PPDB dan Kesurupan

Oleh:
Saifi Yunianto
Praktisi Pendidikan yang mengabdi di SMP Negeri 2 Rembang Kab. Pasuruan Jawa Timur.

Musim sekolah telah tiba. Kayak musim buah-buahan yang ramai disibukkan dengan kehadirannya. Masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) adalah salah satu rangkaian dari proses lembaga pendidikan merekrut dan menerima siswa-siswa anyarnya. Sekolah-sekolah, baik pemerintah maupun non-pemerintah, melakukannya dalam kurun dua bulanan atau lebih. Kendati tidak sedikit pula lembaga yang memulainya di awal semester genap.
PPDB kali ini menerapkan sistem zonasi yang tengah dipahami dan diikuti khalayak terutama para calon wali murid dan anak-anaknya. Sejak 2017 lalu, aturan yang menginginkan untuk mempercepat pemerataan akses dan kualitas pendidikan tersebut sejatinya diberlakukan. Jika tidak ada perubahan, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Efendy, zonasi tidak hanya diperuntukkan untuk PPDB. Namun, untuk membenahi delapan standar pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Mulai kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik sampai kualitas sarana prasarana. Semuanya dapat ditangani berbasis zonasi. Termasuk rotasi guru, sehingga terjadi pemerataan guru-guru terbaik yang menyebar pada seluruh sekolah. Seperti yang dilansir pada laman Kemendikbud pada awal tahun (29/1) ini.
Hiruk pikuk penyelenggaraan PPDB tahun ini segera mengalami perubahan teknis dengan rentang waktu yang bersamaan. Pada 2020/2021, sekolah-sekolah negeri dan swasta dapat melaksanakannya pada bulan Mei. Khususnya, lembaga-lembaga pendidikan yang notabene menerima bantuan operasional sekolah (BOS). Sebagaimana Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) yang menyuratkan dalam Pasal 44 Bab IV. Namun, hal tersebut tentu bukan menjadi penghalang bagi semua lembaga pendidikan untuk tetap menentukan kriteria-kriteria calon siswanya. Persyaratan-persyaratan yang pastinya tidak berlawanan dengan kebijakan Permendikbud tersebut bagi sekolah-sekolah plat merah, khususnya.
Sehingga hasil capaian berupa nilai tidak lagi menjadi prasyarat mutlak bagi seorang calon murid untuk menentukan sekolah pilihan. Melainkan lokasi tempat tinggal menjadi prioritas untuk dapat diterima pada sekolah yang dipilih. Dengan catatan, keterangan domisili berdasarkan alamat pada kartu keluarga atau surat keterangan tinggal yang terbit setidaknya sejak enam bulan sebelum pendaftaran. Tambahan lainnya tentu tidak melampaui daya tampungnya. Maka, berapa pun nilai yang diperoleh calon peserta didik tersebut selayaknya masuk dan menjadi muridnya. Lantaran ketentuan domisili berdasarkan zonasi yang ditentukan dinas pendidikan menjadi satu persyaratan baginya. Bagi calon murid yang mendaftar.
Kebingungan para orangtua mereka tidak perlu berlanjut. Sebab setiap perubahan aturan selalu membawa dampak. Tak terkecuali, apa yang dialami mereka beberapa bulan terakhir. Terlepas dari sepakat atau tidak, ada tiga maqam (tingkatan) dalam sebuah institusi pendidikan yang pernah disampaikan. Praktisi Pendidikan sekaligus Penulis, Munif Chatib dan Alamsyah Said yang mengategorikan strata sekolah. Pertama, sekolah yang menerapkan tes standar masuk, sebagai tingkatan terendah. Kedua, sekolah yang hanya menerima anak-anak pintar dan baik, sebagai level menengah. Terakhir, sekolah yang menerima semua kategori, sebagai strata tertinggi (2012:111). Nah, maqam sekolah yang mana anak-anak calon penerus masa depan (harus) belajar?
Sementara sekolah-sekolah yang kerapkali tidak memenuhi pagu menaruh harapan bahwa pemberlakuan sistem zonasi dapat menjadi lebih berkeadilan. Sebab jika tidak terpenuhi daya tampungnya, (sebagian) guru sekolah tersebut berancang-ancang mencari jam di luar untuk memenuhi kebutuhan 24 jam mengajarnya. Bahkan menjelang PPDB, ada satu sekolah mengalami kejadian di luar nalar sehat. Lebih dari seorang murid dirasuki makhluk lain. Dapat pula disebut kesurupan masal, karena tidak sedikit yang terkena efeknya. Kejadian yang berulang-ulang pada beberapa pekan. Sehingga sekolah menjadi tidak kondusif untuk pembelajaran. Dua tahun terakhir, peristiwa tersebut terjadi pada pramusim pendaftaran. Cara yang tentu saja mencederai semangat ‘mencerdaskan kehidupan bangsa.’ Ujung-ujungnya, kesan negatif sekolah bersangkutan semakin jelas terlihat para orangtua calon peserta didiknya. Satu contoh empiris yang sungguh tidak patut diteruskan.
Memang jamak strategi positif yang diterapkan untuk meningkatkan nilai jual satu lembaga. Wabil khusus, sekolah-sekolah yang secara geografis berdekatan. Bersebelahan satu sama lainnya. Bertetangga. Perebutan calon murid menjadi rutinan yang acapkali bersinggungan. Tak jarang yang berubah menjadi spirit yang kontraproduktif bagi iklim pendidikan di wilayah tersebut. Apalagi, sekolah yang masih menyemangati calon peserta didiknya untuk masuk sekolah. Sebab masuk sekolah saja menjadi suatu anugerah. Motivasi untuk bersekolah menjadi satu girah yang mahal.
Tidak heran, bila iming-iming berupa pemberian seragam gratis, bebas biaya buku, penerimaan beasiswa, dan sejenisnya merupakan metode efektif untuk menarik para orangtua murid. Asal niatnya tidak lagi pada banyak siswa, berlimpah dana. Dengan estimasi bantuan per siswa sekian jumlahnya. Namun, lebih pada semangat miliu yang ikut bersama-sama menyelematkan generasi selanjutnya. Maka, ada alternatif cara yang perlu dipertimbangkan untuk diimplementasikan secara lebih sustainable. Lebih berdaya tahan lama dan berkesinambungan. Hidden curriculum.
Kurikulum yang tidak kasatmata, tidak hanya saat PPDB. Melainkan pula kala proses pembelajaran berlangsung dari awal masuk sampai akhir sekolah. Selepas belajar dan lulus. Output pendidikan sekolah tersebut. Produknya berupa kebiasaan-kebiasaan muridnya dan potret lulusannya. Dengan bahasa yang lebih keren, branding karakter. Membekali perilaku yang baik. Melabeli akhlak yang karimah peserta didiknya. Sebab, menurut Siswanto (2017:104), keberhasilan hidup anak tidak serta merta bergantung pada nilai-nilai akademik, namun soft skill mempunyai andil besar dalam menentukan nasibnya kemudian.
Pasti tidak mudah, tapi mungkin. Bekal yang sepantasnya menjadi prioritas pijakan pertama. Utamanya, bagi para pendidik baik orang tua maupun guru. Bagaimana sikap dan perilaku peserta didiknya pada teman, orang tua atau gurunya? Bagaimana kebiasaan mereka pada sekitarnya? Hal tersebut membutuhkan good will semua warga sekolah untuk mewujudkannya.
Ada pengalaman penjaja warung yang berkesan terhadap murid-murid suatu sekolah. Sekolah yang beralamat di Surabaya selatan dan bervisi menjadi lembaga model. Sebagai sekolah contoh bagi yang lain. Ketika mereka berinteraksi selama perkemahan empat hari, dia tidak pernah mendengar umpatan spontan yang terlontar. Tidak ada kata makian dan pisuhan yang mewarnai tutur kata mereka. Satu kebiasaan yang dia perhatikan. Hal sepele yang jelas dapat membawa citra positif bagi lembaga tersebut. Tanpa biaya promosi. Apalagi, cerita itu bersambung dari satu orang kepada yang lain secara estafet. Iklan cuma-cuma dari mulut ke mulut.
Sehingga musim PPDB tidak lagi sekadar mencari calon murid dengan cara-cara yang santun. Bukan sebaliknya. Tetapi dapat juga menjadi momen yang tepat untuk menebar kebaikan yang mencerdaskan dan menyemangati para orangtua. Untuk tetap memberi ruang perhatian putra-putri mereka pada pendidikannya. Bersekolah, bermadrasah atau memondokkan merupakan pilihan prerogatif mereka. Demi bekal masa mendatang anak-anak mereka kelak. Sebab tuntutan berikutnya bagi anak-anak adalah keharusan memiliki kecakapan berpikir dan belajar (thinking and learning skills). Maka, membekali perilaku baik menjadi fondasi yang diperlukan untuk survive pada zamannya. Masa edarnya untuk berbuat lebih banyak manfaat dari kebaikan-kebaikannya. Pendapat Anda?

———– *** ————

Rate this article!
PPDB dan Kesurupan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: