PPDB Belum Ramah

b

PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru) online terasa masih menyulitkan orangtua murid. Termasuk kriteria usia “prioritas” sering menjadi perdebatan orangtua dengan panitia PPDB. Terutama masuk jenjang SMP, dan SLTA. Bagai berburu bangku sekolah yang disesuaikan dengan minat. Berbagai Pemerintah Daerah (kabupaten dan kota) melaksanakan kebijakan berbeda-beda semakin menambah kesulitan orangtua menembus PPDB.
Sejak beberapa tahun PPDB masih di-iringi kegaduhan. Sehingga pemerintah (Kementerian Pendidikan) perlu menerbitkan peraturan. Termasuk penerbitan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB jenjang TK, SD, SM, SMA, dan SMK. Tetapi PPDB tahun 2020 masih ricuh, berkait persyaratan masuk sekolah kelas I, kelas VII, dan kelas X. Sampai masif tuduhan sekolah negeri “bermain” dalam seleksi penerimaan siswa baru.
Persyaratan yang sering menjadi perselisihan, diantaranya zonasi, prestasi, dan usia. Serta kuota jumlah siswa baru. Panitia PPDB menggunakan ukuran zonasi berdasar aplikasi google maps (yang biasa berpatokan pada lintas jalan utama). Sedangkan orangtua murid menggunakan “jalan tikus” (yang biasa dilalui masyarakat golongan ekonomi bawah). Perbedaan panjang jalan sangat mempengaruhi persaingan perolehan bangku sekolah.
Begitu pula persyaratan usia masih selalu menjadi perdebatan. Berkait usia yang “di-prioritas-kan.” Dalam Permendikbud dituliskan usia maksimal masuk kelas VII, dan kelas XI. Tidak mudah menyelesaikan perdebatan persyaratan usia, karena berhubungan dengan rasa keadilan kesempatan kependidikan. Banyak keluarga tidak mampu terpaksa mengundur waktu masuk sekolah tingkat SD. Sedangkan keluarga kaya sering memasukkan sekolah anaknya lebih awal. Bisa masuk SD kurang dari 7 tahun.
Tahun (2021) ini PPDB berpatokan pada Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021. Dalam pasal 12 ayat (2) diatur 4 jalur penerimaan siswa baru. Yakni, zonasi, minimal 50% daya tamping (kecuali SD 70%). Jalu kedua, afirmasi (jatah keluarga miskin, dan penyandang disabilitas) sebesar 15%. Serta jalur perpindahan tugas orangtua, sebesar 5%. Sisanya untuk jalur prestasi. Jalur zonasi menjadi prioritas, dengan menyebut kata “minimal.” Sehingga sebenarnya, panitia PPDB bisa menerima lebih banyak.
Tetapi ke-riuh-an PPDB masih tetap terjadi di kota-kota metropolitan (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) hingga di kawasan perdesaan. Antara lain, pasal 7, tentang persyaratan usia yang harus dibuktikan dengan akte kelahiran. Padahal data usia telah terdapat di setiap rapor peserta didik (TK, SD hingga SMA, dan SMK). Juga dapat dijejaki dalam KK (Kartu Keluarga).
Namun terdapat pula peraturan yang “membahagiakan” setiap orangtua murid. Tercantum dalam pasal 27 ayat (1). Isinya, seluruh sekolah negeri, dilarang memungut uang pendaftaran maupun biaya daftar ulang pada tahun ajaran baru. Bahkan uang buku, dan “kontribusi pindah sekolah” juga dilarang. Sedangkan sekolah swasta yang menerima BOS (Bantuan Operasional Sekolah), juga dilarang memungut biaya PPDB. Hanya beberapa sekolah swasta (biasanya sekolah internasional) yang tidak menerima BOS.
Berdasar pengalaman dua kali PPDB masa pandemi, pemerintah daerah memiliki kewajiban pemenuhan hak kependidikan. Yakni, berkait kapasitas ruang kelas SD, SMP, serta SMA dan SMK negeri yang terasa “overload.” Dengan paradigma baru, isi ruang kelas tidak patut melebihi 25 siswa. Maka pemerintah kabupaten, dan kota seyogianya menambah ruang kelas SD, dan SMP. Begitu pula perlu penambahan SMA, dan SMK yang menjadi kewenangan pemerintah propinsi.
Diperlukan kepedulian pemerintah daerah mencegah putus sekolah. Antara lain melalui penambahan anggaran sektor pendidikan, seperti diamanatkan konstitusi. UUD pada pasal 31 ayat (4). Indeks pendidikan (lama sekolah) masyarakat akan sangat berpengaruh pada kemajuan daerah. [*]

Rate this article!
PPDB Belum Ramah,5 / 5 ( 1votes )
Tags: