Potensi Lonjakan Kasus Pasca Demo RUU Cipta Kerja

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Lonjakan kasus Covid-19 di tanah air kian mengkawatirkan setiap hari tercatat tambahan kasus sudah mencapai hampir lima ribuan, sehingga total kasus yang telah menembus 400 ribuan, kondisi diprediksi akan terus bertambah tanpa tahu kapan pandemi ini dapat dikendalikan. Berbagai strategi pengendalian pandemi Covid-19 sudah dilakukan pemerintah dalam rangka melindungi masyarakat sebagai warga negara yang dijamin kesehatan oleh konstitusi, namun hingga saat ini efektivitas belum optimal. Ada dualisme penyelematan sektor esensial yang secara substansial saling menegasikan yakni kesehatan versus ekonomi, urusan nyawa atau urusan perut begitu kira-kira ilustrasinya. Pada saat negara fokus menangani pandemi, justru di sisi publik dipertontonkan dengan hiruk pikuk gelaran pilkada dan pro-kontra RUU Omnibus Law atau Cipta Kerja yang baru disahkan. Kondisi ini kian menambah panjang daftar risiko kegagalan pengendalian pandemi.

Hajatan pilkada serentak sudah banyak ditandai dengan munculnya klaster baru tak tanggung-tanggung para elit penyelenggara pilkada (KPU) justru terpapar virus asal Wuhan Tiongkok tersebut termasuk berbagai stakeholder di daerah. Yang paling fenomenal adalah pro-kontra RUU Cipta Kerja yang ditandai gelaran aksi demontsrasi besar-besaran di berbagai daerah di tanah air. Aksi demonstrasi yang terjadi dalam konteks kausalitas merupakan akibat sehingga dimanifestasikan dalam wujud parlemen jalanan, bahkan diantaranya berakhir dengan kericuhan dan tindak kriminal. Meski demontrasi merupakan salah satu hak warga negara yang dilindungi undang-undang, namun untuk memastikan bahwa implementasi di lapangan tidak mudah menerapkan protokol kesehatan. Bagaimana memastikan bahwa dalam situasi demo dengan kerumunan massa yang banyak, mencopot masker atau pemakaian masker yang tidak benar, mengabaikan jaga jarak, bernyanyi, berteriak, semua mekanisme penularan terjadi, baik droplets, aerosol, fomite, orang berdekatan, berteriak, saling menyentuh.

Dengan kata lain, sejumlah aksi yang jumlahnya ribuan dan dilakukan di berbagai wilayah di tanah air, tentu banyak berkerumun, meneriakkan sejumlah tuntutan, dan menyanyikan yel-yel. Dalam kondisi tersebut tentu sangat sulit untuk melaksanakan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak aman satu sama lain minimal 2 meter. Selain itu kondisi tersebut sangat berrisiko ketika terdapat beberapa pendemo yang tidak dilakukan skrining, disinyalir terpapar Covid-19. Situasi lain saat demonstran lain menggunakan truk, bus dan KRL yang padat untuk pulang di mana virus menyebar ke teman, tetangga, dan anggota keluarga sehingga sangat berpotensi penularan secara masif. Selain itu juga keberadaan aparat kepolisian atau TNI yang berjaga dan mengamankan aksi juga tak luput dari potensi risiko. Pendek kata, semua terlibat kontak dan berpotensi terlibat dalam proses penyebaran virus ke kalangan yang lebih luas.

Potensi lonjakan kasus diprediksi terjadi yang pada akhirnya menambah runyam penanganan dan pengendalian Covid-19 kian tak terkendali. Dalam kondisi tersebut sistem kesehatan akan berantakan, kapasitas rumah sakit terus menurun dan beban tenaga medis kian sangat tinggi. Hal ini preseden buruk bagi upaya pengendalian pandemi. Namun demikian secara tinjauan epidemiologi bahwa aksi demonstrasi ini tidak bisa dijadikan alasan utama atas lonjakan yang kelak bakal terjadi. Artinya bahwa dalam konteks kesehatan masyarakat terjadinya penyebaran penyakit tidak ditentukan faktor tunggal namun merupakan komposit beberapa faktor penularan. Setidaknya terdapat faktor yang satu sama lain saling berkaitan memperlebar potensi infeksi seperti rangkaian gelaran pilkada, pelonggaran aturan, kebijakan berbagai daerah, ketidakdisiplinan masyarakat, kemampuan fasilitas kesehatan, kian terbatasnya SDM Kesehatan, serta kelemahan testing-tracing sehingga tidak serta merta menyalahkan aksi demo semata.

Yang tak kalah tragis di level negara adalah ketidakadanya manajemen risiko terutama dalam mengeluarkan produk kebijakan yang berpotensi menimbulkan reaksi massa yang berisiko memperburuk pandemi virus corona. Dalam konteks pandemi semestinya para pejabat negara, birokrasi dan DPR yang terhormat tidak menjadi “sumber penularan baru” dengan tidak mengeluarkan kebijakan-kebijakan pada momentum yang tidak tepat sehingga rentan menimbulkan pro-kontra yang masif di masyarakat yang akhirnya memicu berkumpulnya atau kerumunan massa seperti aksi-aksi demonstrasi sehingga penyebaran virus di situasi saat ini menjadi sangat sulit untuk bisa dikendalikan. Setidaknya terdapat beberapa tips meminimalisir risiko penularan Covid-19 saat ikut demonstrasi yakni tidak ikut aksi jika sakit, ukur suhu tubuh sebelum keluar rumah, selalu pakai masker, pelindung wajah (face shield), sarung tangan tahan panas, pelindung mata untuk mencegah cedera. Membawa air minum cukup untuk menghindari dehidrasi, membawa pembersih tangan (hand sanitizer), mengurangi teriakan atau mengganti dengan tanda, bergabung dalam grup kecil peserta aksi, menjaga jarak dari grup lain. Selain itu menjaga jarak fisik dengan siapa pun yang tak dikenal, jangan berjabat tangan, tos atau berpelukan. Dengan demikian risiko penularan Covid-19 memang tidak bisa dihilangkan sama sekali, tetapi dapat diminimalisir. Wallahu A’lam Bishawab.

———– *** ————

Tags: