Potret Deforestasi dan Semangat Ekofeminisme

Oleh :
Holy Ichda Wahyuni
Mahasiswa Pascasarjana Biologi Universitas Airlangga Surabaya

Peringatan hari hutan sedunia bagi sebuah negara megabiodiversitas adalah sebuah beban moral tersendiri tatkala fenomena deforestasi (hilangnya hutan beserta segala atributnya) masih saja menampakkan potret buram. Bagaimana tidak, data di lapangan menunjukkan angka tren deforestasi yang terus mengalami peningkatan.
Seperti yang kita ketahui bahwa hutan di Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman hayati sangat tinggi, tentu saja dengan beragam kemanfaatan bagi sendi-sendi kehidupan makhluk hidup. Sebuah hutan yang sering dianalogikan sebagai paru paru bumi sudah selayaknya menjadi hal vital yang patut dilindungi hak asasinya sebermakna dengan nafas sebagai pertanda masih adanya kehidupan.
Dikutip dari data FWI (Forest Watch Indonesia) yang direpresentasi dari 3 provinsi dengan luasan hutan paling luas di Indonesia yakni Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara telah mengalami deforestasi sebesar 718 ribu hektar dari tahun 2013-2016, atau dengan kata lain mengalami laju deforestasi sebanyak 240 ribu hektar/tahun, atau 20rb hektar/bulan, atau setengah hektar setiap menitnya. Terjadinya hal tersebut tentunya dipicu oleh faktor yang tidak tunggal. Jika harus diruntut akar permasalahan, maka banyak sekali stake holder yang seharusnya turut bertanggung jawab, salah satunya adalah para pemangku saham dan kebijakan yang menggunakan kostum pembangunan dengan pengalihfungsian hutan secara besar-besaran namun tidak mengindahkan kaidah-kaidah etis-ekologis untuk menuju kondisi sustainable development yang sesungguhnya, bukan abal-abal apalagi hanya sekedar jargon pemanis sebuah program.
Dampak dari deforestasi hutan
Deforestasi hutan merupakan masalah ekologis yang cukup serius dengan dampak yang signifikan bagi kehidupan manusia beserta makhluk lainnya dalam mata rantai kehidupan jika dibiarkan terus menerus. Bayangkan saja, akibat deforestasi, Indonesia menjadi negara penyumbang emisi karbon yang cukup besar di dunia yaitu 1,98 miliar ton emisi CO2 per tahun (WRI, 2012), tentu saja hal ini akan berimpas pada kesehatan manusia. Bukan hanya itu, beberapa dampak lainnya dari deforestasi hutan adalah perubahan iklim, rusaknya habitat flora dan fauna yang berujung pada kepunahan, serta terganggunya siklus air yang memicu terjadinya bencana seperti banjir dan tanah longsor yang tentu saja memberikan kerugian baik secara ekologi, sosial, maupun ekonomi.
Menempatkan alam tidak sebagai objek
Orientasi manusia dengan alam yang cenderung mengedepankan orientasi ekonomi dengan mengesampingkan orientasi ekologi membuat kegiatan eksploitasi selalu mengalami tren kenaikan. Belum lagi dengan munculnya anggapan bahwa kerusakan alam seperti penghilangan struktur dan fungsi hutan adalah harga yang wajar dibayar dari sebuah pembangunan. Data KLHK (2016) aktivitas pembangunan HTI (Hutan Tanaman Industri) telah menyumbang 10 persen deforestasi di Indonesia pada rentang tahun 2009-2013. Pada tahun 2009 masih terdapat 2 juta hektar hutan alam di dalam konsesi HTI, namun terus berkurang dan di tahun 2013 tinggal 1,5 juta hektar (FWI, 2014). Dari sini tampak jelas, manusia dalam kedudukannya menempatkan alam hanyalah sebagai objek, sehingga kelumrahan seringkali diujarkan ketika manusia berlaku dominan untuk mengeksploitasi alam.
Etika-Ekofeminisme sebagai pengembalian hak asasi hutan
Ekofeminisme menurut Warren (2002) merupakan sebuah gerakan yang hadir sebagai pengembangan kepekaan kesadaran etis-ekologis yang berusaha melenyapkan struktur penindasan dengan menempatkan alam dan perempuan dalam perspektif yang sama, yakni pihak yang acapkali rentan tertindas. Dengan menggunakan etika-ekofemenisme diharapkan gerakan-gerakan pemecahan masalah pengruskaan hutan lebih massif dengan mengadopsi nilai-nilai etis feminimitas.
Selama ini beberapa pihak terlalu tergesa-gesa dalam memahami nilai-nilai femenimitas tanpa menyelami lebih jauh. Padahal, nilai etika ekofeminisme jika diinterpretasi secara epistemologi adalah sebuah nilai dari identitas perempuan yang cenderung memelihara, bekerjasama, solid, loyal, yang jika diterapkan sebagai relasi antara manusia dengan alamnya, maka kesemuanya itu akan memunculkan relasi etis-ekologis yang harmonis.
Ekofeminisme ditinjau dari nilai ontologis menurut Gunawan (1993) menempatkan manusia dan alam dalam kedudukan yang sama. Hal ini didukung dengan konsep bahwa antara manusia dan alam memiliki hubungan ketergantungan, yang membentuk simbion. Harapannya, semangat ekofeminisme dapat menempatkan manusia dan alam dalam suatu simbiosis yang bersifat mutualis. Tatkala manusia mengambil manfaat dari alam maka seyogyanya alam juga memiliki hak asasi yang sama untuk mendapatkan manfaat dari manusia, sebut saja manfaat pemeliharaan dan perlindungan agar keberadaan alam senantiasa terjaga dan berkelanjutan. Ironisnya, muncul anggapan-anggapan dikotomis yang merasa manusia dan alam adalah dua makhluk yang tak memiliki kesetaraan, membuat manusia menjelma menjadi simbion yang cenderung parasitis dengan tindakan-tindakannya yang eksploitatif. Hal ini harus menjadi perenungan bersama, oleh semua pihak, dan terutama para pemegang kekuasaan yang memiliki power bagi setiap keluarnya kebijakan terkait lingkungan hidup. Sebab merusak alam adalah tindakan yang pelan-pelan membunuh peradaban yang akan datang.

——— *** ————

Tags: