiap caleg melakukan cek medis dan tes kesehatan termasuk aspek psikologis sehingga dapat dideteksi sejak dini atau meminimalisasi depresi atau stres yang berkepanjangan. Selain itu dibutuhkan kesiapsiagaan penanganan psikologi untuk mengantisipasi gangguan kejiwaan, baik berupa konseling, pengobatan maupun terapinya. Suatu individu dikatakan sehat atau adaptif bila individu tersebut mampu mengatasi krisis atau stres yang dialami secara efektif, manfaat dan bermartabat. Sementara jika individu tersebut gagal menyelesaikan krisis, konflik dan stres secara berkepanjangan yang mengakibatkan gangguan dan hambatan secara fisik, psikologis dan sosial maka disebut maladaptif. Akumulasi dari berbagai gangguan, hambatan psikologis yang tak seimbang dan non solutif tentu akan berdampak gangguan jiwa yang pada gilirannya akan terjadi penurunan kualitas hidup dan produktivitas seseorang.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: