Potong Regulasi Penghambat

Foto Ilustrasi

Pepatah, “banyak anak banyak rezeki,” kini sudah ditinggalkan masyarakat Indonesia. Pepatah ini mirip dengan “slogan” di kalangan parlamen (DPR dan DPRD). Yakni, “banyak menerbitkan peraturan akan banyak rezeki.” Dalam setahun, DPR-RI bisa menerbitkan lebih dari sepuluh UU (undang-undang). Di daerah, secara nasional bisa mencapai lebih dari lima ribu Perda (Peraturan Daerah)! Ironisnya, banyak UU rontok, harus dicabut setelah melalui uji judicial review.
Penerbitan regulasi (UU), merupakan hak DPR (dan DPRD), berdasar amanat UUD. Pasal 20A ayat (1) UUD, menyatakan, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.” Amanat ini diperkuat lagi pada UUD pasal 21, bahwa anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan UU. Secara hierarkhis, hak penerbitan regulasi juga dimiliki DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) propinsi, serta kabupaten dan kota.
Dus, fungsi legislasi DPR (dan DPRD) bagai hal “bawaan lahir.” Fungsi itu pula yang menandai kinerja ke-legislatif-an. Berbagai regulasi (UU, dan Perda) telah banyak diterbitkan bersama eksekutif (pemerintah pusat dan pemerintah daerah). Konsekuensi penerbitan regulasi, wajib pula diterbitkan peraturan yang menjelaskan lebih detil. Misalnya, setelah disahkan UU, pastilah harus diterbitkan PP (Peraturan Pemerintah). Setelah itu, biasa pula diterbitkan Peraturan Menteri (biasa disingkat Permen).
Di atas Permen, masih terdapat Perpres (Peraturan Presiden). Di daerah, setelah pengesahan Perda, wajib diterbitkan Perkada (Peraturan Kepala Daerah). Bisanya berupa Pergub (Peraturan Gubernur) maupun Peraturan Bupati (Perbup) atau Perwali (Peraturan Walikota). Semangat menerbitkan regulasi lebih terasa setelah era reformasi (mulai legislatif periode hasil pemilu tahun 1999). Saat ini, tak kurang telah terbit sekitar 60 ribu-an regulasi.
Berdasar catatan istana kepresidenan, terdapat 42 ribu peraturan, yang rentan, memiliki makna saling bertentangan. Regulasi yang rentan bertentangan bisa berupa UU, Perpres, Permen, Pergub, hingga Perbup dan Perwali. Sebagian telah dinyatakan tidak sesuai dengan UUD, harus dicabut. Misalnya, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Setelah dicabut, MK (Mahkamah Konstitusi) meng-amar-kan memberlakukan UU Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan.
Ironis, karena UU yang lama (30 tahun silam) terasa lebih bijak. Begitu pula konsekuensi pembatalan UU Nomor 11 tahun 1974, di daerah, berbagai Perda (Propinsi, serta Kabupaten dan Kota), harus dibatalkan. Diantara yang harus dibatalkan, adalah Perda Jawa Timur Nomor 5 tahun 2011 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA). Perda harus dibatalkan manakala kehilangan pijakan hukum terhadap aturan yang lebih tinggi.
Judicial review (gugat materi UU ke MK), menjadi “senjata ampuh” masyarakat untuk meluruskan berbagai peraturan. UU bisa dibatalkan secara keseluruhan, atau dibatalkan beberapa pasal-nya, karena tidak sesuai dengan UUD. Hal itu pernah dilakukan Komisi A (bidang hukum dan pemerintahan) DPRD Jawa Timur terhadap UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Kependudukan. Hasilnya, DPRD Jatim menang. Pasal 32, harus dicabut.
Hasilnya, mengurus akte kelahiran semakin mudah (tanpa penetapan pengadilan), dan gratis. Sebelumnya, mengurus akte kelahiran, bagai mengurus izin usaha. Padahal fungsi akte kelahiran sangat vital. Wajib dimiliki untuk masuk sekolah (SD) dan mendaftar sebagai pegawai negeri sipil maupun tentara. Kini Pemkot Surabaya men-sosialisasi gratis-nya akte kelahiran ke seluruh RT (Rukun Tetagga).
Terbukti, memangkas peraturan bisa memudahkan proses pengurusan layanan publik. Presiden juga wanti-wanti, agar Kepala Daerah tidak “ke-genit-an” membuat aturan. Begitu pula jajaran Menteri, tidak perlu membuat peraturan yang mem-belenggu percepatan perekonomian dan pembangunan. Negara yang cepat merespons perkembangan, akan memenangkan persainga global bangsa-bangsa.

———   000   ———

Rate this article!
Tags: