Potret Buram Bangsa yang Merdeka

Oleh :
Nurul Yakin
Pendidik di SMP IT ANNUR, Asal Sumenep Madura.
Alumnus Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”
Begitu kira-kira penggalan pidato presiden republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno. Jika kita deskripsikan bagaimana peran founding father negeri ini memperjuangkan kemerdekaan, tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Pengorbanannya tak bisa ditukar dengan segala kelimpahan materi. Jiwa, raga, dan harta telah mereka pertaruhkan demi merebut kembali hak masyarakat pribumi, yaitu kehidupan yang merdeka.
Sungguh berat perjuangan para pahlawan bangsa ini menyongsong kemerdekaan. Berbagai perlawanan setapak demi setapak dihadapi dengan perjuangan yang berdarah-darah. Dari perlawanan terhadap tentara Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, hingga penjajah Jepang. Yang pada akhirnya pada tanggal 18 agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) sebagai dasar negara Republik Indonesia dan terbentuk pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Melihat sepak terjang para pendahulu, mungkin kita akan berfikir betapa para pahlawan telah banyak berjasa pada negeri ini. Namun, mayoritas masyarakat kita hanya terhenti dalam aktifitas “berfikir” mengenang sejarah perjuangan kemerdekaan, tanpa ada rasa “tanggung jawab” untuk meneruskan estafeta perjuangan para pahlawan. Tentu, kegiatan berfikir dan memiliki rasa tanggung jawab adalah dua frase yang memiliki makna berbeda.
Menurut Khodijah (2006:17) berfikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa item. Sedangkan tanggung jawab menurut Agus (2012) suatu bentuk sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya baik terhadap diri-sendiri, masyarakat, lingkungan alam, lingkungan sosial budaya, negara, dan Tuhan.
Dalam artian, masyarakat kita saat ini hanya sekadar mengingat perjuangan para pahlawan tanpa ada rasa tanggung jawab untuk melanjutkan pengorbanan dalam merebut kemerdekaan. Masyarakat tidak pernah sadar bagaimana melanjutkan amanah yang mulia ini. Tidak ada keinginan untuk mengisi kemerdekaan yang kita rasakan dengan membangun bangsa menuju perubahan yang gemilang. Yang ada justru sebaliknya, kemerdekaan yang diperoleh tidak gratis malah diisi dengan tindakan yang merugikan dan merusak negeri ini. Dan inilah tantangan terbesar yang dimaksud oleh bapak Soekarno tadi, tantangan menghadapi bangsa sendiri.
Benarkah Sudah Merdeka?
Menjaga negara adalah asset untuk kesejahteraan generasi kita di masa mendatang. Negara tempat kelahiran harus dijaga dengan sebaik-baiknya tanpa ada kudeta  dari negara asing. Dan para pejuang negara ini telah membuktikan betapa cintanya mereka pada bangsa ini. Mereka berjuang mempertahankan negara hingga titik nadir. Yang menjadi Pertanyaanya, apakah kemerdekaan yang mereka perjuangkan dengan genangan darah telah kita gunakan dengan sebaik-baiknya?
Melihat kondisi negara yang carut-marut, masih kurang pantas rasanya jika bangsa ini menyandang gelar “merdeka”. Kemerdekaan di negara ini seolah-olah hanya jargon semata. Bukan tanpa alasan jika penulis menyatakan demikian. Realitanya, masyarakat belum merdeka seutuhnya. Contoh sederhana, utang negara semakin melangit. Bahkan saat ini utang pemerintah Indonesia tercatat senilai Rp. 3.706,52 trilliun hingga juni 2017 (Liputan 6. 28/7/2017)
Begitu pun dengan kemiskinan, semakin hari semakin meningkat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin – penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan – pada Maret 2016 di Indonesia mencapai 28,01 juta jiwa atau sebesar 10,86 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Belum lagi pemandanggan miris seperti rumah kumuh di pinggiran kali, anak putus sekolah, jalan berlubang, hingga nasib rakyat yang saling menikam lantaran tak tersentuh kesejahteraan. Seperti inikah potret negara merdeka?
Bertolak dari kehidupan rakyat kecil, ternyata kehidupan para aparatur negara semakin tidak manusiawi. Korupsi seolah menjadi hidangan sehari-hari. Sayangnya, pihak keamanan negara pura-pura tuli. Kekayaan negara yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat malah diselundupkan oleh pihak atasan yang berkuasa tanpa hati nurani. Jika para pemimpin yang dipilih oleh rakyat ternyata hanya sibuk mengurus diri dan famili, kepada siap rakyat kecil harus mengadu nasib? Bangsa ini telah terjajah oleh sikap para pemimpinnya sendiri.
Kekayaan bangsa ini pun telah dikuasai oleh asing. Mereka melancarkan aksinya dalam dunia bisnis makro. Bangunan-bangunan elit di negara ini mayoritas milik penguasa asing. Rakyat pribumi menjadi tamu di rumah sendiri. Bahkan mantan ketua umum pengurus Pusat Muhammadiyah, Syafii Maarif mengemukakan bahwa 80 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh asing, 13 persen dikusai konglomerat, sisanya 7 persen dibagi untk 250 juta jiwa (Republika, 1/8/2017).
Belum lagi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menandatangani perpanjangan kontrak Freeport hingga tahun 2031. Perusahaan tambang emas yang telah beroperasi sekian tahun ini ternyata belum bisa memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Papua. Benar adanya jika panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), jenderal Gatot Nurmantyo sering menegaskan bahwa Indonesia saat ini sedang dalam kepungan ancaman dari negara-negara asing yang akan berpotensi memecah-belah keutuhan NKRI.
Mengisi Kemerdekaan
Padahal, negara merdeka bukan hanya yang bebas dari lecutan senjata, tapi rakyatnya juga merdeka dari perilaku korupsi, radikalisme, premanisme serta terpenuhinya ekonomi hidup, kesehatan, dan pendidikan. Mengisi kemerdekaan dengan sikap yang bisa menghancurkan bangsa secara perlahan sama halnya melemparkan kotoran ke muka para pahlawan.
Maka dari itu, mari kita isi kemerdekaan ini dengan hal-hal positif yang bisa mengangkat martabat bangsa. Mengisi kemerdekaan tidak hanya dengan pasang badan ketika dalam peperangan. Tidak hanya mengikuti lomba acara 17 agustus-an. Yang lebih penting, semua pihak harus bergandengan tangan agar kekayaan bangsa ini tidak diambil alih oleh negara luar. Kita harus bangga dengan budaya dan hasil karya anak bangsa. Dan bagi para generasi muda agar selalu meningkatkan etos belajar yang tinggi dalam meraih cita-cita yang diinginkan sehingga bisa mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Semoga!.

                                                                                           ———————— *** ————————-

 

Rate this article!
Tags: