Potret Buram Benda Cagar Budaya di Indonesia

Oleh :
Daniel Agus Maryanto
Alumnus Arkeologi UGM; Jurnalis dan Penulis serta pemerhati sejarah dan budaya.

Hari hari belakangan ini jagad medsos dan media massa dibuat geger dan ramai dalam pemberitaan. Kejadian itu bermula setelah seorang pembeli tanah menjebol benteng bekas keraton Kartasura yang berstatus benda cagar budaya (BCB) peninggalan Keraton Kartasura yang telah berusia 342 tahun dengan menggunakan alat berat.

Bahkan ketegangan pun sempat terjadi ketika Bupati Sukoharjo, Etik Suryani, yang didampingi Camat Kartasura, Kodim 0726/Sukoharjo, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Jateng, Komandan Koramil Kartasura, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sukoharjo mandatangi lokasi benteng yang dijebol. Bupati terlibat adu mulut dengan pembeli tanah yang menjebol benteng tersebut di lokasi tembok kompleks Baluwarti di bekas Keraton Kartasura, Sukoharjo, Sabtu ( Solo Pos, 23/4/2022).

Benteng bekas Keraton Kartasura menjadi bagian perjalanan sejarah kejayaan Kerajaaan Mataran Islam di Jawa. Keraton Kartasura memiliki dua benteng yakni benteng bagian dalam bernama Srimanganti dan benteng bagian luar bernama Baluwarti. Di dalam Benteng Srimanganti terdapat masjid, bangsal, dan permakaman. Sementara Benteng Baluwarti terletak hanya sekitar beberapa meter dari Benteng Srimanganti. Panjang tembok Benteng Baluwarti dahulu lebih dari satu kilometer panjangnya, kini, bangunan benteng yang tersisa tak lebih dari 100 meter. Reruntuhan tembok baluwarti sisi barat bagian luar bekas Keraton Kartasura, inilah yang dijebol menggunakan alat berat pada Kamis 21 April 2022.

Dijebolnya benteng bekas Keraton Kartasura semakin menambah deretan panjang kasus pengrusakan Benda Cagar Budaya (BCB) yang ada di Indonesia dan manambah potret buram keberadaan Benda Cagar Budaya di Indoesia yang dahulu menjadi saksi perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Beberapa contoh kasus pengrusakan Benda Cagar Budaya (BCB) berikut semakin memperjelas semakin lemahnya “posisi Benda Cagar Budaya” dalam grand master pembangunan di Indonesia di antaranya adalah : (1). Cerita lama adalah pembangunan Waduk di Wonogiri yang telah menenggelamkan kompleks candi Bendo untuk selama-lamanya, padahal penemuan candi di daerah Wonogiri sangatlah penting, mengingat daerah Wonogiri sangat langka akan tinggalan purbakala. (2). Di Yogyakarta, banyak ndalem warisan Kasultanan Yogyakarta yang tidak bisa diselamatkan dan kemudian jatuh ke pihak swasta, dan kita tidak tahu hendak dijadikan apa bangunan-bangunan purbakala itu. (3). Di DKI Jakarta kasus Benda Cagar Budaya (BCB) menimpa Hotel Des Indes yang terkubur oleh Komplek Pertokoan Duta Merlin, Hotel Der Nederlanden yang tertindih Bina Graha, Societe de Harmonie dihantam perluasan jalan raya dan halaman parkir gedung Sekneg, kawasan pasar Legi hancur oleh jembatan layang, dan segitiga Senen tergusur kawasan pertokoan dan perkantoran (Warta IAAI, No.2 Juni 1990). Padahal dahulu bangunan-bangunan cagar bubaya itu pernah menjadi ciri khas daerah-daerah itu. (4). Perobohan “Rumah Radio” Bung Tomo di Jl. Mawar No. 10, Kota Surabaya. Rumah ini dahulunya digunakan oleh Bung Tomo untuk menyiarkan perjuangan dengan peralatan radio sederhana. Lahan ini rencananya akan digunakan sebagai lahan parkir sebuah pusat perbelanjaan. Bangunan ini memiliki status cagar budaya sesuai dengan SK Wali Kota 188.45/004/402.1.04/1998. (4). Pembongkaran Pasar Cinde di Palembang yang berstatus cagar budaya. Pemerintah membongkar pasar yang didirikan pada 1958 tersebut dengan dalih akan membangun pasar modern. Pasar ini memiliki gaya desain yang mirip dengan Pasar Johar, Semarang, yang sama-sama dirancang oleh arsitek kenamaan Herman Thomas Karsten. (5). Rumah Kembar Malabar karya Soekarno di Jalan Gatot Soebroto No 54, Kelurahan Malabar, Kecamatan Lengkong, Kota Bandung dibongkar sebagian, tersisa berkisar 50% dari aslinya dan sebagainya.

Beberapa kasus pengrusakan Benda Cagar Budaya (BCB) di atas, hanyalah sebagian kecil saja dari sederetan kasus yang terjadi di tanah air kita. Sudah tak terhitung Benda cagar Budaya (BCB) dikorbankan demi perluasan gedung gedung pemerintah, pertokoan, hingga real estate.

Ironis memang, semesthinya kita bangga memiliki pusaka-pusaka budaya agung itu. Tetapi apakah memang sudah sedemikian parah dan putuskah rantai penghubung batin antara generasi pendukung kebudayaan purbakala dan genarasi pewaris pusaka, sehingga kita sama sekali tidak dapat lagi menghargai, mencintai, atau bahkan memiliki sense of belonging terhadap Benda Cagar Budaya (BCB)?

Proyek pembangunan fisik memang seharusnya terus berjalan sesuai dengan program nasional, tetapi hendaknya pembangunan fisik pun tidak menghambat usaha pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Kelestarian Benda Cagar Budaya (BCB) itu penting karena Benda Cagar Budaya (BCB) adalah sumber sejarah yang tidak dapat dicipta ulang, namun demkian kegiatan berkenaan dengan warisan purbakala juga tidak boleh menghambat pembangunan. Namun dalam prakteknya, tak selalu demikian, dengan sedih kita selalu bisa melihat dalam pembangunan selalu ada korban. Sayangnya yang sering menjadi korban atau lebih tepatnya dikorbankan adalah Benda Cagar Budaya (BCB).

Berpinjak dari hal ini, suatu jalan tengah harus dapat ditempuh jika terjadi benturan kegiatan dan benturan pendapat. Dan tulisan ini tidak menyajikan polemik tetapi justru menyodorkan gagasan kearah keserasian (solusinya) antara kepentingan industrialisasi yang banyak melibatkan pembangunan fisik di dalamnya dan kepentingan kelestarian Benda cagar Budaya (BCB).

Ada banyak cara untuk mengurangi terjadinya pengrusakan atau penghancuran Benda Cagar Budaya (BCB) itu.

Pertama kita bisa berkiblat pada langkah kerja positif negara-negara maju, Inggris, Yunani, dan Jepang. Di negara-negara ini ada keharusan bahwa setiap developer yang hendak membangun, tidak cukup syarat hanya dengan mengandalkan sertifikat yang dikeluarkan Badan Pertanahan saja, tetapi juga harus dilengkapi sertifikat yang dikeluarkan oleh Departemen Arkeologi.

Hal ini juga berlaku bagi setiap orang yang hendak membangun rumah, harus ada sertifikat yang dikeluarkan dari departemen Arkeologi yang menyatakan bahwa tanah atau daerah yang akan dibangun telah disurvei dan steril dari Benda Cagar Budaya (BCB). Dengan demikian tidak ada pembangunan yang dilakukan setelah terjadi “pembunuhan Benda Cagar Budaya”. Sebab membangun kota modern atau mempertahankan warisan budaya sesungguhnya adalah sama-sama melaksanakan pembangunan.

Kedua, mengikutkansertakan pihak arkeologi dalam menyusun rencana proyek dan studi kelayakan yang akan mengadakan eksplorasi tanah.

Keikutsertaan arkeolog dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sama sekali tidak merugikan atau menghambat pembangunan itu sendiri. Apabila sebuah proyek telah merencanakan untuk membangun di suatu daerah, tetapi di daerah tersebut ternyata terdapat Benda Cagar Budaya (BCB), maka tidak berarti bahwa rencana proyek tersebut harus dibatalkan.

Sebagaimana diketahui sebuah proyek pembangunan yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL). Dengan adanya ANDAL ini maka dapat diperkirakan terlebih dahulu dampak kegiatan pembangunan terhadap Benda Cagar Budaya (BCB) sehingga tindakan pengamanan dapat dipersiapkan terlebih dahulu. Tindakan itu dapat berupa:

1.Perubahan atas rencana kegiatan sehingga tidak membahayakan situs tempat Benda Cagar Budaya (BCB) itu berada.

2.Pemindahan Benda Cagar Budaya (BCB) apabila secata teknis hal tersebut dapat dipertangungjawabkan.

3.Penelitian secara tuntas untuk mendapatkan semaksimal mungkin data berupa gambar, foto, dan tulisan tentang latar belakang sejarah, ekologis dan lain-lainnya yang diperlukan nantinya untuk bahan penelitian dan studi apabila Benda Cagar Budaya (BCB) itu “terpaksa harus dikorbankan” seperti pada pembangunan waduk di Wonogiri yang telah menenggelamkan Candi Bendo.

4.Penolakan atas rencana pembangunan tersebut.

Gagasan lain yang bisa diterapkan adalah dengan menjadikan Benda Cagar Budaya (BCB) itu sebagai “museum hidup” yang diisi dengan berbagai kegiatan budaya, kesenian dan pertunjukan yang mendukung nilai historis keberadaan Benda Cagar Budaya (BCB). Dengan cara ini ada keuntungan ganda, Benda Cagar Budaya (BCB) senantiasa terjaga, ekonomi dan budaya juga berkembang.

——- *** ——-

Tags: