Potret Minimnya Karya Profesor

Oleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Univ. Muhammadiyah Malang

Dunia pendidikan saat ini kembali menjadi tranding topic yang sangat bagus untuk kita kaji bersama. Melalui beberapa media sempat diberitakan sekitar 3.800 dari 5.366 profesor belum memenuhi kewajiban publikasi menulis jurnal internasional. Melihat angka yang demikian. Fakta itu, bisa kita simpulkan kalau bangsa ini bisa kita bilang dalam keadaan darurat keilmuan professor.
Data defisit karya profesor
Bisa kita bayangkan, dengan dijit kalkulasi 1 dari 3 profesor yang menunaikan apa yang menjadi kewajiban mereka. Terus karya apa yag bisa dihasilkan dari 2 profesor sisanya tersebut. Arti lainya juga, bisa kita bilang hanya 1 dibanding 3 profesor yang terbukti mampu melahirkan karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi. Sebagian besar profesor di Tanah Air ternyata menghabiskan waktu mereka di kampus hanya untuk mengajar dan membimbing mahasiswa.
Padahal secara akademik kita ketahui bersama professor merupakan jabatan akademik tertinggi bagi para pendidik profesional dan ilmuwan. Dengan memegang jabatan tertinggi itu, profesor merupakan mahaguru keilmuan, tempat para pemburu ilmu merujuk kepada yang bersangkutan.
Merujuk dari dari hasil evaluasi Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) per tiga tahun yang untuk pertama kalinya dilakukan mulai November 2017, tercatat dari 5.366 profesor yang ada, ternyata hanya 1.551 orang yang memenuhi syarat publikasi sebagaimana diamanatkan dalam Permenristek-Dikti No 20/2017. Fakta bahwa tidak banyak profesor yang menghasilkan baik karya ilmiah, paten, maupun karya seni atau desain monumental sebagaimana dilaporkan Kemenristek-Dikti tentu sangat memprihatinkan. Bahkan bisa tersimpulkan kalau profesor di negeri ini minim karya ilmiah
Selain itu, masih dari data Kemenristek-Dikti Indonesia kurun waktu 1996-2015, dilaporkan menduduki peringkat ke-11 di kawasan negara Asia dengan jumlah karya ilmiah hanya 39.719 artikel di jurnal internasional. Bandingkan, misalnya, dengan Singapura yang mampu menghasilkan 215.553 karya ilmiah dan Malaysia yang mampu menghasilkan sebanyak 181.251 karya ilmiah.
Wajar saja, jika setelah melihat data yang demikian, pemerintah menjadi jengah. Pasalnya negara memberikan tunjangan kehormatan yang nilainya hingga tiga kali gaji pokok untuk penyandang jabatan profesor. Dunia keilmuan di Tanah Air pun merugi karena seretnya sumbangsih para guru besar. Hingga pada akhirnya, pemerintah telah memutuskan untuk menunda pencabutan tunjangan guru besar di negeri ini.
Meski pemerintah telah memutuskan untuk menunda pencabutan tunjangan guru besar yang seharusnya mulai dilaksanakan 2018 ini ke 2019 nanti, data tentang minimnya karya ilmiah para profesor di Tanah Air itu mengindikasikan bahwa ada yang keliru tentang produktivitas profesor. Pertanyaan yang tak kalah menariknya lagi adalah apa sebetulnya yang menyebabkan para profesor seolah enggan menulis karya ilmiah?
Faktor penyebab
Banyak penyebab yang membuat kebanyakan profesor mangkir dari kewajiban menulis jurnal internasional, dari budaya menulis yang belum baik, sibuk pada tugas administrasi sebagai dosen, hingga repot mengatur waktu untuk pekerjaan lain di luar lingkungan perguruan tinggi. Belum lagi, alasan klasik, kesulitan dana untuk membiayai riset.
Ada banyak faktor yang menyebabkan para profesor sepertinya terlena dengan status kehormatan mereka sebagai guru besar dan lupa untuk membuktikan diri melalui karya ilmiah yang dihasilkan. Diantaranya, berikut ini.
Pertama, para profesor tampaknya enggan untuk kembali menjadi pemula dan mencoba menulis artikel ilmiah untuk jurnal internasional bereputasi yang biasanya melalui proses seleksi yang ketat. Sebagian besar profesor yang sudah terbiasa menikmati keistimewaan dan status sebagai guru besar yang dihormati tampaknya banyak yang kemudian enggan jika kembali harus berjuang untuk memperlihatkan eksistensi mereka melalui karya ilmiah.
Bagi profesor yang minim berkarya itu, tampaknya lebih baik mereka mengajar dan membimbing mahasiswa yang sudah pasti akan menghormati kedudukan mereka daripada berusaha menulis artikel ilmiah di jurnal internasional yang membutuhkan energi ekstra besar. Ego sebagai guru besar dan kenyamanan yang selama ini telah dirasakan, langsung atau tidak langsung, membuat banyak profesor akhirnya memilih berdiam diri daripada susah-payah menghasilkan artikel yang belum tentu lolos seleksi.
Kedua, sebagian profesor lebih memilih menempuh karier di jalur struktural, menjadi pejabat di kampus dan memperoleh tunjangan yang lumayan besar. Bagi profesor yang menduduki jabatan struktural, mereka biasanya dengan mudah akan berkilah sudah terlalu banyak disibukkan dengan tugas administratif, dan karenanya meminta dimaklumi jika tidak memiliki banyak waktu untuk menulis artikel di jurnal internasional. Jangankan menulis artikel di jurnal internasional bereputasi, bahkan menulis opini di media cetak maupun media online pun mereka merasa tidak memiliki kesempatan yang cukup dengan alasan sibuk mengurus administrasi urusan kampus.
Ketiga, bagi sebagian professor lebbih memilih di zona aman mencari sumber pemasukan dari mengajar, membimbing, dan menguji mahasiswa dirasakan sudah cukup menjanjikan daripada memperoleh insentif menulis di jurnal internasional bereputasi. Meski penghasilan bukan satu-satunya yang menjadi bahan pertimbangan, iming-iming penghasilan yang besar tanpa harus menulis artikel ilmiah tentu menjadi tawaran yang sulit ditepis.
Setelah melihat kenyataan yang demikian, tepat adanya bila profesor yang lalai dari kewajibannya mendapatkan sanksi. Mulai November 2019, profesor yang belum memublikasikan tulisannya di jurnal internasional bakal mengalami pemotongan tunjangan. Berdasarkan Peraturan Menristek-Dikti No 20 Tahun 2017, publikasi di jurnal internasional bisa digantikan dengan paten atau hak atas suatu temuan ilmiah. Bahkan, jika tidak mampu, undur diri saja dari jabatan profesor lalu mengabdikan diri di jabatan lain.
Besar harapan, guru besar di tanah air ini dituntut mampu menyodorkan solusi berbagai persoalan di masyarakat melalui pendekatan keilmuan. Mereka selayaknya menjadi anutan, bukan justru menjadi beban uang rakyat. Selain itu, sudah selayaknya, ketika menyandang jabatan profesor, seseorang guru besar tersebut semestinya sudah menjadikan menulis sebagai budaya. Mereka pun harus mampu menunjukkan bahwa mereka layak menyandang jabatan kehormatan sebagai guru besar.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: